Mohon tunggu...
Alpaprana
Alpaprana Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Jika arwah sang penyair, dan setumpuk kesedihan pecinta sastra mengalir di urat nadi, maka ijinkanlah aku mencumbui setiap mata yang membaca rangkaian kalam rahsa alpaprana (aksara biasa), sampai terbenamnya bahasa penaku di keabadian sulbi makhluk berkulit tanah, sebelum tiupan sangkakala memanggil, menyentuh udara kiamat, hingga membangunkan seisi jagad raya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Malam dan Puisi

2 Juli 2016   00:05 Diperbarui: 2 Juli 2016   00:17 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

1.

Malam tiada pernah lupa

bagaimana cara meletak gelap

di mana langit menghadirkan nirmala

dan diundangnya bintang gemintang

hanya demi keseimbangan dunia.

 

2.

Juga selayak pena

tiada lelah mengalirkan tinta-tinta

kepada kertas-kertas sederhana

dengan menyeru serangkaian aksara biasa

membentuk kekata puisi

mencukupi pinta kalam imajinasi.

 

3.

Hening bukan berarti gelap

malam bukan pula keputus-asaan

hanya harmonisasi kehidupan

gelap kan terang

terang pun tenggelam.

 

4.

Begitupun puisi

tiada kewajiban meninggikan diri

hanya kepuasan sebentuk seni

yang terpancar jujur

dari paradigma-paradigma teratur

dalam kepekaan rahsa

pada ujung pena bertutur.

 

5.

Malam, dan puisi

dua sisi ketenangan batin insani

menengadah gelap

menunduk tanah

heninglah berisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun