Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Aduh Harga Gula dan Bawang, Setop Tagar Terserah!

18 Mei 2020   17:27 Diperbarui: 19 Mei 2020   21:04 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi OPS Mendag Agus Suparmanto dan Walkot TangerangArief R Wismansyah

Bulan April kemarin saya menemani isteri beli-beli di mal Superindo, Cibinong, Bogor. Ketika lagi lihat-lihat di rak makanan saya ingat gula pasir untuk ngopi saya sudah habis. Cari-cari koq ngak ada. Tanya dengan orang Superindo yang lagi sibuk ke sana kemari. Jawabnya, sudah habis Pak.

Kelangkaan Gula Pasir Kemasan

Ah gula habis saya katakan pada isteri. Jawabnya itu sudah beberapa minggu yang lalu akang. Mmm gumam penulis nanti coba saya cari di Indomaret atau yang lain-lain itu.

Besok, atau, lusa nya saya kebetulan mampir di Indomaret dekat rumah dan ternyata gula kemasan yang biasanya numpuk di rak sudah tidak terlihat lagi. Penasaran saya tanya dengan orang Indomaret dan lagi-lagi jawabannya habis. Tidak tahu kapan akan datang Pak, tambahnya.

Lagi-lagi terjadi Alfamidi. Dan, lagi-lagi terjadi juga di Alfamart yang juga tidak begitu jauh dari rumah. Jelas gula kemasan sudah tidak tersedia di jaringan Indomaret dan lain-lain itu sejak bulan April. kesimpulan penulis . 

Mahalnya Gula Pasir Curah

Kemudian, kebetulan penulis belanja di warung tradisional yang juga tidak jauh dari rumah. Ada pak jawab Bu warung yang sisa-sisa kecantikan remaja dulu masih terlihat. Berapa Bu cantik penulis tanya sambil bergurau. Dua satu saja Bapak ganteng katanya. Maksudnya Rp21 ribu per kantung plastik satu kg tanpa merk dan gulanya agak kekuning-kuningan. 

Penulis ingat kata isteri bahwa harga sebelumnya Rp12.500/kg. Dulu ada beberapa merk yang tersedia termasuk merk Indomaret dan lain-lain itu biasanya dan gula nya juga putih bersih.

Sindiran Jokowi atas Mahalnya Harga Gula dan Bawang

Kemarin, lagi browsing berita di internet penulis melihat artikel dengan judul Presiden Jokowi Pertanyakan Harga Gula yang Tembus Rp19.000/Kg. Artikel ini tayang di Okezone pada tanggal 21 April dan merupakan bagian dari telekonferensi Jokowi yang dapat diakses oleh publik. Betul artikel yang agak lama sudah hampir sebulan yang lalu tetapi masih bermanfaat untuk kita gunakan sebagai sebagian rujukan.

Dalam artikel Okezone ini Jokowi juga mengakui bahwa yang masih naik beras walaupun naik sedikit. Namun, yang menjadi perhatian Pak Jokowi sebetulnya adalah harga gula yang tidak bergerak sama sekali, justru naik menjadi Rp19 ribu. Bawang putih, bawang Bombay juga belum turun, imbuh Beliau. 

Perlu juga diketahui bahwa harga bawang merah saat ini Rp 51 ribu, meningkat dari harga acuan Rp 32 ribu per kilogram.

Lebih jauh Beliau mempertanyakan sejauh apa langkah-langkah yang sudah diambil oleh Kementerian Perdagangan dalam mengendalikan harga-harga tersebut. Waduh santun sekali Wong Solo ini. Dengan bawahan sehalus itu ya. Dengan anggota kabinet sehati-hati itu ya.

Kesia-siaan Operasi Pasar

Walaupun terasa sangat lemot, gayung masih tetap bersahut. Pada tanggal 16 Mei, kira-kira hampir satu bulan setelah telekonferensi Jokowi tersebut, Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, menggelar operasi pasar. Ini dilansir secara masif oleh media daring.

CNBC Indonesia, misalnya, 16 Mei, tayang artikel dengan judul Disentil Jokowi Gula Mahal, Mendag Agus Gelar Operasi Pasar. Praktik lama yang jika ada kenaikan harga pangan, akan diiringi dengan peliputan media yang masif atas akting pejabat negara baik pusat maupun daerah untuk meluncur ke operasi pasar. 

Harga ngak ngaruh. Harga ya tetap tinggi di lokasi operasi pasar itu sendiri apa lagi di pasar-pasar yang lain. Di pasar tradisional Bojong Gede, Bogor, misalnya, harga gula pasir tetap Rp19 ribu per kg dan dalam kemasan curah dengan kualitas yang rendah. Gula pasir kemasan dengan kualitas bagus tetap belum ada di jaringan Alfamidi dan lain-lain yang serupa.

kondisi kelangkaan mulai berjangkit. Susu cair perlahan-lahan juga sudah hilang dari rak jaringan Indomaret dan lain-lain.

Kalau kita browsing di internet, berita kisruh gula ini sebetulnya sudah berlangsung sejak bulan Januari. Kemudian, disusul oleh berita operasi pasar. Terus membulat begitu hingga saat ini.   

Isteri saya kemarin berkata sambil menghela napas ya akhirnya Indonesia Terserah. Apa itu say kata saya? Wah akang terlambat nikh katanya sudah viral sejak kemarin. Oh ternyata itu Lagu "Terserah" The Rap Up Indonesia yang kemudian viral dengan Tagar Indonesia Terserah di berbagai sosial media. 

Saya katakan pada isteri saya bahwa gaya leadership Mas Jokowi yang weak sangat mencolok ketika Wapres bukan lagi JK. Hal yang serupa dialami juga oleh Mas SBY ketika posisi Wapres sudah beralih dari JK ke Boediono. Namun, lanjut saya ada hal besar yang tersembunyi dari perilaku Jokowi terkini.

Kebijakan Hambatan Tarif dan Hambatan Bukan Tarif

Mungkin kita iri dengan Malaysia dan Singapura yang harga pangan mereka sangat stabil walaupun menjelang lebaran dan tahun baru serta relatif masih stabil di tengah badai Korona saat ini. Sederhana. Sangat sederhana sebetulnya.

Ini terletak dari mantra perdagangan luar negeri mereka. Mantra yang mereka gunakan untuk melindungi konsumen dan industri dalam negeri bukan kebijakan kuota impor seperti yang dilakukan di Indonesia sejauh ini tetapi mereka gunakan kebijakan tarif. Naikan tarif (impor) jika terasa pasokan pangan di dalam negeri sudah meningkat secara significant. Sebaliknya, turunkan tarif impor.

Hal yang serupa juga diterapkan oleh Paman Sam. Donald Trump menetapkan tarif impor yang tinggi untuk barang-barang China guna melindungi industri dalam negeri. Trump berhasil. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat sangat mengesankan sebelum negara pemilik wara laba McDonald ini dilululantakan oleh Nona Corona.

Kurangnya Pemahaman Publik atas Keburukan Kebijakan Kuota Impor

Sayang sekali Presiden Jokowi yang sarjana kehutanan ini rasanya tidak begitu paham keunggulan tarif dibandingkan dengan kuota. Sayang sekali juga dua periode SBY juga menggunakan rezim kuota. Lebih miris lagi, hanya sayup-sayup suara akademisi apalagi politisi yang menentang sistem kuota impor. 

Jika akademisi dan para politisi tidak bersuara cukup keras untuk menghentikan sistem kuota ini, maka pemahaman publik atas keburukan sistem kuota ini tidak akan begitu meluas. 

Penulis yakin, tidak banyak Kompasianer yang paham akan sistem kuota ini. Yang sering terdengar berulang-ulang kata mafia. Mafia Alkes,mafia migas, mafia impor pangan, dan lain sebagainya. Publik tidak paham bahwa indung telur dari mafiaso-mafiaso itu sebetulnya sederhana yaitu sistem kuota impor.

Hentikan Tagar Indonesia Terserah. Ayo Lebih Kencang Suaranya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun