Melirik sedikit ke peraturan perundang-undangan tentang Cagar Budaya, kita menemukan bahwa cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan pun harus dirawat, dilindungi, dan dilestarikan. Apalagi berupa iman dan keyakinan dari suatu agama resmi yang sejajar dengan lima agama lainnya yang diakui negara ini. Tentu harus dirawat, dilindungi dan dilestarikan juga.
Kalau kita sudah sepaham tentang pentingnya menjaga kekhasan dari suatu keyakinan resmi yang kita anut untuk diterapkan dalam lembaga-lembaga pendidikan kita, ... kita, sudah sepantasnya, berikhtiar untuk mengatasi masalah finansial yang menjadi soko guru atau pilar utama penyelenggaraan pendidikan formal bagi generasi penerus bangsa ini. Ada dua kemungkinan untuk itu; pertama, kita galang dana khusus untuk menopang kebutuhan finansial sekolah swasta yang masih perlu dipertahankan kekhasannya, kedua kita ajukan permohonan kepada para bapak bangsa yang kini sedang mengurus negara ini, kalau boleh, mengalokasikan subsidi tetap dari negara untuk keperluan finansial dimaksud sebagaimana usul anggota grup WA sang pengirim tanda jempol di atas. Tentu perlu dibuat regulasinya; sebagai payung hukumnya. Dan untuk suatu urusan maha penting demi pembentukan kepribadian generasi bangsa dari latar keimanan yang diakui negara, tidak ada kata tidak mungkin.
Untuk saling berbagi kekuasaan saja bisa dilakukah para anggota parlemen kita dengan cara mengubah UU MD3. Awalnya pimpinan DPR hanya terdiri dari satu ketua dan empat wakil, tetapi kemudian bisa menjadi 5 wakil (pasal 84). Lalu pada pasal 15, pimpinan MPR yang tadinya terdiri dari satu ketua dan 4 wakil ketua saja, kemudian bisa menjadi satu ketua dan 7 wakil ketua. (UU RI Nomor 2/2018). Atau, ... urusan penambahan kabinet; meski peraturan perundangan sudah membatasi, tetap saja diwacanakan untuk menambahnya. Karena itu, untuk urusan keimanan yang memang amat diperlukan demi membentuk kepribadian bangsa yang akan turut menopang kelestarian berdirinya republik tercinta ini, pembuatan regulasi untuk memperkuat sisi finansial lembaga pendidikan swasta, kita harapkan bisa menjadi mungkin. Dengan teratasinya keterbatasan finansial, tentu saja identitas kekhasan sekolah tetap bisa terjaga. Bukan memudar, malah berpendar. Bukankah begitu?
                                                            ***
*Tenaga Kependidikan itu bukan guru. Untuk diketahui bersama, pernah ada singkatan/kependekan PTK (=Pendidik dan Tenaga Kependidikan). Pendidik itu guru, maksudnya; lalu Tenaga Kependidikan itu staf pegawai kantor sekolah. Dalam perjalanan waktu, mungkin dianggap penggunaan "nomenklatur" 'Pendidik dan Tenaga Kependidikan' itu bisa membingungkan maka Pendidik itu diganti dengan Guru saja. Singkatan PTK itu lalu diganti dengan GTK (=Guru dan Tenaga Kependidikan). Â Apalagi dalam urusan keguruan juga ada PTK yang merupakan singkatan dari Penelitian Tindakan Kelas.
Sumber:
- "Tujuh Hal Yang Harus Diketahui Soal Revisi Undang-Undang MD3" (www.bbc.com);
- "UU Nomor 2/2018 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 17/2014 tentang MD3 (Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Khusus Pasal 15 dan 84 tentang Komposisi Pimpinan DPR dan MPR." (kemendagri.go.id)
- "Kepres Nomor 113/P Tahun 2019 tentang Pembentukan Kementerian Negara dan Pengangkatan Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024" (setkab.go.id)>23-10-2019;
- "Mahfud MD: Jumlah Kementerian  Saat Ini Sudah Sangat Cukup" (www.kompas.id) >8-5-2024;
- "UU RI Nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya";
- "Perlindungan Hak Terhadap Kelompok Minoritas Agama"; Fadilah Dewi Anggun Permatasari; E-mail: fadilahdewi29@gmail.com
***
Â