Mohon tunggu...
Taufik Al Mubarak
Taufik Al Mubarak Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tukang Nongkrong

Taufik Al Mubarak, blogger yang tak kunjung pensiun. Mengelola blog https://pingkom.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

[Aceh Baru] Tanpa Orang Miskin dan Gila!

5 Agustus 2012   05:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:14 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bara konflik di sejumlah daerah kian mengkhawatirkan, sekaligus membuat kita prihatin. Kesan ini muncul saat membaca berita Kompas edisi Senin-Rabu (2-4 Juli 2012). Sudah begitu mahalkah kondisi aman dan damai di negeri ini?

Selama tiga hari berturut-turut, Kompasmenyoroti pelbagai potensi konflik daerah yang tak kunjung usai, membuat rasa kemanusiaan kita tersentuh. Betapa seriusnya masalah yang dihadapi bangsa ini. Konflik tak hanya terjadi antarwarga, melainkan antara warga dan aparat pemerintah seperti di Papua, Aceh, Mesuji (Lampung) dan Morowali (Kalsel).

Ada kesan Negara cenderung membiarkan bara konflik itu melebar, tanpa upaya serius mencari solusi bijak. Muncul tawaran perlunya mengoreksi dan evaluasi kebijakan yang diterapkan di tingkat pusat, terutama di daerah, harus sesuai dengan kondisi setiap daerah itu.

Kita setuju dengan Tajuk Rencana Kompas, 3 Juli 2012, bahwa Negara Kesatuan RI yang kuat dan kokoh membutuhkan kepedulian dan kesungguhan untuk mengembangkannya. Negara tak hanya penting hadir dalam upaya penyelesaian bara konflik di daerah, melainkan aktif mendorong dialog dengan menghargai kearifan lokal. Kita tentu tak berharap, pelbagai protes dan aksi anarki justru merongrong kesatuan bangsa, namun upaya-upaya simpatik tetap diperlukan.

Dalam konteks Aceh, misalnya, pemerintah perlu lebih proaktif mendorong pemerintahan Aceh yang baru agar mempertahankan perdamaian Aceh. Upaya menjaga perdamaian, tak hanya menjadi kewajiban rakyat Aceh, melainkan juga tanggung jawab pemerintah. Hal ini sejalan dengan posisi pemerintah dalam Pilkada 2012 lalu: memilih opsi yang minim cost politik dengan terlibat aktif menyelesaikan konflik regulasi Pilkada, sehingga mantan pimpinan GAM bisa ikut pemilihan.

Dilema Aceh

Pemerintah pusat melalui Kementrian Dalam Negeri menjadi aktor penting menengahi antara dua kelompok: satu pihak menginginkan Pilkada ditunda jika KIP mengakomodir calon indepeden; satu pihak lagi ingin Pilkada dilanjutkan sekali pun kandidat dari Partai Aceh tak mendaftar. Hasilnya, setelah melalui serangkaian proses gugatan di Mahkamah Konstitusi, dicapai kata sepakat: Pilkada tetap dilanjutkan dengan penyesuaian jadwal.

Konflik regulasi tak hanya membuat suhu politik Aceh memanas dan berimbas pada aksi kekerasan: penembakan dan pemberondongan warga pendatang, melainkan dapat mengoyak kondisi damai. Keterlibatan pemerintah sebagai mediator penyelesaian konflik regulasi bertujuan meminimalkan jatuhnya korban yang tidak perlu.

Terbentuk opini umum di Aceh, bahwa jika Irwandi Yusuf memenangkan Pilkada, cost politik jauh lebih besar, misalnya, di banding Zaini Abdullah-Muzakkir menang. Aksi kekerasan bakal meningkat. Agenda pembangunan kesejahteraan terbengkalai. Fokus pemerintah pusat akan kembali tersita ke Aceh. Tak hanya menguras energi dan anggaran, perhatian pemerintah ke daerah lain juga terganggu. Karena Aceh bukan satu-satunya daerah yang harus mendapatkan perhatian lebih dari pusat.

Pilihan pemerintah mengakomodir kepentingan Partai Aceh agar bisa terlibat dalam Pilkada merupakan opsi paling aman. Hal ini terlihat, setelah MK memerintahkan KIP memberi kesempatan kepada kader Partai Aceh, kondisi Aceh relatif lebih aman. Penembakan dan pemberondongan warga pendatang berkurang.

Namun, pemukulan mantan Gubernur Irwandi Yusuf oleh massa saat menghadiri pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur Aceh, Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf, membuat kita prihatin. Apalagi, setelah itu, mobil konvoi massa Partai Aceh diberondong di kawasan Lambaro, Aceh Besar. Aceh tak juga beranjak dari ritus kekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun