Dampak dari belum optimalnya database adalah targeting error dari program perlinsos menjadi tinggi. Data menunjukkan bahwa sekitar 25 persen masyarakat berpenghasilan terendah (desil 1) belum menerima bansos dari Pemerintah., dan cukup banyak masyarakat non miskin yang masih menerima bansos dari Pemerintah, meskipun hanya 1 program bansos saja.
Kedua, dari sisi komplementaritas antarprogram perlindungan sosial yang belum optimal. Hasil kajian Prospera dengan Kementerian Keuangan pada 2020 lalu menunjukkan bahwa program bansos masih belum sepenuhnya terintegrasi.Â
Sebagai contoh, hanya sebanyak 1,26 juta rumah tangga miskin yang menerima program PKH, PIP, dan kartu sembako (BPNT), masih relatif kecil bila dibandingkan dengan target dari masing-masing program tersebut.
Permasalahan ketiga yaitu masih belum efektifnya beberapa program perlindungan sosial. Kajian BKF (Kemenkeu) dan LPEM UI pada tahun 2020 menunjukkan bahwa program-program perlindungan sosial untuk bidang energi (subsidi solar, subsidi listrik, dan subsidi LPG) jauh lebih rendah efektivitasnya dibandingkan dengan program bansos yang sifatnya langsung kepada individu atau keluarga seperti PKH, PIP, dan Kartu sembako.Â
Perlu adanya langkah untuk mengintegrasikan basis data dalam targeting dari program perlinsos di bidang energi agar dapat semakin efektif. Efektivitas PBI JKN mungkin dapat ditingkatkan dengan tidak sekedar dilihat dari berapa jumlah orang miskin dan rentan yang telah dicover, namun juga bagaimana mereka memiliki akses kepada layanan kesehatan tersebut, termasuk yang berada di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan terluar (DTPK).Â
Permasalahan terakhir yaitu terkait dengan masih rentannya sistem perlinsos di Indonesia terhadap krisis yang timbul, sebagaimana yang saat ini ditunjukkan dengan pandemi Covid-19 Pemerintah cukup banyak melakukan adaptasi melalui pemberian skema perlinsos baru seperti bansos tunai, BPUM, subsidi upah.
Kita semua tentu berharap, mimpi bangsa ini untuk dapat terbebas dari kemiskinan ekstrem di tahun 2024 dapat terwujud. Namun demikian, hal ini juga sangat tergantung dengan seberapa besar komitmen Pemerintah untuk melakukan reformasi perlindungan sosial sebagaimana tercantum dalam RAPBN 2022, tidak hanya sekedar menjalankan bussiness as usual.Â
Karena Pemerintah perlu menyadari reformasi beberapa tahun lalu seharusnya sudah menjadi bussiness as usual saat ini, dan selayaknya perkembangan yang terjadi maka selalu dibutuhkan reform lanjutan untuk terus meningkatkan kualitas pengelolaan APBN, termasuk dalam program perlindungan sosial ini.Â
Tentunya sangat sulit atau bahkan tidak mungkin target kemiskinan ekstrem nol persen di 2024 dilakukan oleh Pemerintah sendiri, dibutuhkan upaya yang sangat besar dari seluruh elemen masyarakat untuk dapat memperkuat dan mengawasi pelaksanaan program perlinsos tersebut. Mari kita bersama mewujudkan Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh.