"Fenomena hiperealitas pada kasus desain recycle yang di telah dijelaskan dalam makalah ini merupakan penanda karakter kebudayaan postmodern yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat."
Isu green design selalu menjadi topik hangat seiring dengan berkembangnya globalisasi. Furnitur recycle dalam elemen desain interior menjadi salah satu bentuk perkenalan konsep green design.Â
Barang-barang bekas yang dianggap sudah tidak dipakai namun masih layak dipakai kemudian dimanfaatkan kembali menjadi furnitur baru dengan didukung teknologi serta kreatifitas dalam mendesain sehingga menjadi furnitur yang menarik namun tak jauh dari kualitas yang moderen juga.Â
Penggunaan barang bekas tersebut dapat mengubah fungsi asli dari barang itu sendiri menjadi sesuatu yang berbeda fungsinya.
Desain furnitur recycle ini banyak diperkenalkan melalui pameran, sedangkan aplikasinya masih banyak digunakan pada public space sebagai obyek untuk menyuarakan partisipasinya pada konsep green design.Â
Produk desain furnitur recycle mulai banyak diminati masyarakat karena dianggap eco-friendly yang memiliki makna ramah lingkungan.Â
Selain diminati di dalam negeri, produk furnitur recycle dalam negeri sendiri juga telah banyak yang diekspor ke luar negeri (Imelda Anwar, Majalah Smart Design, 2013).Â
Isu desain yang bersifat eco-friendly mendorong para desainer muda untuk berlomba-lomba memamerkan karya desain recycle-nya untuk medapatkan apresiasi pada masyarakat Indonesia bahkan dunia.Â
Contoh furnitur recycle ini diantaranya adalah karya desain milik produsen furnitur Mamagreen dari Semarang, Jawa Tengah dan desain furnitur karya Olivier dari Kooc Kreasi yang dipamerkan pada pameran "IFFINA 2013".Â
Selain itu, ada pula karya arsitek Word of Mouth pada clothing store DenimDenim di Seminyak, Bali yang mengaplikasikan kaleng bekas pada fasadnya dan beberapa elemen interiornya.Â
Pameran IFFINA 2013 di Indonesia ini disamping menjadi pameran furnitur dengan menampilkan nilai seni dan budaya Indonesia, juga menjadi ajang pembangunan citra Indonesia terhadap dunia dalam perdagangan internasional (Junida, 2013).Â
Selain itu, dengan adanya pameran-pameran furnitur di masyarakat menimbulkan adanya budaya konsumerisme terhadap kebutuhan desain dan memberikan kesan pada status sosial baik bagi desainer dan penggunanya di kalangan masyarakat.
Pada desain furnitur recycle karya Mamagreen menggunakan potongan bahan kain (fabric) yang sudah diolah lagi agar dapat tahan lama dan tidak cepat rusak oleh air dan kemudian disusun dengan cara kombinasi tambal sulam (patched).
Serta, penggunaan  warna-warna yang cerah. Kombinasi kain ini kemudian diaplikasikan menjadi bahan pelapis furnitur dengan memberikan karakter playful.Â
Sedangkan pada desain furnitur recycle karya Olivier dari Kooc Kreasi memanfaatkan perpaduan besi dan kayu tanpa menghilangkan karakter masing-masing.Â
Batang besi yang digunakan adalah batang besi bekas berprofil dan juga besi lembaran yang kemudian di-finishing menggunakan cat.Â
Batang besi dikombinasikan dengan kayu bekas kapal yang sudah diampelas dan dipotong seukuran papan lalu disusun menjadi meja, kursi ataupun kabinet. Pada desain milik Olivier ini menggunakan teknologi industri dalam proses pembuatannya.
Konsep desain arsitektur recycle juga menjadi kontribusi gerakan lingkungan hidup. Salah satunya adalah desain clothing store DenimDenim di pusat perbelanjaan eksklusif Seminyak, Bali.Â
Fasad dan furniturnya yang menggunakan kaleng minuman bekas menjadi daya tarik pengunjung, terutama wisatawan mancanegara mengingat Bali merupakan salah satu tempat destinasi liburan dunia.Â
Disamping fungsi kaleng bekas sebagai peredam masuknya sinar matahari ke dalam ruangan, secara tidak langsung clothing store ini ikut "mengkampanyekan" kepeduliannya terhadap lingkungan hidup sekitar dan dapat memberikan pengaruh dalam kelas sosial di masyarakat.
Sumber: Majalah Smart Design
Kemajuan desain furnitur recycle mendorong aspek industri-industri kecil yang sebelumnya dikesampingkan oleh masyarakat industri modern.Â
Tidak hanya industri kecil yang sudah mulai berjalan, teknologi yang maju oleh individu-individu terkait juga mendukung perkembangannya dalam persaingan bisnis furnitur recycle.Â
Keberanian partisipasi industri kecil serta individu-individu dalam bidang desain dan teknologi dalam desain furnitur recycle menjadikan sebuah wacana baru bagi masyarakat untuk ikut berpartisiasi mengaplikasikan furnitur recycle dalam desain interior.Â
Selain itu, juga dengan adanya partisipasi terhadap furnitur recycle juga mendorong masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan sekitar.
Postmodernisme dalam Desain Furnitur RecycleÂ
Merujuk Medhy Aginta Hidayat, kepedulian terhadap lingkungan dengan mengaplikasikan furnitur recycle dalam desain interior adalah bentuk gerakan lingkungan hidup yang merupakan salah satu suara dari minoritas modernisme.Â
Kepedulian terhadap lingkungan merupakan pertentangan akan eksploitasi alam secara besar-besaran yang menjadi salah satu dampak negatif dari modernisme.Â
Modernisme mengalami krisis dalam perjalanannya sehingga banyak terjadi kejenuhan dan kekecewaan bagi pendukungnya.Â
Pauline Rosenau menganggap bahwa modernisme adalah suatu kegagalan. Hal inilah yang menjadikan modernisme berkaitan erat dengan postmodernisme.
Postmodernisme memiliki watak yang bertolak belakang dengan modernisme. Posmodernisme adalah sebuah sikap yang lahir dari pemikiran terhadap kenyataan (Sumakul, 2012:12).Â
Kaitannya dengan desain furnitur recycle adalah adanya beberapa watak postmodernisme yang bermakna implisit pada desain-desain yang bermunculan.Â
Desain furnitur recycle dianggap sebagai salah satu bentuk pemberontakan secara kritis terhadap modernisme. Masyarakat mengalami kebosanan terhadap desain furnitur modern yang mengagungkan prinsip bentuk mengikuti fungsi.Â
Desain furnitur modern memberikan tampilan yang mengglobal dan menghilangkan keunikan antara desain yang satu dengan yang lainnya.Â
Hal ini mendorong masyarakat untuk mencari kembali nilai estetika yang terkandung dalam suatu desain interior dengan menghadirkan desain furnitur recycle.Â
Kecenderungan ini berkaitan dengan ketertarikan berbagai pihak baik desainer maupun owner untuk memilih bahan-bahan yang sudah tidak dipakai namun masih layak pakai untuk dijadikan kembali sebagai furnitur yang memiliki nilai estetika dan tetap berfungsi.Â
Penilaian subyektif terhadap estetika furnitur recycle ini memunculkan keinginan untuk menemukan identitas dan apresiasi terhadap masyarakat.Â
Ada maksud lain yang terkandung dalam pemunculannya sebagai desainer furnitur recycle dan juga sebagai pemilik desain furnitur recycle tersebut, yaitu nama di mata masyarakat akan karya desain dan juga pengakuan masyarakat terhadap status sosial akan kepedulian terhadap lingkungan.
Kemunculan desain furnitur recycle yang mulai lebih bebas dan terbuka oleh seorang individu atau sebuah industri kecil yang dianggap minoritas ini juga memberikan pengaruh terhadap industri media massa.Â
Keikutsertaannya dalam sebuah acara pameran maupun kemunculannya dalam sebuah karya desain arsitektur dan interior menunjukkan adanya suatu kebutuhan akan pengakuan dalam kelas sosial dan menganggap media massa sebagai panutan agama baru atas penentuan benar dan salahnya perilaku manusia.
Kemunculan desain furnitur dengan konsep recycle dan juga beberapa konsep desain yang lain secara bersamaan ini memarakan eklektisisme dan pencampuradukan budaya baru.
Karena setiap individu ataupun komunitas yang sebelumnya dianggap minoritas atau bahkan marginal mulai berani menampilkan karya-karya desainnya.Â
Karya desain yang ditampilkan tidak hanya karya dengan nama, namun juga terdapat nilai-nilai realitas yang terkandung secara personal.Â
Budaya-budaya yang baru bermunculan ini mengakibatkan adanya kebingungan dan kesulitan penempatan terhadap obyek budaya tertentu secara eksklusif. Pencampuradukan budaya ini juga mempersulit penjelasan suatu makna tertentu dengan bahasa sehingga bersifat paradoks (Hidayat, 2013:33).
Kesimpulan
Dalam perkembangannya, desain recycle memiliki peran dalam era postmodernisme. Kemunculannya dengan sifat yang keluar dari batas-batas peraturan modernisme serta "pendobrakan" dengan kampanye gerakan lingkungan hidup pada era ini menimbulkan gejala realitas-realitas buatan yang sering dikenal sebagai hiperealitas dalam watak postmodernisme.Â
Bermunculannya desain-desain dengan konsep recycle di Indonesia mengakibatkan adanya degradasi dan tumpang tindih kebudayaan-kebudayaan yang membutuhkan pengakuan akan nilai, citra dan kode di mata masyarakat.Â
Hal ini juga memicu akan kemiskinan pengetahuan baik bagi desainer selanjutnya dan masyarakat pada umumnya terhadap pengetahuan lingkungannya dan budaya asali di Indonesia.Â
Fenomena hiperealitas pada kasus desain recycle yang di telah dijelaskan dalam makalah ini merupakan penanda karakter kebudayaan postmodern yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat.
Daftar Pustaka
Hidayat, Medhy Aginta. 2012. Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta : Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme. Bandung : Mizan
Sumakul, Ph.D., H.W.B. 2012. POSTMODERNITAS: Memaknai Masyarakat Plural Abad Ke-21. Jakarta : Libri.
Anwar, Imelda. (2013, Mei). Ketika Logam Berpadu dengan Kayu. SmartDesign. 28-31
Anwar, Imelda. (2013. Juni). Material Alternatif untuk Furnitur. SmartDesign. 68-69
Diana, Astri. (2013, September). Ekspresi Fasad dari Susunan Ribuan Kaleng. SmartDesign. 60-63
Desain sebagai Hasil Proses Kreatif. Diambil dari http://interiorisisolo.blogspot.com/2012/10/desain-mebel.html
Junaida, Ade Irma. (2013). Pameran Mebel 'IFFINA' 2013 jadi Ajang Promosi. Diambil dari http://antarakalbar.com/berita/311022/pameran-mebel-iffina-2013-jadi-ajangpromosi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H