Mohon tunggu...
Alpaprana
Alpaprana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisiku Tertinggal di Pasir Senja

3 Juli 2016   17:28 Diperbarui: 3 Juli 2016   18:16 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Puisiku_Senja.Jpeg"][/caption]

Kuletak selembar kertas usang di tepian samudra

menindih sekumpulan butir-butir pasir senja.

 

Selembar kertas yang berisi kalam-kalam puisi, yang aku tulis seperti mengukir rasa dari hati.

 

Pada kertas usang itu, cinta kutuang sebagai perjalanan panjang menuju hakiki kebahagiaan, dan rindu, hanya jembatan penghubung sebelum sampai ke tujuan.

 

Pada senja yang telah memilih, kertas usang itu kutinggalkan sendirian. Lalu, akupun menjauh dengan tanpa memandangnya sedetikpun. Walau kutahu, anganku selalu berkelebat mencumbui cinta yang tertulis di dalamnya, tetap aku menutup mata.

 

Biarkanlah puisiku tertinggal di pasir senja. Sebab bukan apapun yang kuharap dari sebuah cinta, bukan pula pembalasan akan rasa sakit, melainkan makna sebentuk keikhlasan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun