Mohon tunggu...
Alomet Friends
Alomet Friends Mohon Tunggu... -

ALOMET & FRIENDS : Perusahaan konsultan manajemen strategis yang berbasis pada proses dan teknologi. Misi : Menjadi mitra klien dalam meningkatkan produktivitas kerja untuk mencapai tujuan perusahaan melalui pembenahan proses bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menempuh Hidup Baru

7 Desember 2015   09:46 Diperbarui: 7 Desember 2015   10:17 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Transformasi tak ubahnya menempuh hidup baru. Kecepatan, ketepatan dan kepemimpinan menjadi kuncinya.

Oleh : Teguh S. Pambudi.

RISET: M. RIZKI.

Ada yang berbeda di ajang Consumer Electronic Show (CES)2015. Diajang bergengsi yang dihelat di Las Vegas Amerika Serikat pada 6-9 januari 2015 itu, di antara pemain-pemain besar smartphone yang sudah rutin wara-wiri di ajang ini, terselip produsen kamera legendaris, Kodak. Mau apa dia?

Seperti halnya pemain ponsel yang sudah lebih senior, kali ini Kodak bukan bermaksud menjual kamera. Takbeda dengan pemain ponsel pintar lainnya, ia meluncurkan produk sejenis berbasis Android. Diberi merek Kodak IM5, ponsel pintar berbasis Android ini ditujukan untuk kalangan menengah.

Sepertinya ini kisah yang biasa. Maklum, CES memang menjadi tempat para produsen memamerkan produk-produk teranyarnya, termasuk ponsel pintar. Narnun, khusus Kodak IM5, peluncuran ini membuat satu cerita tersendiri, dan mengirim sinyal ke seantero bumi: Kodak belum mati. Atau lebih tepatnya: Kodak tengah bertransformasi menuju hidupnya yang baru.

Ya,dibalik produk Kodak IM5 yang memiliki layar 5 inci dengan resolusi HD720p, prosesor beta core 1,7GHz,RAM1GB, serta internal storage 8 GB tersimpan cerita tersendiri. Masih lekat dalam ingatan publik bagaimana Eastman Kodak Company, perusahaan yang didirikan pada 1888, terjun bebas setelah lama bersinar di dunia bisnis. Kodak IM5 yang meluncur di ajang CES2015 tak ubahnya pertaruhan besar dari raksasa teknologi yang nyaris mati Januari 2012,sejarah mencatat, Kodak masuk perlindungan kebangkrutan. Sesuatu yang sebetulnya mengejutkan mengingat reputasi perusahaan ini.

Merunut ke belakang, Kodak lama dikenal sebagai perusahaan inovatif dan pemain yang disegani di industri fotografi abad ke-20. Tahun 1976, misalnya, ia menguasai 90% penjualan rol film dan 85% pasar kamera di AS. Saking inovatifnya dan ini patut dicatat, bahkan KodakIah yang pertama membuat kamera digital (pada 1975).

Namun, sindrom itu rupanya membelit Kodak: yang pertama membuat, tak selalu yang sukses meraih hasilnya seeara komersial. Kodak tidak pernah sepenuhnya mengadopsi teknologi ini. Mereka mabuk kepayang dengan bisnis rol film yang sedang bagus-bagusnya. Maklum, mereka mendulang margin besar dari bisnis ini beserta pernak-perniknya.

Lantaran percaya bisnis rol film sangat menguntungkan, Kodakpun all out. Untuk urusan pengembangan bisnisnya ini, ia tak main-main. Dana belanja US$ 1,3 miliar setiap tahun dikulurkan untuk R&D, hingga akhirnya mampu merniliki 7.600 paten.

Akan tetapi, dunia berputar. Begitu fotografi digital mulai menggantikan rol film, dan ponsel mulai menggantikan kamera di tahun 1990-an, Kodak pun terjengkang. Keterlambatannya bergerak harus dibayar mahal. Ia pun mulai berjuang menyelamatkan hidup ketikan penjualan rol filmu ntuk fotografi makin dijauhi pelanggan. Akhirnya, kemalanganlah yang dideritanya: bangkrut.

Berlindung di balik Chapter 11 yang mengatur kebangkrutan, Kodak ibarat tiarap dari pereaturan bisnis. Dalam kondisi seperti itu, perusahaan inipun menata ulang semuanya, terutama dari sisi bisnis. Usaha rolfilmnya dilego,termasuk 105 ribu gerai foto di seluruh dunia, bisnis cenderamata foto, dan kertas foto. Bisnis ini dijual ke sebuah dana pensiun dari Inggris. Seiring dengan itu, dilepas pula lebih dari 100 ribu karyawan, aset, dan ribuan paten.

Kodak pun memfokus ulang bisnisnya. Ia menjadi perusahaan teknologi dengan mengonsentrasikan diri pada penjualan serta layanan produk digital printing ke kalangan korporat. Hasilnya?

September 2013, Kodak bisa lepas dari Chapter 11 yang berkenaan dengan kebangkrutan. Namun, ukuran bisnisnya mengkeret: 1/10 dibanding sebelumnya. Perlahan, Kodak mulai berupaya bangkit. Bahkan, dunia ponsel pintar pun dirambahnya. Kodak IM5 meluncur, menjadi pertaruhannya.

Sekalipun punya nama besar bagi Kodak, pasar ponsel pintar jelas dunia baru baginya. Karena itu,menyadari dirinya adalah pendatang baru, di medan laga yang berat lni, Kodak mencoba menuangkan keluarannya yang telah lama dikenal luas. Di bagian belakang Kodak, diletakkan kamera beresolusi 13 megapiksel dengan LED flash. Adapun di bagian depan, untuk memuaskan dahaga para penggemar selfte; disediakan kamera 5 megapiksel. Catatan menarik, Kodak memberikan fitur foto editing dan kemampuan untuk langsung mencetak foto dengan menghubungkan ponsel ini dengan printer.

Bagaimana nasib Kodak IM5 yang menggunakan OS Android 4.4 KitKat dan dibanderol dengan harga US$250 atau Rp 3,2 juta ini tentu saja masih harus ditunggu. Namun, setidaknya perusahaan legendaris ini tengah mencoba menempuh kehidupan yang baru. Oliver Schulte, CEO Bullitt Mobile, yakin produk ini akan laris. "Ini adalah telepon untuk konsumen yang mengapresiasi nilai dan warisan Kodak. Produk ini hebat, mudah digunakan dan menawarkan value for money." Bullitt Mobile adalah perusahaan yang mendesain Kodak IM5.

Pekerjaan transformasi sungguh merupakan lakon yang tidak mudah. Yang sedang menjalani perjalanan menempuh hidup baru seperti halnya Kodak adalah Nokia. Di tahun 1990-an,siapa tak kenal perusahaan dari Finlandia ini? SeIuruh lini industry ponsel seakan-akan dalam genggamannya. Bahkan, Motorola yang dikenal sebagai sang pelopor ponsel pun dilahapnya.

Namun, itu tinggal cerita. Kisah Nokia yang mendominasi industri ponsel adalah masa lalu. Nokia lambat mengantisipasi perubahan sehingga digasak sistem operasi iOS, Android dan BlackBerry. Yang menarik untuk dicermati sekarang adalah bahwa Nokia yang selama 150 tahun hidupnya telah secara radikal melakukan serangkaian transformasi, kini sedang melakukan transformasi kembali. Bahkan pada 2014, Nokia menjalankan tranformasi yang paling radikal dalam sejarah kehidupannya. Apa yang terjadi?

Boston Consulting Group dalam "Transformation, The Imperative to Change" (November 2014) mencatat bahwa pada 2014 Nokia dihadapkan pada pilihan sulit: secara masif melanjutkan investasi di bisnis peralatan mobile, terutama ponsel,atau menata ulang bisnisnya habis-habisan. Disinilah manajemen Nokia harus menentukan masa depannya yang berada di ujung tanduk.

Di satu sisi, di tengah hantaman sejumlah pemain yang dulu tergolong anak bawang seperti iPhone, BlackBerry dan Samsung, bisnis peranti mobile Nokia terus terjun bebas, menimbulkan kekecewaan demi kekecewaan. Bila ingin diselamatkan, dibutuhkan tambahan modal yang tidak lagi dimiliki Nokia yang tengah terpuruk. Itu pun tidak menjanjikan keselamatan.

Sementara itu di sisi lain, pada saat bersamaan, Nokia punya perusahaan patungan 50:50 dengan Siemens yang dikenal dengan sebutan Nokia Siemens Networks (NSN)yang menjual peranti jaringan telekomunikasi. Saat itu NSN telah berhasil melakukan turnaround dan program penurunan biaya sehingga kinerjanya terus meningkat. jadi, mana yang mesti dipilih?

Dalam kondisi seperti itu, Bill Gates dkk. datang. Dan sewaktu para petinggi Microsoft menyatakan ketertarikannya untuk mengambil alih bisnis peranti mobile milik Nokia, Chairman Nokia Risto Siilasmaa mengambil inisiatif yang drastis. Selama enam bulan, dia dan tim eksekutif Nokia mengevaluasi sejumlah alternatif serta membuat kesepakatan yang secara radikal mengubah arah perjalanan Nokia: menjual bisnis peranti mobile ke Microsoft. Taka da lagi romantisme tentang Nokia sebagai jagoan ponsel.

Di tempat berbeda, secara paralel, CFO Nokia TimoIha-muotila juga mengorkestrasi kesepakatan lain: membeli saham Siemens di NSN sehingga memberi Nokia 100% kontrol atas seluruh unit bisnis jaringan telekomunikasi sekaligus diharapkan menjadi mesin uang untuk Nokia yang baru.

Tak ayal, dua kesepakatan ini memberikan jalan penting bagi Nokia untuk mentransformasl dirinya. Raksasa Finlandia ini menempuh hidup baru. Bukan lagi sebagai produsen ponsel yang membuatnya terkenal, tetapi sepenuhnya sebagai pemain jaringan telekomunikasi. Apakah hidup baru membuatnya bahagia, seperti halnya Kodak, masih ditunggu hasil transformasinya.

Kecepatan dan ketepatan merupakan kunci melakukan transformasi. Kebanyakan perusahaan yang sukses bertransformasi adalah yang menerapkan hal tersebut. Salah satunya adalah Fujifilm. Pesaing Kodak ini mendominasi pasar Jepang di tahun 1980-an dan melebarkan sayap ke pasar AS setelah menjadi sponsor Olimpiade Los Angeles 1984. Fujifilm bahkan secara perlahan mengambil pangsa pasar AS dengan menawarkan produk yang lebih murah.                                                                                         

Tak seperti  Kodak, Fujifilm segera mengambil ancang-ancang begitu melihat era digital akan menerjang keras.

Perusahaan jepang ini menerapkan strategi berikut:  tetap menggenjot pendapatan  dari bisnis yang ada, mentransformasi  organisasi untuk menghadapi transformasi digital, dan membangun lini-lini bisnis baru untuk menciptakan sumur-sumur pertumbuhan masa depan.

Tidak tanggung-tanggung, FujifIlm memangkas biaya bisnis rolfilm senilai US$2,5miliar. Ia menutup fasilitas manufaktur bisnis ini sekaligus mengurangi ribuan pekerja dengan paket kompensasi yang menguntungkan. Yang menarik, Fujifilm tidak begitu saja melangkah ke fotografi digital. Ia terlebih dulu memperkuat keahlian di bidang kimia untuk pemanfaatan disektor bisnis lain, termasuk obat, LCD dan kosmetik. Di LCD, misalnya, dikucurkan dana US$ 4 miliar untuk pengembangan komponennya. "TheLast Dalam tulisan   Kodak Moment", The Economist, 14 januari 2012, dengan menarik diulas  bahwa sangatlah ironis  bagaimana Kodak yang notabene perusahaan dari AS bertindak sebagai perusahaan yang anti perubahan yang ditengarai menjadi stereotip perusahaan-perusahaan  jepang, sementara Fujifilm justru bertindak  fleksibel layaknya stereotip perusahaan AS.

Yang  jelas,  Fujifilm  kini tengah menikmati kehidupan barunya  dengan sukses. Ia kini memiliki  nilai penjualan US$23 miliar dan US$ 1,2 miliar laba operasi.  Fujifilm hanya mengambil 1 % dari bisnis pho tographic film, dan meraup 13,3% dari penjualan Imaging Solutions (termasuk cetak dan fotografi  digital). Sisanya  datang dari InformationSolutions (medical devices, komponen LCD,alat optik), serta Document Solutions (printer, alat kantor).

Kini, Fujifilm adalah salah satu pemasok untuk film yang digunakan sebagai komponen  dalam LCD. Dengan menguasai teknologi antioksidan dalam kosmetik, Fujifilm  bahkan  meluncurkan lini produk kosmetik Astalift.                                                         

Tentu saja, transforrriasi ini tak  mudah. Pemimpin yang piawai membawa situasi dan mengelola perubahan menjadi kuncinya. CEO Fujifilm Shigetaka Komori mengungkap bagaimana repot dan sakitnya memimpin perusahaan  melakukan restrukturisasi, mendiversifikasi bisnis dalam divisi imaging solutions, lensa, dan perawatan kulit. "Ini pengalaman yang menyakitkan,"  ujar Komori. Sakit, memang, tetapi mereka  kini menikmati hidup baru dengan mentransformasi bisnisnya.           

 

Sumber : Majalah Swasembada No.2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun