Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pemilu 2024, Sandingan Karakter Nabi Sulaiman AS dengan Hakim Konstitusi

15 Juli 2022   15:50 Diperbarui: 18 Juli 2022   11:06 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Credit: GettyImages

Sambil menunggu sanggahan dan klarifikasi MK atas "serangan" DR Ahmad Yani, Dkk tersebut diatas, dan juga berbagai kritik dan analisis lain yang ditujukan kepada para Hakim Konstitusi, yang demikian bergemuruhnya akhir-akhir ini, penulis mencoba lirik-lirik beberapa Putusan MK terkait dengan Pengujian UU (Judicial Review) dengan batu uji UUD 1945. 

Pertama kita lirik perkara Partai Gelora dan Kedua kita juga perlu mengintip perkara yang diajukan oleh tiga kakek pensiunan sektor pemerintah dan satu nenek, wiraswasta penggiat Pendidikan Karakter.

Penulis yakin, ada saja, para Kompasianer, yang pernah mendengar tentang kandasnya gugatan Partai Gelora untuk Pemilihan Umum tidak serentak: Pileg dan Pilpres tidak dalam hari yang sama tetapi dalam tahun yang sama. Partai Gelora menghendaki agar Pemilu dikembalikan seperti Pemilu-Pemilui di tahun 2004, 2009, dan 2014.

Beberapa hal yang menggelitik dari putusan para Hakim Konstitusi ini adalah sebagai berikut. Pertama, Hakim Konstitusi menyatakan "belum punya alasan  untuk mengabulkan permohonan Partai Gelora termaksud." Kutipan dari narasi ini yang tertuang dalam Putusan No 35/2022, selengkapnya berbunyi:

"Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk menggeser pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan frasa "secara serentak" sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional." [35/PUU-XX/2022]

Kedua, kata pendiriannya itu adalah putusan-potusan MK terdahulu yang menolak gugatan Pemilu Serentak masing-masing dengan nomor perkara: (i) 55/PUU-XVII/2019, diputuskan tanggal 26 Februari 2020 dan (ii) 16/PUU-XIX/2021, diputuskan tanggal 24 November 2021. 

Kedua putusan MK termaksud masing-masing menyatakan bahwa Rezim Pemilu Serentak adalah konstitusional dan Rezim Pemilu yang memisahkan Pileg dan Pilpres adalah bertentangan dengan UUD 1945. Dengan kata lain, Pemilu 2024 tetap menggunakan Rezim Pemilu Serentak.

Ketiga, lenyapnya suasana kebatinan Nabi Sulaiman terkuak disini. Hakim Konstitusi tidak bekerja sepenuh hati, pada tingkat yang paling dasar. Hakim konstitusi hanya menyalin kembali gugatan dan ringkasan gugatan yang diajukan oleh Parpol Gelora. Substansi gugatan tidak dibahas sama sekali dan Hakim Konstitusi menyandarkan keputusannya dengan dua putusan MK terdahulu seperti tersebut diatas dengan menyatakan bahwa Para Hakim Konsitusi ini "belum memiliki alasan untuk menggeser pendirian Para Hakim Konstitusi yang tertuang dalam dua putusan diatas."

Merujuk boleh saja lah. Namun, sistem peradilan Indonesia tidak mengenal konsep Yurisprudensi. Dengan demikian, jika Hakim Konstitusi memiliki mindset yang tidak jauh-jauh berbeda dari kisah karakter Nabi Sulaiman diatas, maka penolakan termaksud, albeit jika memang harus ditolak, harus didasarkan pada penolakan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Partai Gelora. Kedua putusan MK terdahulu boleh disajikan sebagai pelengkap doang.

Menurut ringkasan yang disajikan oleh MK pada putusan perkara termaksud, ada dua dalil hukum utama yang digunakan Partau Gelora untuk menginkonstitusionalkan Pemilu Serentak. Dalil hukum pertama terkait dengan original intent dan yang kedua terkait dengan frasa penguatan sistem presidensial.

Original intent yang digunakan oleh Partai Gelora pada perkara ini, menurut pemahaman penulis, jauh lebih baik dan lebih lengkap dibandingkan dalil-dalil hukum pada original intent yang dituangkan dalam dua putusan MK termaksud. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun