Mohon tunggu...
Agung Lestanto
Agung Lestanto Mohon Tunggu... Lainnya - ASN

Analis Anggaran Ahli Madya Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Program Perlinsos: Mampukah Menangani Kemiskinan Ekstrem di Indonesia?

2 September 2021   10:20 Diperbarui: 2 September 2021   11:01 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Susenas Maret 2019, Prospera

Dalam pidato pengantar RUU APBN dan Nota Keuangan 2022, Presiden Jokowi menyampaikan "Pemerintah juga melanjutkan komitmen menurunkan kemiskinan, terutama penghapusan kemiskinan ekstrem, dan mengurangi ketimpangan". 

Sebenarnya apa sih kemiskinan ekstrem itu? Apa bedanya dengan angka kemiskinan yang biasa disampaikan Pemerintah? Menurut Laporan PBB dalam world summit for social development 1995, extreme poverty is a condition characterized by severe deprivation of basic human needs, including food, safe drinking water, sanitation facilities, health, shelter, education and information. It depends not only on income but also on access to services. 

World bank mendefinisikan kemiskinan sebagai keadaan dengan standar kehidupan layak tidak tercapai dengan menggunakan ukuran : (1) ketidakcukupan sandang, pangan, dan papan; (2) ketidakmampuan untuk mengakses perawatan kesehatan; dan (3) rendahnya akses terhadap pendidikan. 

Lebih lanjut, world bank menghitung garis kemiskinan ekstrem ini berdasarkan rataan biaya keperluan dasar (basic needs) pada 15 negara miskin dan diperoleh besaran USD1,90 per hari.

Di Indonesia, BPS mengukur kemiskinan secara reguler melalui kegiatan susenas, dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar yaitu pemenuhan kebutuhan minimum makanan rumah tangga sebanyak 2.100 kilokalori per orang ditambah dengan kebutuhan paling mendasar kelompok bukan makanan. 

Jika kita lihat perkembangan angka kemiskinan di Indonesia, maka kinerjanya terlihat bagus dengan angka kemiskinan yang semakin turun dari tahun ke tahun, bahkan pada 2018 sudah mencapai sebesar 9,82 persen (single digit) dan pada 2019 mencapai angka kemiskinan terendah dengan 9,22 persen. 

Namun demikian, angka kemiskinan ini kembali naik dengan terjadinya pandemi Covid-19 yang menyebabkan terjadinya kontraksi pertumbuhan baik secara global dan domestik, sehingga kembali menyentuh 2 digit dan per Maret 2021 angka kemiskinan sebesar 10,14 persen. 

Lebih dari separuh penduduk miskin di Indonesia berada di pulau Jawa, yaitu sekitar 14,75 juta dari total penduduk miskin sebanyak 27,54 juta (BPS, Maret 2021). Tiga provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak yaitu Jawa timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah dengan berturut-turut sebanyak 4,57 juta, 4,19 juta, dan 4,11 juta. 

Kemudian diikuti provinsi Sumatera Utara dan NTT dengan jumlah penduduk miskin masing-masing sebesar 1,34 juta dan 1,17 juta orang. Namun demikian, bila dilihat dari angka kemiskinan, pulau Jawa memiliki angka kemiskinan sebesar 9,67 persen, terendah dibandingkan dengan pulau utama lainnya di Indonesia. 

Hal ini juga menunjukkan bahwa distribusi penduduk di Indonesia relatif belum merata, masih terpusat di pulau Jawa. 

Kembali ke angka kemiskinan ekstrem, jika menggunakan pendekatan world bank tersebut, maka angka kemiskinan ekstrem di Indonesia sebesar 3,6 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan yaitu Malaysia, Myanmar, Thailand, dan Vietnam, namun angka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan Philippine.

Pada perkembangan angka kemiskinan global terkini, sangat dipengaruhi tiga faktor utama yaitu pandemi Covid-19, konflik bersenjata, serta perubahan iklim (world bank, 2020). Pertama, pandemi Covid-19 diperkirakan akan menambah jumlah penduduk miskin ekstrem sebesar 100 juta orang pada tahun 2020. 

Pandemi yang menghantam sektor kesehatan dan perekonomian global menyebabkan peningkatan ketimpangan diakibatkan antara lain tumbangnya sektor UMKM, hilangnya pekerjaan terutama pada masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan dan kompetensi yang relatif rendah sehingga kelangsungan pekerjaannya sangat terpengaruh kepada kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat dalam penanganan Covid-19. 

Dengan berkurangnya atau bahkan hilangnya pendapatan tersebut akan berdampak kepada pola mengurangi konsumsi (makanan), yang tentunya sangat fatal bagi produktivitas dan perekonomian. 

Maka dari itu, sejumlah besar negara, termasuk Indonesia, tidak memiliki pilhan yang lebih baik selain: (1) refocusing/ realokasi belanja untuk reprioritasi terutama kepada penanganan kesehatan (Covid-19) dan perlindungan sosial, mengoptimalkan kapasitas fiskal yang ada, dan bahkan meningkatkan defisit anggaran secara terukur untuk dapat membiayai pengeluaran (stimulus fiskal) yang sangat diperlukan.

Selanjutnya, konflik bersenjata pada beberapa negara, seperti konflik yang terjadi di Suriah, Yaman, dan Afghanistan tentunya akan berdampak kepada stabilitas negara termasuk perekonomian. 

Dalam periode 2015 sampai 2018 misalnya, kemiskinan ekstrem yang diakibatkan konflik bersenjata di Suriah dan Yaman tumbuh hampir dua kali lipat, dari 3,8 persen menajdi 7,2 persen. Laporan world bank juga menyebutkan bahwa dampak perubahan iklim berpotensi menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin dunia sebanyak lebih dari 132 juta orang hingga tahun 2030.

Kebijakan pengentasan kemiskinan tidak hanya cukup dengan program perlindungan sosial yang bentuknya hanya bantuan kepada masyarakat miskin, tetapi harus dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja serta peningkatan kompetensi dari masyarakat miskin tersebut. 

Hal ini untuk meminimalisir kerentanan yang selama ini terjadi, bahwa masyarakat dengan kemiskinan ekstrem sangat sulit diangkat dan bahkan saat mereka sudah berada di atas garis kemiskinan maka cenderung sangat rentan untuk kembali miskin seandainya terjadi shock/ krisis. 

Terlebih, masyarakat yang baru-baru ini masuk ke dalam kemiskinan sebagian besar berusia produktif, mayoritas tinggal di perkotaan, pernah bekerja utamanya di bidang informal, konstruksi, dan manufaktur (sektor yang sangat terdampak dengan kebijakan pembatasan mobilitas), dan cenderung lebih berpendidikan dibanding dengan orang dengan kemiskinan ekstrem/ kronis.

Bagaimana penanganan kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem di Indonesia? Dalam penyampaian RAPBN 2022 tanggal 16 Agustus lalu, Pemerintah menyampaikan strategi kebijakan pengentasan kemiskinan yang adaptif dan sepanjang hayat. 

Adapun alokasi perlindungan sosial tahun 2022 sebesar Rp427,5 dan berpotensi meningkat seiring dengan penanganan dampak Pandemi Covid-19 dalam pelaksanaan APBN 2022. Namun, apakah ini cukup? Penanganan kemiskinan, setidaknya harus memperhatikan beberapa hal utama. 

Pertama, memastikan agar penduduk miskin tersebut diberikan intervensi dalam menjaga keberlangsungan hidupnya. Kedua, memastikan agar penduduk miskin juga memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan akses kepada kesehatan, pendidikan, dan perumahan untuk meningkatkan kompetensi. 

Ketiga, memastikan pemberdayaan yang sesuai agar penduduk miskin memiliki akses kepada permodalan serta dukungan finansial yang inklusif untuk mendorong aktivitas ekonomi serta kemandirian.

Jika melihat pemanfaatan anggaran perlindungan sosial, maka konsep yang dijalankan Pemerintah selama ini serta perbaikan yang dicanangkan pada tahun 2022 terlihat bahwa anggaran perlindungan sosial utamanya menjangkau tidak hanya golongan miskin dan rentan miskin (bottom 40). 

Kemudian dari sisi siklus hidup manusia, maka program yang dijalankan sudah mencakup secara penuh siklus hidup manusia, mulai dari usia 0 tahun hingga lanjut usia. Untuk pemenuhan kebutuhan hidup Pemerintah memberikan antara lain program PKH, kartu sembako, dan subsidi energi (listrik, LPG, dan BBM). 

Kemudian, untuk peningkatan kualitas SDM dan pengembangan kompetensi diberikan antara lain jaminan kesehatan melalui iuran PBI JKN, Program Indonesia Pintar (PIP), KIP Kuliah, subsidi perumahan bagi MBR, serta program kartu prakerja. 

Kemudian Pemerintah juga memiliki berbagai program untuk pemberdayaan masyarakat melalui: (1) peningkatan akses permodalan melalui pemberian modal usaha serta akses kepada pembiayaan ultra mikro (Umi), (2) peningkatan kualitas produk dan layanan usaha melalui upaya meningkatkan keterampilan dan sertifikasi keahlian, mempermudah izin usaha, serta pemberdayaan koperasi. 

(3) pengembangan kewirausahaan, kemitraan, dan akses pasar melalui mengembangkan nilai tambah produk lokal dan rantai pasar produk, (4) pengembangan pusat ekonomi melalui penyediaan/penguatan infrastruktur transportasi/ konektivitas dan jaringan, stabilisasi harga, dan penyediaan supply side (inklusi financial/ akses terhadap perbankan), serta (5) pemanfaatan TIK melalui perluasan jangkauan telekomunikasi dan kualitas layanan dasar dan stimulasi inovasi dan ide kreatif. 

Intervensi yang dilakukan Pemerintah pada masa pandemi Covid-19 telah diperkuat dengan antara lain pemberian bantuan sosial tunai (BST), bantuan pelaku usaha mikro (BPUM), diskon listrik, bantuan subsidi upah, kartu sembako PPKM, dan BLT Dana Desa.

Lho, kalau skema yang dijalankan Pemerintah sudah komprehensif begitu kok angka kemiskinan relatif stagnan? Nah terkait hal ini, mungkin ada beberapa penjelasan berikut. 

Pertama, tingkat akurasi database yang digunakan (DTKS) masih belum optimal. Kemensos sendiri sebenarnya telah melakukan updating data DTKS dengan melibatkan para pemangku kepentingan, utamanya pemda melalui aplikasi SIKS NG untuk melakukan update atas DTKS secara reguler. 

Temuan KPK yang menyampaikan bahwa masih cukup banyak kendala DTKS dengan adanya inclusion error (orang kaya yang masuk ke dalam database) dan exclusion error (orang miskin yang tidak masuk dalam database) yang masih cukup tinggi, juga telah ditindaklanjuti Kemensos dengan segera menggerakan stakeholder terkait untuk bersama melakukan update data. 

Dampak dari belum optimalnya database adalah targeting error dari program perlinsos menjadi tinggi. Data menunjukkan bahwa sekitar 25 persen masyarakat berpenghasilan terendah (desil 1) belum menerima bansos dari Pemerintah., dan cukup banyak masyarakat non miskin yang masih menerima bansos dari Pemerintah, meskipun hanya 1 program bansos saja.

Kedua, dari sisi komplementaritas antarprogram perlindungan sosial yang belum optimal. Hasil kajian Prospera dengan Kementerian Keuangan pada 2020 lalu menunjukkan bahwa program bansos masih belum sepenuhnya terintegrasi. 

Sebagai contoh, hanya sebanyak 1,26 juta rumah tangga miskin yang menerima program PKH, PIP, dan kartu sembako (BPNT), masih relatif kecil bila dibandingkan dengan target dari masing-masing program tersebut.

Sumber: Susenas Maret 2019, Prospera
Sumber: Susenas Maret 2019, Prospera

Permasalahan ketiga yaitu masih belum efektifnya beberapa program perlindungan sosial. Kajian BKF (Kemenkeu) dan LPEM UI pada tahun 2020 menunjukkan bahwa program-program perlindungan sosial untuk bidang energi (subsidi solar, subsidi listrik, dan subsidi LPG) jauh lebih rendah efektivitasnya dibandingkan dengan program bansos yang sifatnya langsung kepada individu atau keluarga seperti PKH, PIP, dan Kartu sembako. 

Perlu adanya langkah untuk mengintegrasikan basis data dalam targeting dari program perlinsos di bidang energi agar dapat semakin efektif. Efektivitas PBI JKN mungkin dapat ditingkatkan dengan tidak sekedar dilihat dari berapa jumlah orang miskin dan rentan yang telah dicover, namun juga bagaimana mereka memiliki akses kepada layanan kesehatan tersebut, termasuk yang berada di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan terluar (DTPK). 

Permasalahan terakhir yaitu terkait dengan masih rentannya sistem perlinsos di Indonesia terhadap krisis yang timbul, sebagaimana yang saat ini ditunjukkan dengan pandemi Covid-19 Pemerintah cukup banyak melakukan adaptasi melalui pemberian skema perlinsos baru seperti bansos tunai, BPUM, subsidi upah.

Kita semua tentu berharap, mimpi bangsa ini untuk dapat terbebas dari kemiskinan ekstrem di tahun 2024 dapat terwujud. Namun demikian, hal ini juga sangat tergantung dengan seberapa besar komitmen Pemerintah untuk melakukan reformasi perlindungan sosial sebagaimana tercantum dalam RAPBN 2022, tidak hanya sekedar menjalankan bussiness as usual. 

Karena Pemerintah perlu menyadari reformasi beberapa tahun lalu seharusnya sudah menjadi bussiness as usual saat ini, dan selayaknya perkembangan yang terjadi maka selalu dibutuhkan reform lanjutan untuk terus meningkatkan kualitas pengelolaan APBN, termasuk dalam program perlindungan sosial ini. 

Tentunya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin target kemiskinan ekstrem nol persen di 2024 dilakukan oleh Pemerintah sendiri, dibutuhkan upaya yang sangat besar dari seluruh elemen masyarakat untuk dapat memperkuat dan mengawasi pelaksanaan program perlinsos tersebut. Mari kita bersama mewujudkan Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun