Mohon tunggu...
Taufik Al Mubarak
Taufik Al Mubarak Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tukang Nongkrong

Taufik Al Mubarak, blogger yang tak kunjung pensiun. Mengelola blog https://pingkom.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ancaman Konflik di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia

31 Mei 2024   22:25 Diperbarui: 31 Mei 2024   23:16 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pihak yang terlibat di Laut China Selatan. Photo: Sindonews

Ancaman terhadap kedaulatan Indonesia ada di depan mata. Konflik di Laut China Selatan bakal memberi ancaman cukup serius terhadap masa depan politik dan keamanan Indonesia.

Seperti kita tahu, belakangan ini Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sangat ambisius dengan proyek memperluas batas negara. Salah satu contoh dari agresivitas China tersebut adalah konsep nine-dash-line (sembilan garis putus-putus) dengan memasukkan Laut Natuna Utara ke dalam teritorial China. Klaim ini tentu saja berpotensi menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan Indonesia.

Selama ini, wilayah yang diklaim negeri Xi Jinping tersebut masuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia yang diakui dunia internasional. Wilayah kaya kandungan kekayaan alam ini secara eksklusif dimanfaatkan dan dieksplorasi oleh Indonesia. Namun, sejak satu dekade terakhir, China cukup serius memperluas wilayah di sekitar Laut China Selatan, dengan cara reklamasi pulau-pulau yang sudah ada atau membangun pulau-pulau baru.

 China tidak hanya sekadar melakukan klaim terhadap kawasan yang ditengarai memiliki kekayaan gas alam cukup besar itu, konon di atas 200 triliun kubik, melainkan juga membangun infrastruktur pendukung seperti pelabuhan, landasan udara, dan basis militer. Bahkan, basis militer ini dilengkapi dengan alat utama sistem persenjataan, meliputi pesawat tempur, sistem radar dan rudal dengan jangkauan jelajah tinggi.

Laut Natuna Utara yang masuk dalam konsep Sembilan Garis Putus-putus (nine dash line) dan diklaim oleh China sebagai wilayahnya memang lebih tipis dibandingkan dengan wilayah milik Vietnam atau Filipina (yang juga diklaim jadi milik China). Namun, tetap saja langkah tersebut tidak bisa dianggap sepele. Apalagi, wilayah yang diklaim China itu beririsan dengan wilayah Indonesia dan beberapa di antaranya malah menjadi hak Indonesia.

Mau tidak mau, Indonesia mesti mempertegas sikap dan tidak mentoleransi tindakan apapun yang dilakukan China. Upaya apapun yang coba mengecilkan batas wilayah negara Indonesia harus dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara, dan harus dilawan. 

Semboyan Jalesveva Jayamahe Indonesia

Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Nenek moyang bangsa ini adalah pelaut, setidaknya begitulah pelajaran sejarah yang diajarkan kepada kita sejak dulu. Hanya saja, di masa Orde Lama dan Orde Baru, negara ini dibangun dengan konsep daratan. Salah satu yang dilakukan pemimpin sejak Soekarno hingga Soeharto adalah dengan memperkuat tentara angkatan darat.  

Arus balik Indonesia kembali menjadi bangsa maritim mulai terlihat ketika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden. Cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu melakukan terobosan besar ketika mengangkat KASAL Widodo AS sebagai Panglima TNI, sesuatu yang tidak pernah terjadi sejak Indonesia merdeka.

Gus Dur juga membentuk Departemen Eksplorasi Laut, cikal bakal Departemen Kelautan dan Perikanan atau sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Apa yang dilakukan Gus Dur merupakan ikhtiar untuk mengembalikan Indonesia sebagai bangsa pelaut. Ini selaras dengan semboyan 'jalesveva jayamahe' bahwa di laut kita jaya!

Presiden Joko Widodo pun berusaha mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Ketika menyampaikan pidato perdana usai dilantik sebagai Presiden di Gedung MPR pada Senin (20/10/2014), Jokowi mengatakan ingin mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. "Samudera, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita," katanya.

Menurut mantan Walikota Solo itu, bangsa Indonesia sudah cukup lama memunggungi laut, memunggungi samudera, selat, dan teluk. Ia menyatakan akan mengembalikan kejayaan Indonesia di laut dan samudera. "Sehingga 'jalesveva jayamahe', di laut kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu kembali membahana."

Jokowi membuktikan komitmennya mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Hal ini terjadi saat kapal pencari ikan dan coast guard China masuk ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Indonesia tidak hanya menggunakan jalur diplomasi dengan melayangkan nota protes terhadap China melalui Duta Besar mereka di Jakarta, melainkan juga menangkap sejumlah kapal nelayan China.

Gesekan antara China dan Indonesia di Perairan Natuna, memang sudah cukup sering terjadi. Satuan TNI AL bahkan pernah menembak kapal ikan milik nelayan China, Han Tan Cou, yang memicu protes dari Pemerintahan China. Menurut mereka, kawasan itu merupakan zona penangkapan ikan tradisional nelayan China. Indonesia tentu saja tidak dapat menerima klaim sepihak tersebut. Hal ini ditunjukkan Presiden Jokowi dengan menggelar rapat di atas KRI Imam Bonjol-383 yang melepaskan tembakan ke Han Tan Cou, demi menunjukkan bahwa Indonesia peduli pada kedaulatan negara.

Indonesia Harus Bersiap

Apa yang terjadi di Laut China Selatan belakangan ini tidak boleh diabaikan oleh Indonesia. Jika konflik terbuka pecah di Laut China Selatan, melibatkan China berhadapan dengan sekutu Amerika di kawasan Asia Pasifik, seperti Filipina, Indonesia ikut merasakan dampaknya. 

Belakangan ini, China memang cukup serius menasbihkan diri sebagai pemain kunci di kawasan Laut China Selatan, terutama melalui konsep nine-dash line yang membuat beberapa negara seperti Vietnam, Filipina dan Indonesia meradang. Demi menunjukkan superioritasnya, China bahkan mengembangkan program nuklir di Laut China Selatan, yang memancing ketegangan dan memicu eskalasi konflik di kawasan.

Soal pengembangan program nuklir China ini terungkap dari laporan Komandan Indo-Pasifik militer Amerika Serikat, Adm John Aquilino, awal Mei lalu. Menurut laporan itu, China tengah mengembangkan reaktor nuklir mengapung sebagai sumber energi dari fasilitas militer di kawasan Laut China Selatan. Seperti kita tahu, pengembangan nuklir tentu saja memiliki maksud tertentu, salah satunya sinyal siap untuk berperang. 

Pengembangan program nuklir China di Laut China Selatan merupakan alarm yang berbunyi keras bagi Indonesia. Indonesia tentu saja tidak boleh berdiam diri. Sebab, ini merupakan ancaman yang nyata bagi kedaulatan Indonesia, terutama jika menengok ke belakang, terkait sejumlah insiden yang melibatkan kapal nelayan dan coast guard China yang masuk ke perairan Indonesia.

Indonesia perlu bersiap dengan meningkatkan kemampuan alat utama sistem persenjataan (alutsista) untuk matra laut dan udara kita. Sudah saatnya negeri ini lebih fokus memperkuat angkatan laut dan udara. Soalnya, ke depan ancaman lebih banyak datang dari laut dan udara. Indonesia perlu menunjukkan bahwa di laut (dan juga udara) kita jaya! [] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun