Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kongkow Santuy "Sewa Perahu" Parpol Pemilu 2024

29 Juli 2022   17:49 Diperbarui: 29 Juli 2022   17:50 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Credit: Kompas.com

Partai Golkar, PDIP, dan PPP adalah partai politik tertua Pasca Reformasi 1997/1998. Parpol baru banyak mulai dari Gerindra, PKB, hingga PAN. Partai politik yang memiliki wakil di DPR saat ini ada sembilan yaitu, PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PKS, Demokrat, PAN, dan PPP.

Kesembilan Parpol itu merupakan Parpol peserta Pemilihan Umum tahun 2019 yang lolos persyaratan ambang batas perolehan kursi atau suara sah nasional (parliamentary threshold). Ada tujuh arpol  yang lain yang tidak lolos ke Senayan, yaitu, PBB, Perindo, Garuda, Berkarya, Hanura, PKPI, dan PSI.

Untuk Pemilu 2024, jumlah Parpol itu jelas jauh lebih besar dari Parpol peserta Pemilu 2019 yang berjumlah 16. Saat ini saja sudah terdapat 75 Parpol yang berbadan hukum, yang kemudian akan dilakukan verifikasi administratif dan verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Intuisi penulis jumlah Parpol peserta Pemilu 2024 sekitar 20 dan jumlah ini konsisten dengan pernyataan Kemenkumham bahwa dari 75 itu yang aktif secara administratif hanya 32 Parpol..

Jumlah yang lebih dari 20 itu jelas terlalu banyak. Untuk pemerintahan yang mengadopsi sistem presidensial seperti Indonesia jumlah yang ideal adalah dua atau paling banyak tiga, yang merefleksikan reasonable political costs dan efficient political systems.

Pertanyaanya sekarang adalah kenapa kita bergerak menjauhi jumlah ideal dua atau tiga? Kapan terjadi titik balik sehingga kita akan bergerak menuju posisi ideal itu?

Jawabanya cukup dengan nalar yang sederhana saja. Orang akan memulai suatu usaha atau kegiatan baru disebabkan ada manfaat bagi dirinya sendiri. Bentuk manfaat itu beragam mulai dari agama, sosial, keamanan dan perlindungan diri, kekuasaan hingga manfaat ekonomi. Manfaat ekonomi ini lebih umum dikatakan sebagai economic rents.

Terkait dengan economic rents ini Kang Mizan yakin Anda semua pernah mendengar kata tengik "sewa perahu" dalam kegiatan pemilihan umum. Kandidat biasanya secara tidak langsung, atau, menggunakan dalih seperti sebagai dana kampanye, perlu menyetor uang ke Parpol dalam hitungan miliaran rupiah untuk jenjang walikota/bupati dan bahkan untuk tingkat Gubernur bisa mencapai angka triliunan rupiah, apalagi untuk Pilpres yang dapat saja mencapai ratusan triliun rupiah. Klik disini untuk kasus La Nyalla, misalnya. Ahok dan mahar politik, klik disini.

Sangat plausible, dapat diterima akal sehat, jika minat untuk mendirikan Parpol baru demikian mengebu-ngebu. Pada tingkat daerah saja, dengan 37 provinsi dan 514 Kabupaten/kota, economics rents "sewa perahu" yang tersedia jelas sudah dalam hitungan triliunan rupiah. Sangat berlimpah dan logis jika kita menduga economic rents "sewa perahu" untuk Pilpres bisa mencapai ratusan triliun rupiah.

Nuansa yang sama untuk jenis pemilihan legislatif. Jumlah Caleg untuk DPR pada Pemilu 2019 adalah 7.968 orang dan untuk seluruh DPRD Kang Mizan belum dapat mengakses angka resminya. Namun, menurut sumber KPU jumlah kursi DPRD seluruh Indonesia 19.817 kursi. Angka ini dapat kita ekstrapolasi untuk mendapatkan estimasi jumlah Caleg DPRD yang reasonable.

Asumsikan setiap Parpol mencalonkan 7 orang untuk setiap kursi sehingga dengan 16 Parpol ada 112 calon dari setiap Parpol. Dengan demikian jumlah Caleg DPRD secara nasional adalah 19.817 x 112 = 2.219.504 orang. Potensi economic rents "sewa perahu" yang sungguh berlimpah dan menggiurkan.

Tak heran jika beberapa pakar politik memplesetkan Partai Politik menjadi Partai Rental Politik. Hal ini misal pernah disebut oleh Pakar Politik Chusnul Mariyah, klik disini.

Kesemua itu mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa senjata pamungkas untuk mengendalikan, menciutkan jumlah Parpol, sedemikian rupa sehingga bergerak ke posisi jumlah ideal dua atau tiga Parpol saja, adalah dengan cara menghilangkan economic rents "sewa perahu" termaksud. Ini merupakan motivasi utama menjamurnya jumlah Parpol menjelang setiap siklus pemilihan umum. Pandangan Kang Mizan ini konsisten dengan pandangan Prof Vedi Hadiz yang menyatakan bahwa tidak ada Parpol di Indonesia yang berjuang untuk penegakan HAM dan demokrasi. Mindset Parpol itu dengan demikian adalah tidak lain dan tidak bukan economic rents.

Bagaimana caranya? Gampang dan sangat sederhana. Namun, jangan pernah mengikuti mindset sesat Hakim Konstitusi yang diluar akal sehat. Mindset Hakim Konstitusi untuk penciutan jumlah Parpol itu adalah dengan mempertahankan persyaratan ambang batas pengusungan calon presiden/wakil presiden seperti yang ditulis pada pasal 222 UU Pemilu tahun 2017 juncto UU Pemilu tahun 2008.

Bukti nyata memperlihatkan jumlah Parpol peserta Pemilu sejak tahun 2009 terus bertambah dan seperti sudah dijelaskan jika Pemilu 2019 diikuti oleh 16 Parpol, maka Pemilu 2024 hampir pasti akan diikuti oleh lebih dari 20 Parpol!

Hakim Konstitusi yang mulia apa arti frasa law by experience yang berulang kali yang mulia ucapkan. Experience, pengalaman panjang, sepanjang era Reformasi sejak 2004, jumlah Parpol peserta Pemilu bukan saja tidak berkurang tetapi sebaliknya terus meningkat dengan cepatnya. Experience secara gamblang memperlihatkan bahwa norma ambang batas termaksud tidak efektif sama sekali.

Sebaliknya, economic rents itu akan lenyap, sehingga jumlah Parpol akan menciut secara alamiah dan bergerak ke posisi dua atau tiga Parpol saja, jika bisnia proses penetapan calon presiden/wakil presiden dilakukan secara demokratis bersendikan pilar inklusivitas, transparans dan terbuka. Intinya, para petingi Parpol dilarang menolak siapa saja berminat untuk maju sebagai kandidat Capres/Cawapres. Keputusan menolak atau menerima ada diseluruh anggota Parpol dan dilaksanakan dengan bisnis proses yang transparan dan terbuka, yang dapat dibuktikan oleh siapa saja.

Hakim Konstitusi cukup memberikan penjelasan bahwa norma frasa demokratis dan terbuka yang tertuang pada Pasal 223 UU Pemilu tahun 2017 harus dibaca sebagai "demokratis dan terbuka yang menjunjung tinggi prinsip inklusivitas, transparans, dan terbuka." Lebih tegas dan sangat diharapkan jika Hakim Konstitusi juga menyatakan bahwa praktek Hak Prerogatif Ketum Parpol untuk menunjuk Capres/Cawapres yang sudah berlangsung sepanjang Era Reformasi sejauh ini adalah pembangkangan semangat kedaulatan rakyat yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.

Hayu bersuaralah. Speak Up Indonesia. Saya Panca Sila. NKRI Harga Mati!

Yes We Can.... Bersama kita bisa.

Kontak: kangmizan53@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun