Sinaran pucat rembulan malam
membias dari balik dahan-dahan Jati
memaksa mata enggan berpaling dari kesunyian
Â
Berandai, itulah warna bayang kekasih
Entah, ia sebagai sinaran rembulan
ataukah rahsaku yang menjelma dahan-dahan Jati.
Â
Satu sisi paradigmaku
tiada rela ia pergi
hanya karena ikatan kemurnian jiwa
bahkan di arah kontradiksi yang sama
iapun menganggap artiku lebih dari nyata hidupnya.
Â
Bagi seorang musafir padang pasir
secawan air adalah surga bagi mereka
Â
Bagiku
ia, dan segala tentang hidupnya
serasa aroma surga
yang telah kuhirup
tanpa melewati ruang barzah
juga yaumul hisab lebih dulu.
Â
Mungkin saja aku tengah bermimpi
sunyiku memanggil hujan malam ini
agar kering jiwa kembali sejuk
Â
Kemudian
langitpun menumpahkan air dari gugusan mendung
jatuh ke tanah yang diingini
tiada ragu
tiada memikirkan dampak kebasahan berlebih
seperti deras luruhku dalam jantung kekasih
pada pesona cinta
saat diam, tersenyum, menangis
dan semua itu tentang kerinduan yang hakiki.
Â
Ada desir udara yang terus bergetar
menyaksi bayang cinta yang menyentuh sukma
terbungkus kabut samar
dan aku masih termangu pada sinaran rembulan
di rimbun Jati.
Â
Terkasih
aku mencipta puisi rindu di bawah langit malam
ditemani rinai hujan
yang bergemuruh di luar ingatan
dengan sebentuk keyakinan
ujung penaku memantabkan harapan
menyeru ; separuh jiwa ini untuk cinta
dan separuhnya lagi, untuk sisa kehidupan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H