Pemulihan terumbu karang mengalami kemajuan pesat seiring dengan meningkatnya investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi restorasi. Berbagai metode telah dikembangkan dan diujicobakan, mulai dari tingkat individu hingga skala ekosistem yang lebih luas. Salah satu inisiatif besar adalah Program Restorasi dan Adaptasi Terumbu Karang (RRAP) di Australia, yang berupaya menerapkan solusi inovatif untuk melindungi Great Barrier Reef. Pendekatan ini mencakup adaptasi evolusi spesies terumbu karang terhadap suhu perairan yang lebih hangat serta produksi massal larva karang untuk mendukung regenerasi terumbu secara menyeluruh. Program ini memberikan contoh bagaimana teknologi dan biologi dapat bekerja sama dalam skala besar untuk memulihkan ekosistem yang terancam (Hein dkk., 2021).
Selain itu, eksperimen lapangan di lokasi seperti Fiji dan Kiribati sedang berlangsung untuk memanfaatkan ketahanan alami terumbu karang dalam proses pemulihan. Penelitian di daerah ini fokus pada koloni karang yang selamat dari peristiwa pemutihan sebelumnya, dengan tujuan memperkuat kemampuan adaptasi mereka terhadap perubahan lingkungan. Pendekatan ini juga melibatkan pengelolaan aktif terhadap ekosistem terumbu karang, termasuk penghilangan predator karang, pengendalian pertumbuhan alga makro melalui reintroduksi ikan, serta pemanfaatan bulu babi untuk menciptakan keseimbangan ekologis. Pendekatan berbasis ekosistem ini bertujuan tidak hanya untuk memulihkan terumbu karang, tetapi juga untuk memastikan kelangsungan fungsinya sebagai penopang keanekaragaman hayati laut (Hein dkk., 2021).
Berbagai metode restorasi terumbu karang terus dievaluasi dan diadaptasi, salah satunya adalah metode yang diadaptasi dari Bostrom. Metode tersebut mencakup direct transplantation, yaitu transplantasi langsung tanpa melalui fase pembibitan, dan coral gardening, yang melibatkan pembibitan karang baik secara in situ maupun ex situ. Selain itu, terdapat substrate addition, yang melibatkan penambahan struktur buatan melalui elektrolisis (electro-deposition) atau dengan desain alami (green engineering). Substrate manipulation mencakup stabilisasi substrat untuk menghilangkan puing-puing yang tidak terkonsolidasi (substrate stabilization) serta penghilangan alga mikro yang berlebihan (algae removal). Metode terakhir, larval propagation, melibatkan penyebaran substrat yang diinokulasi (deployment of inoculated substrate) dan pelepasan larva karang (larval release). Beragam pendekatan ini memberikan peluang besar untuk mengatasi berbagai tantangan dalam pemulihan terumbu karang di seluruh dunia (Hein dkk., 2021).
DISTRIBUSI GLOBAL DAN LUAS TERUMBU KARANG DUNIA
Terdapat 128 negara yang berbatasan dengan terumbu karang atau memiliki terumbu karang di perairan dalam radius 100 km. Berdasarkan data distribusi spasial dari UNEP-WCMC, luas total terumbu karang yang tertutup di dunia mencapai 151.390,25 km². Australia memiliki kawasan terumbu karang terluas, yaitu 31.688,43 km² (20,93% dari total global), diikuti oleh Indonesia dengan luas 20.233,23 km² (13,36%) dan Filipina sebesar 13.573,40 km² (8,97%) (Wong dkk., 2022).
Populasi yang tinggal di sekitar terumbu karang menunjukkan peningkatan signifikan dari waktu ke waktu. Pada jarak 100 km dari terumbu karang, populasi meningkat dari 762 juta orang pada tahun 2000 menjadi 997 juta orang pada tahun 2020, yang masing-masing setara dengan 12,56% dan 12,84% dari populasi global. Peningkatan yang lebih besar terjadi pada populasi yang tinggal dalam radius 5 km dari terumbu karang, yaitu sebesar 42,17% dalam periode yang sama. Pada jarak ini, jumlah penduduk meningkat dari 76 juta orang pada tahun 2000 (1,25% dari populasi global) menjadi 108 juta orang pada tahun 2020 (1,39% dari populasi global) (Wong dkk., 2022).
MEMBANDINGKAN DAMPAK TERHADAP TERUMBU KARANG BERDASARKAN WILAYAH
Bleaching (Pemutihan Karang)
Pemutihan karang merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap ekosistem terumbu karang dan dampaknya bervariasi di setiap wilayah. Peristiwa pemutihan karang yang parah telah menyebabkan kerusakan terbesar di wilayah Indo-Pasifik Barat, dengan penurunan hingga 52% dari kondisi sebelumnya. Di Indo-Pasifik Tengah dan Timur, tingkat kerusakan akibat pemutihan parah lebih rendah, masing-masing mencapai 25% dan 33%. Sebaliknya, di Atlantik Tropis, tidak ditemukan laporan pemutihan dengan keparahan tinggi seperti itu (Alvarez-Filip dkk., 2021).
Peristiwa pemutihan karang dengan intensitas sedang terjadi di seluruh wilayah, tetapi dampaknya lebih signifikan di Indo-Pasifik Timur (-35%) dan Indo-Pasifik Barat (-32%) dibandingkan dengan Atlantik Tropis (-22%) dan Indo-Pasifik Tengah (-18%). Pemutihan dengan tekanan rendah memiliki dampak minimal terhadap terumbu karang, berkisar antara -6% hingga -16% di semua wilayah (Alvarez-Filip dkk., 2021).
Siklon Tropis