Mohon tunggu...
Alpaprana
Alpaprana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sinaran Rembulan di Rimbun Jati

6 Juli 2016   22:52 Diperbarui: 6 Juli 2016   23:06 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinaran pucat rembulan malam

membias dari balik dahan-dahan Jati

memaksa mata enggan berpaling dari kesunyian

 

Berandai, itulah warna bayang kekasih

Entah, ia sebagai sinaran rembulan

ataukah rahsaku yang menjelma dahan-dahan Jati.

 

Satu sisi paradigmaku

tiada rela ia pergi

hanya karena ikatan kemurnian jiwa

bahkan di arah kontradiksi yang sama

iapun menganggap artiku lebih dari nyata hidupnya.

 

Bagi seorang musafir padang pasir

secawan air adalah surga bagi mereka

 

Bagiku

ia, dan segala tentang hidupnya

serasa aroma surga

yang telah kuhirup

tanpa melewati ruang barzah

juga yaumul hisab lebih dulu.

 

Mungkin saja aku tengah bermimpi

sunyiku memanggil hujan malam ini

agar kering jiwa kembali sejuk

 

Kemudian

langitpun menumpahkan air dari gugusan mendung

jatuh ke tanah yang diingini

tiada ragu

tiada memikirkan dampak kebasahan berlebih

seperti deras luruhku dalam jantung kekasih

pada pesona cinta

saat diam, tersenyum, menangis

dan semua itu tentang kerinduan yang hakiki.

 

Ada desir udara yang terus bergetar

menyaksi bayang cinta yang menyentuh sukma

terbungkus kabut samar

dan aku masih termangu pada sinaran rembulan

di rimbun Jati.

 

Terkasih

aku mencipta puisi rindu di bawah langit malam

ditemani rinai hujan

yang bergemuruh di luar ingatan

dengan sebentuk keyakinan

ujung penaku memantabkan harapan

menyeru ; separuh jiwa ini untuk cinta

dan separuhnya lagi, untuk sisa kehidupan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun