Mohon tunggu...
Taufik Al Mubarak
Taufik Al Mubarak Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tukang Nongkrong

Taufik Al Mubarak, blogger yang tak kunjung pensiun. Mengelola blog https://pingkom.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

GAM, Ganja, dan Giok

4 April 2015   16:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:33 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan Aceh Merdeka yang diproklamirkan Teungku Hasan Muhammad di Tiropada 4 Desember 1976 itu memang berhasil menyita sebagian besar perhatian Jakarta ke Aceh. Beberapa formula penyelesaian, termasuk dengan menggelar operasi, tak pernah berhasil memadamkan api pemberontakan, seperti melalui operasi jaring merah yang berdarah-darah. Ya, sejak 1989, Pemerintah Indonesia menggelar operasi militer di Aceh, di kemudian hari dikenal dengan DOM, terutama di tiga kabupaten: Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Ketiga daerah ini masuk kategori rawan dan hitam.

Aceh pun berkubang dalam darah. Setiap hari ada yang mati ditembak, diculik atau dibunuh. Mayat dibuang di sembarang tempat. Malam-malam mencekam. Kota-kota di tiga kabupaten itu seperti kota mati. Ini tentu saja ironis. Sebagai daerah penghasil minyak dan gas dan penyumbang devisa negara, seharusnya Aceh diperlakukan secara manusiawi. Tetapi, di bawah Soekarno, dan lebih-lebih di bawah Soeharto, Aceh tak lebih anjing kurap di republik ini. Kebijakan ‘bumi-hangus’ Aceh itu berlanjut di masa Megawati dan SBY. Mengenang kisah kelam Aceh itu, yang ada hanya luka dan kebencian.

Pun begitu, GAM menjadi senjata promosi ampuh memperkenalkan Aceh ke mata dunia, sekali pun dunia tak bisa berbuat apa-apa. Aceh hanya sendirian menghadapi kejamnya mesin pembunuh yang dikirim Jakarta. Nasib orang Aceh persis seperti salah satu judul buku Pramoedya Ananta Toe, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Situasi yang sungguh kontras dibandingkan saat Tsunami meluluh-lantakkan pesisir Aceh, karena semua mata tertuju ke Aceh dan membantu.

Ganja

Aceh tak hanya terkenal dengan GAM-nya, tapi juga dengan ganja. Orang Aceh bahkan sesumbar, bahwa ganja yang ditumbuh di tanah Aceh memiliki kualitas yang jauh di atas ganja dari belahan dunia mana pun. Sekali pun punya ganja terbaik di dunia, orang Aceh jarang yang mabuk. Mereka menghisap ganja sama seperti orang menghisap rokok.

Ganja pun dipandang sebagai sumber masalah. Dalam sejumlah propaganda, pemerintah menuding GAM menggunakan ganja sebagai tambang uang (haram), terutama untuk membeli senjata. Tudingan yang sebenarnya tak semuanya salah. Sebab, sebagian senjata yang dimiliki oleh GAM memang dibeli dari hasil penjualan ganja. Senjata-senjata itu sebagiannya malah dibeli dari oknum TNI. Tapi, propaganda ‘GAM beli senjata dari uang haram’ hitam itu sengaja dibesar-besarkan untuk memperlemah dukungan orang Aceh terhadap gerakan yang ingin memerdekakan Aceh itu.

Bagi orang Aceh, tak selamanya ganja dipandang sebagai barang haram yang memabukkan. Sebab, banyak orang Aceh yang justru menggunakan ganja sebagai salah satu bumbu masakan. Daun dan biji ganja yang sudah dihaluskan sering digunakan oleh orang Aceh sebagai campuran bumbu masakan, tentu saja dengan takaran yang cukup. Bumbu halus dari ganja itu tak hanya melezatkan masakan melainkan juga mampu membuat daging empuk, sehingga nyaman dikunyah. Sampai hari ini, orang Aceh masih menggunakan ganja sebagai campuran bumbu masakan, termasuk dalam bumbu mie dan dodol. Jika sesekali sempat mencicipi kuliner Aceh dan ada rasa lezat, patut diduga kalau masakan itu ada campuran ganjanya.

Setiap mengikuti pelatihan di luar Aceh, saya selalu ditagih ganja. Mereka berpikir ganja Aceh tersedia dan dijual secara bebas. Mereka tak percaya jika saya bilang tak pernah menghisap ganja. Tapi setelah saya jelaskan panjang lebar, mereka baru percaya. Namun, tetap saja mereka menitip pesan kalau kapan-kapan berkunjung lagi agar tak lupa membawa ganja. Bahkan, kalau mereka datang ke Aceh diminta agar mencarikan ganja. Ini permintaan berat bagi saya, tapi biasa saja bagi teman-teman saya yang memang penikmat ganja.

Saya sering mendengar cerita teman, bahwa kalau ada teman mereka yang datang ke Aceh, akan disuguhkan dengan ganja. Bule sekali pun pernah dikasih ganja sampai mabuk. Anehnya, bule itu ketagihan dan selalu minta dicarikan ganja. Katanya, ganja Aceh benar-benar nikmat. Mereka pun tak akan pernah lupa dengan Aceh. Karena ganja dianggap barang haram, orang menghisap ganja secara sembunyi-sembunyi dan biasanya di tempat-tempat yang jauh dari keramaian.

Saya membayangkan, kalau ganja tak diharamkan dan dilarang seperti di Belanda atau Perancis, orang Aceh pasti akan kaya raya. Apalagi jika sampai ada gerakan “koh kayee pula ganja (tebang pohon, tanam ganja)”, pasti Aceh akan lebih makmur dari sekarang. Di Belanda dan di Perancis, saya sempat melihat orang membeli dan menghisap ganja secara bebas. Kita bisa membeli per batang yang sudah dibalut menyerupai rokok dengan harga yang terjangkau, kalau tidak salah dua batang per Euro.

Giok

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun