Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Maling Politik Itu Oligarki, Jangan Terlalu Cemas, Ini Penangkalnya

18 Juni 2022   08:59 Diperbarui: 18 Juni 2022   09:00 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu ada flyer politik yang cukup viral. Flyer dengan hak cipta @donadam68 ini berjudul Maling itu Ada Dua: Maling Biasa dan Maling Politik. Maling biasa menurutnya adalah dia mencuri hartamu, perhiasanmu, dll. Selanjutnya dikatakan Maling Politik itu dia mencuri masa depanmu, mimpimu, pekerjaanmu, pendidikanmu, kesejahteraanmu, kesehatanmu, dll. Donadam68 selanjutnya mengatakan Perbedaanya sangat aneh. Maling biasa: dia memilihmu, dan, sebaliknya, Maling Politik: kamu yang memilihnya.

Ada dua hal yang dapat disimpulkan disini. Pertama, maling biasa memang menggangu namun dampaknya dalam kondisi Indonesia saat ini tidak begitu mencemaskan. Sebaliknya, maling politik dampaknya demikian parah karena ancaman kerusakan atas pilar-pilar bernegara: masa depan, mimpi, pekerjaan, pendidikan, kesejahteraan, dan Kesehatan, dan lain sebagainya.

Kedua, maling politik adalah pejabat negara yang dipilih oleh rakyat, sesuai dengan narasi @donadam68 diatas, maling politik kamu yang memilihnya. Dengan demikian, maling politik yang dimaksud oleh @donadam68 itu adalah pejabat negara yang dipilih melalui pemilihan umum, mulai dari kepala desa, bupati/walikota, hingga presiden untuk cabang pemerintahan (eksekutif), dan, untuk cabang legislatif, mulai dari dewan desa, DPRD, hingga DPR. Mereka itu juga termasuk yang berafiliasi dan/atau yang disponsori oleh partai politik.

Maling politik ini sangat meluas dan terjadi mulai dari bawah hingga pejabat tinggi negara. Tak terhitung jumlah kepala desa yang masuk penjara, anggota DPRD, bupati/walikota, gubernur, menteri kabinet, dan anggota DPR.

Sebagai ilustrasi, misalnya, Suara.com, 18 Mei 2022, melaporkan bahwa hingga Mei 2022 tercatat 323 bupati/wali kota di Indonesia telah ditangkap dan ditahan terkait dengan tindak pidana korupsi. Data ini dilansir oleh Suara.com berdasarkan penjelasan dari Sekretaris Satuan Tugas Saber Pungli Pusat Republik Indonesia Irjen Pol Agung Makbul. 

Selanjutnya, Detik.com, 29 September 2019, tayang artikel dengan judul: "Jejak Para Anggota DPR 2014-2019 yang Terjerat Kasus Korupsi." Disini dilaporkan sejumlah 23 orang anggota/pimpinan DPR yang tersangkut pidana korupsi, gratifikasi, sogok, pencucian uang, dan lain sebagainya. Mereka itu mulai dari Ketua DPR RI (Setya Novanto Golkar), Anggota Komisi VII (Sutan Batoeghana Demokrat) (Alm), Anggota Komisi XI (Romahurmuziy PPP), hingga anggota Komisi V Musa Zainuddin (PKB).

Lebih jauh, Wikipedia melaporkan jumlah menteri kabinet yang dipenjara karena kasus korupsi. Dalam laporan ini dikatakan bahwa ada 12 orang mulai dari Rokhmin Dahuri (Menteri KKP), Jero Wacik (Kementerian ESDM), Surya Dharma Ali (Kementeri Agama) hingga Juliari Batubara (Kementerian Sosial).

Umumnya ada kesepakatan bahwa biang penyakit maling politik itu adalah mahalnya biaya politik. Misalnya, Tjahjo Kumolo pernah mengatakan bahwa untuk berhasil menjadi anggota DPR bisa menghabiskan uang hingga Rp43 miliar. Kemudian, juga umumnya disepakati bahwa "sewa perahu" untuk menjadi kandidat itu sangat mahal yang untuk jenjang gubernur saja bisa dalam hitungan trilunan rupiah. Untuk Capres apa bisa kurang dari puluhan triliun rupiah?

Mahalnya biaya politik itu membuka akses yang luas bagi Oligarki untuk masuk dalam pemerintahan dan politik. Hal ini sejalan dengan konsep Prof Winters bahwa oligarki adalah kondisi atau fenomena beberapa orang yang sangat kaya menggunakan kekayaan mereka untuk mempengaruhi politik dan tatakelola negara dan Oligark adalah orang yang super kaya itu.

Lebih jauh, Prof Winters mengatakan bahwa Oligarki tidak berusaha menentukan siapa pemenang Pemilu tetapi oligarki menentukan siapa saja yang boleh ikut sebagai kandidat Pemilu (Capres/Caleg). Dengan demikian siapa saja yang menjadi pemenangnya adalah orang-orang yang dikendalikan oleh oligarki. Apa memang demikian? Untuk itu kita perlu melihat bisnis proses pencalonan kandidat yang diatur oleh UU Pemilu dan untuk saat ini yang berlaku adalah UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal 222 UU Pemilu tahun 2017 menyatakan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik yang minimal memiliki 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional yang dapat mengusung Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden. Ini merupakan hasil Pileg tahun 2019 untuk Pilpres tahun 2024. Mari kita lihat sejenak hasil Pileg 2019.

Hasil Pemilihan Anggota DPR tahun 2019

Dokpri
Dokpri

Sumber: KPU

Baru-baru ini kita dengar ada wacana pembentukan Koalisi Indinesia Bersatu (KIB). KIB yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP memiliki 26 persen kursi DPR dan oleh karena itu dapat mengusung satu Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden. (ii) PDIP dengan 22 persen kursi jelas dapat melakukan hal yang sama. (iii) Koalisi Semut Merah, KSM (PKB dan PKS) hanya memiliki 19 persen kursi DPR dan perlu tambahan satu Parpol lagi. Jika Demokrat bergabung, maka jumlah kursi mereka adalah 28 persen dan ini sudah mencukupi untuk itu. Dan, (iv) Gerindra dan Nasdem (24 persen) juga berhak untuk mengusung satu Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden. Potensi empat Pasangan Calon terbuka untuk Pilpres 2024.

Dengan empat Pasangan Calon ini jelas akan membuat banyak yang senang. Sinisme dan kritik dua Pasangan Calon di Pilpres 2014 dan 2019 sudah terobati. Namun jika dicermati lebih dalam, maka hal ini tidak dapat secara otomatis dikatakan bahwa ada satu atau dua Pasangan Calon yang bebas oligarki. Tetap saja keempat Pasangan Calon dapat dikuasai oleh oligarki. Kenapa demikian?

Hal ini terutama disebabkan oleh adanya tendensi yang kuat bahwa oligarki cukup membuat deals atau kesepakatan dengan para Ketum Parpol termaksud; cukup membuat deals dengan sembilan orang Ketum Parpol termaksud.  Hal ini dimungkinkan mengingat praktik yang ada sejauh ini adalah penetapan Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden merupakan hak prerogatif Ketum Parpol.

Fenomena hak prerogatif termaksud terus berjangkit sejak awal reformasi hingga kini karena sejauh ini jarang sekali, jika ada, yang mempermasalahkan atau menggugat Pasal 223 UU Pemilu 2017. Pasal ini multi tafsir dan sejauh ini muatan demokrasi diabaikan begitu saja dan muatan feodalisme yang dipertahankan.

Dalam hal muatan atau semangat demokrasi dalam pasal ini ditegakan, maka hak prerogatif termaksud tidak dapat diberlakukan. Penetapan Pasangan Calon itu harus merupakan kesepakatan anggota Parpol dan bukan kesepakatan pengurus Parpol apalagi hanya diputuskan oleh Pak/Bu Ketum.

Oligarki akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan puluhan ribu anggota Parpol apalagi mengendalikan para anggota gabungan Parpol, yang dapat mencapai ratusan ribu orang. Cengkraman oligarki akan bertambah lemah jika azas transparansi dan keterbukaan dalam penetapan Pasangan Calon itu juga dijunjung tinggi.

Pasal 223 UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum

(1) Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan;

(2) Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai Politik lain untuk melakukan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon;

(3) Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka;

(4) Calon Presiden dan/ atau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan dalam satu pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan legi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik lainnya.

Perhatikan bahwa Pasal 223 ini mengandung dua frasa penting: (i) secara demokratis, dan (ii) mekanismen internal partai politik. Masalahnya menjadi runyam ketika Frasa "secara demokratis" dibuang begitu saja. Frasa yang digunakan adalah "sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan" atau "sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik."

Frasa yang digunakan ini disinonimkan dengan hak prerogatif Ketua Umum Partai Politik. Hayu speak up. Tidak perlu ahli ilmu politik atau ahli hukum tatanegara untuk mengatakan bahwa fenomena hak prerogatif ini adalah peliharaan oligarki!

Salam Kompasianer. Kontak: kangmizan53@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun