Nah, siapa yang ada uang sebanyak itu. Ya oligarki atau anteknya oligarki.
Insights Prof Jeffrey Winters
Entah apa dalam kaitannya dengan oligarki legislatif, atau, dalam kaitannya dengan kondisi Pemilih Norak, atau, keduanya Prof Winters, pada video acara seminar di Universitas Indonesia beberapa tahun yang lalu, mengusulkan agar sebagian legislator dijaring dengan cara lotre atau undian. Artinya, lotre yang dapat diikuti oleh siapa saja, dimenangkan oleh siapa saja, gratis atau relatif gratis, memugkin orang miskin dan tentu saja jauh dari orang miliarder terpilih menjadi legislator. Kendala lingkaran norak, oligarki/antek oligarki, legislator norak, berhasil dijebol. Lebih jauh lagi, model legislator by lotre/undian ini berpotensi mendapatkan legislator yang lebih baik, lebih berintegritas, dan tentu saya tidak akan pernah tunduk sama sekali dengan oligarki.
Pengembangan model legislator by lotterey/undian
Wacana anggota legislatif lotre/undian ini kami kembangkan dalam diskusi internal grup WA dan Zoom meeting. Setelah diskusi berulang kali, kami dapat kesimpulan bahwa paling cocok jika legislatif lotre itu untuk anggota MPR. MPR yang saat ini terdiri dari unsur DPR dan DPD dimodifikasi menjadi MPR yang terdiri dari unsur DPD dan unsur lotre/undian. Berkembang menjadi perlunya utusan golongan agama, masyarakat adat, profesi, dan golongan yang lainnya sebagai unsur MPR baru. Utusan golongan ditentukan sendiri oleh golongan masing-masing dengan Protokol/SOP yang baik dan kredibel dan dibuat sendiri oleh masing-masing golongan itu.
Dengan demikian sistem parlemen bikameral Indonesia yang diusulkan terdiri dari Majelis Rendah yaitu DPR sekarang dan Mejelis Tinggi yaitu MPR Baru. MPR baru terdiri dari unsur DPD dan unsur Utusan Golongan. Utusan Golongan terdiri dari dua sub unsur yaitu sub unsur yang diangkat/ditunjuk oleh golongan dan sub unsur yang didapat dari hasil lotre/undian.
MPR Baru dan Oligarki
Intinya, ada tiga unsur utama MPR yaitu DPD, Lotre, dan utusan golongan. Unsur DPR dihapus dari MPR baru ini. Lembaga negara Mahkamah Konstitusi dihapus. Poros legislatif sistem parlemen dua kamar Indonesia hanya terdiri dari MPR (Majelis Tinggi) dan DPR (Majelis Rendah). Oligarki tetap exist di DPR dan di DPD.
MPR baru perlu diberikan kewenangan untuk menginisiasi UU dan menerima/menolak RUU yang sudah disetujui oleh DPR. Kewenangan pemerintah untuk menginisiasi dan menyetujui/menolak UU dihapus. Dengan kata lain, terlepas dari MPR atau DPR yang melakukan inisiasi pembentukan UU, UU baru dapat disahkan jika disetujui oleh DPR dan MPR. Presiden perlu diberi hak untuk memveto RUU yang sudah disetujui oleh DPR dan MPR, dengan rambu-rambu yang jelas dan terukur serta kredibel.
Dalam diskusi lanjutan, ada anggota sempat mempertanyakan ada tidaknya contoh negara lain yang mengangkat anggota legislatif dengan sistem undian/lotre. Maksudnya mencari referensi sistem pengangkatan anggota parlemen dengan cara lotre/undian. Forum menyatakan bahwa Indonesia berkemungkinan akan menjadi pelopor, pioneer, legislator by lottery.
Sampai dengan isu referensi itu, penulis mencoba mempelajari beberapa sistem parlemen yang ada di dunia saat ini. Penulis sempat melirik sistem parlemen US dan kemudian sistem parlemen UK (Inggris). UK mengadopsi sistem parlemen dua kamar, bikameral, yaitu kamar Majelis Rendah (House of Commons) dan kamar Majelis Tinggi, Dewan Bangsawan atau the Lords. Mengingat sejarah parlemen UK mengandung marwah kondisi parlemen Indonesia saat ini, maka paling pas jika kita mengharapkan hal yang relatif sama juga berlaku dalam proses pembentukan sistem parlemen dua kamar Indonesia.