Tegak rumah karena sendi, tanpa sendi rumah binasa. Tegak bangsa karena budi, tanpa budi bangsa binasa.
Sekilas, pepatah lama itu tampak seperti tak ada hubungannya dengan keharusan membangun keluarga, apalagi untuk mencapai kemajuan sebuah bangsa. Tapi, kalau kita coba dalami lagi, pepatah itu sebenarnya cukup erat kaitannya dengan tema yang sedang kita bahas. Sebuah bangsa yang kokoh pondasinya, dibangun dan dimulai dari sebuah keluarga.
Cerminan sebuah bangsa yang hebat, bisa dilihat dari kondisi masyarakatnya. Sementara sebuah masyarakat yang sehat atau pun sakit, memiliki hubungan dengan kondisi sosial sebuah keluarga, sebagai unit terkecil dari sebuah masyarakat. Dapat dibayangkan, bagaimana jadinya sebuah masyarakat jika banyak keluarga yang membentuknya sakit secara mental dan moral.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mempersiapkan keluarga yang tangguh, yang kuat secara mental dan hubungannya dengan pembangunan sebuah bangsa?
Keluarga harapan
Pemerintah dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) tahun ini punya program mempersiapkan generasi emas 100 tahun Indonesia merdeka, yaitu tahun 1945. Tugas ini tak boleh hanya semata-mata menjadi beban pemerintah dan BKKBN saja. Tanpa dukungan dari keluarga sebagai basis inti pembangunan, tujuan itu akan sulit dicapai. Karenanya, membangun keluarga harapan, harus dimulai dari unit terkecil, yaitu keluarga, di mana peran orang tua mutlak harus lebih besar.
Ini memang tantangan berat, karena Indonesia juga mengalami bonus demografi yang dimulai sejak 2010 dan diperkirakan mencapai puncak pada 2035. Deputi Bidang KSPK BKKBN, Dr. Sudibyo Alimoeso, MA dalam paparannya saat Kompasiana nangkring dengan BKKBN menjabarkan strategi yang dilakukan pemerintah, yaitu pembangunan keluarga menggunakan pendekatan siklus hidup. Pertama, pembinaan ketahanan balita dan anak. Kedua, pembinaan ketahanan remaja. Ketiga, pembinaan ketahanan lansia dan kelompok rentan, dan terakhir pemberdayaan ekonomi keluarga.
Langkah ini tentu saja tak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, karena masyarakat juga perlu terlibat di dalamnya. Jika pemerintah melakukannya dari atas terutama melalui kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, maka masyarakat melakukannya melalui penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat, apakah itu Paud, TPA dan sebagainya.
Kerjasama ini, tentu saja memberi harapan yang lebih menjanjikan untuk mewujudkan keluarga harapan (pembangunan keluarga). Dengan demikian, tujuan dari pembangunan keluarga yaitu untuk menciptakan keluarga kecil yang berketahanan dan sejahtera bukan jauh panggang dari api.
Keluarga hebat
Yang tak kalah penting dalam melahirkan generasi emas 100 tahun Indonesia merdeka adalah mewujudkan keluarga hebat. Sebuah keluarga hebat tentu saja lahir dari keberadaan orang tua hebat. Melahirkan orang tua hebat tak semudah membalik telapak tangan. Memang, tak ada pendidikan yang khusus disiapkan untuk menciptakan orang tua hebat. Tapi, untuk menjadi orang tua hebat sebenarnya tak membutuhkan pendidikan. Masyarakat yang sehat, saya pikir, menjadi modal sosial bagaimana melahirkan orang-orang tua hebat.
Salah satunya, dengan menetapkan usia terbaik menikah, yaitu 27 tahun untuk laki-laki dan 25 tahun untuk perempuan. Tapi, kadangkala usia pasangan suami-istri menikah tak menjamin mereka akan otomatis menjadi orang tua hebat. Biasanya, menjadi orang tua hebat berasal dari faktor keturunan, yaitu orang tua mereka dulu harus hebat dalam mendidik mereka. Untuk menjadi orang tua hebat, tak semata-mata sekadar menjadi orang tua bagi si anak, karena dalam beberapa kondisi tertentu, mereka harus menjadi teman anak-anak, menjadi guru bagi anak-anak atau menjadi panutan bagi mereka.
Apalagi, di dunia yang terus berkembang dan berubah ini, orang tua perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Untuk menjaga anak-anak dari pengaruh buruk media, maka mereka pun harus tidak terpengaruh dengan media. Mereka perlu menjaga tontonan di hadapan anak-anak. Dengan menjaga perilaku mereka, anak-anak dengan sendirinya akan mengikuti.
Sesibuk apapun orang tua, mereka harus hadir dalam setiap jenjang pertumbuhan anak-anaknya. Orang tua boleh bekerja dan lembur, tapi mereka harus selalu menyempatkan diri hadir dalam momen-momen penting pertumbuhan anak-anaknya. Dewasa ini, banyak muncul di pemberitaan, orang tua sibuk dengan gadget masing-masing, sehingga komunikasi dengan anak-anak menjadi berkurang. Mereka lebih asik dengan dunia mereka sendiri, sementara anak-anak mereka masih membutuhkan kasih sayang.
Orang tua tak boleh melepaskan tanggung jawab membangun karakter anak-anak mereka semata-mata kepada guru di Paud, TPA atau di sekolah. Mereka harus memulai dari rumah, dan oleh mereka sendiri. Ingat, perilaku anak-anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana perilaku orang tua mereka. Orang tua adalah model pertama yang dilihat dan ditiru oleh anak-anak. Memiliki rumah yang nyaman tentu saja sebuah berkah.
Dengan memiliki keluarga hebat, saya pikir kita tak perlu takut menghadapi berbagai perkembangan dunia yang terus berubah itu, apalagi takut dengan bonus demografi. Sebab, sejak kecil, mulai dari keluarga, kita sudah mempersiapkan generasi tangguh, sebagai modal membangun bangsa yang tangguh pula. Dari rumah, kita sudah menyiapkan sendi yang kokoh, sekaligus menjaga moral mereka sejak kanak-kanak. Saya pikir, dengan berbagai langkah yang kita lakukan, seperti disinggung di atas, maka pepatah yang dikutip di awal tulisan ini menjadi relevan. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H