Ngawurnya bantuan sosial pemerintah itu masalah Jadul. Sudah ada sejak Indonesia merdeka berlanjut ke era-era berikutnya hingga era reformasi saat ini.
Kesalahan Yang Dibiarkan Berlarut-larut
Namun, itu hanya seperti riak di telaga yang luas dan segera lenyap begitu saja. Beriak kembali dan kemudian hilang begitu saja. Demikian seterusnya bergulir dalam siklus Pilpres yang satu ke Pilpres yang lain.
Penerima Bansos yang orang itu lagi orang itu lagi terus berlanjut. Orang miskin yang merasa tidak berdaya untuk mendapatkan Bansos ya berdiam diri karena masih dapat makan seadanya. Kementerian sosial merasa sudah melaksanakan tugasnya dan bisa sosialisasi sana sini dengan sumringah. Pemerintah daerah juga terus bersuara bahwa mereka sudah melaksanakan program Pro Poor dengan baik.
Ironisnya banyak pejabat pemerintah yang terjerat kasus hukum Bansos. Namun, diyakini bahwa sangat banyak yang lolos dari jeratan hukum.Â
Window Dressing Data Kemiskinan
The show must go on. Pemerintah setiap tahun terus melansir angka-angka kemiskinan. Pemerintah juga dari tahun ke tahun melansir berbagai program bantuan sosial mulai dari PKH, BPNT, Bos, dan lain sebagainya.
Itu merupakan rutinitas pemerintah untuk mengklaim keberhasilan pembangunan dengan memperlihatkan kurva kemiskinan yang terus menurun dari tahun ke tahun. Publik menyikapinya seperti alunan tembang pengantar bobo. Mayoritas kita cuek dengan angka kemiskinan BPS ini.Â
Sengkarut Bansos ditengah Wabah Virus Corona
Badai pandemi korana menghantam Indonesia. Angka kasus positif dan kematian relatif tidak begitu meresahkan. Namun, jumlah pengangguran dan kemiskinan massal terdengar seperti gempa dengan amplitudo lebih dari 6.0 skala Richter. Gema rintihan puluhan juta orang-orang yang membutuhkan penyambung hidup menggoyahkan sendi-sendi politik dan pemerintahan.Â
Pemerintah, Kementerian Sosial, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten kota panik. Bansos dalam berbagai bentuk dikucurkan. Namun, orang yang menerima yang itu lagi dan yang itu lagi, pada umumnya. Orang-orang miskin baru  bernasib sama dengan orang miskin lama yang sudah sejak dahulu terlewatkan sebagian angkat suara dengan keras. Namun, tanggapan dari pemerintah hanya sayup-sayup saja
Polemik Pusat Daerah
Polemik pemerintah pusat daerah terus menjadi tayangan diskusi virtual berbagai program tv. Pemerintah daerah menyerukan agar pemerintah pusat memperbaiki data penerima Bansos dan sebaliknya pemerintah pusat menyatakan data yang mereka miliki itu adalah data daerah.Â
Dalam hal adanya tambahan orang miskin baru, tambahan orang baru yang memerlukan Bansos, pemerintah daerah yang lebih tahu dan untuk itu perlu segera menyampaikan updating data terbaru ke pusat. Ini antara lain yang disampaikan oleh Menteri Sosial Juliari Piter Batubara, yang juga putra dari pengusaha Migas Indonesia terkemuka.Â
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial
Sebetulnya baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat berpegang pada data kemiskinan yang sama yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). DTKS ini bersumber dari data kemiskinan Badan Pusat Statistik tahun 2015. Data ini kemudian diperbahurui secara berkala, setiap tahun, secara berjenjang mulai dari RT/RW, desa/kelurahan hingga provinsi yang kemudian disampaikan ke pemerintah pusat seperti Kementerian Sosial.Â
Program Bansos seperti PKH (Program Keluarga Harapan), BPNT (Bantuan Pangan Non Tunas d/h Raskin), BOS, BPJS, KIP dan lain sebagainya menggunakan DTKS ini. Ada sekitar 15 juta orang yang masing-masing terdaftar pada program PKH dan BPNT. Sebagian hanya terdaftar pada PKH atau BPNT saja dan sebagian lagi terdaftar pada kedua program ini, serta sebagian lagi terdaftar pada beberapa program Bansos yang lain termasuk BPJS Kesehatan.
Mereka yang 15 juta orang itu termasuk dalam desil pertama, 10 persen termiskin atau dengan tingkat kemiskinan absolut, dan yang 15 juta orang yang lain termasuk dalam desil kedua orang miskin, yaitu 10 persen orang miskin yang berikutnya. Dengan demikian, penerima Bansos di Indonesia sebetulnya adalah mereka yang termasuk dalam dua desil kemiskinan pertama. Mereka ini dengan nama dan alamat, by name dan by address, ada di dalam daftar berbagai Bansos di Indonesia tersebut.
BPS tidak memiliki data by name and by adress tersebut untuk desil-desil yang berikutnya hingga desil ke sepuluh. BPS hanya memiliki data jumlah orang untuk setiap desil tersebut berdasarkan ekstrapolasi data Susenas yang terakhir dilakukan di tahun 2018.
Jelas saja Bang Juliari, Mensos, mengatakan masih menunggu usulan Ridwan Kamil atas permohonan 38 juta warga Jabar yang terdampak virus Corona. Jawaban yang sama juga disampaikan oleh Kementerian Sosial atas permohonan Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parwansa, dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.Â
Demo-demo virtual dari netizen dan kepala daerah yang lain juga sebetulnya sulit diselesaikan oleh pemerintah pusat mengingat mereka tidak memiliki data kemiskinan by name dan by address seperti yang ada di DTKS.Â
Pemerintah Angkat Bendera Putih
Dengan demikian, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat berada dalam posisi kebingungan untuk untuk memberikan bantuan yang tepat sasaran pada puluhan juta pengangguran dan kemiskinan massal akibat wabah Korona ini yang sudah berlangsung hampir tiga bulan ini. Ini menjadi tambah rumit karena orang-orang memerlukan Bansos ini sangat banyak
Sebetulnya kita memaklumi bahwa dalam keadaan yang genting seperti ini pemerintah di banyak negara juga tidak berdaya. Mereka tidak memiliki sumber-sumber langkah yang khusus untuk menyelesaikan suatu kegentingan tertentu yang datang secara tiba-tiba dan tidak diantisipasi terlebih dahulu. Namun, sebagian menyelesaikannya dengan melakukan sayembara secara terbuka.Â
Misal, sayembara untuk menangkap kriminal hidup atau mati dengan imbalan uang yang sangat besar. Ingat poster Wanted dalam film-film koboi misalnya. Indonesia juga baru saja mengadakan sayembara design ibu kota negara (IKN) di Kalimantan Timur.
Momentum Perbaikan Grand Desin Bansos Tepat Sasaran
Ngawurnya bantuan sosial pemerintah yang merupakan masalah Jadul perlu diakhiri. Penyakit kronis ini yanga sudah ada sejak Indonesia merdeka berlanjut ke era-era berikutnya hingga era reformasi saat ini perlu diakhiri dalam momentum Pandemi Corona saat ini.
Untuk itu, simple saja sebetulnya, secara teknis dan tidak ada konflik kepentingan, luncurkan saja sayembara penyaluran Bansos yang tepat sasaran. Gunakan saja secuil dari anggaran Rp105 riliun Bansos Covid-19 untuk para pemenang sayembara ini.Penulis yakin, minat akan sayembara ini akan membludak dan hasil yang memuaskan akan didapat dalam waktu kurang dari dua minggu.
Terus Berlanjutnya Bansos Yang Tidak Tepat Sasaran
Perlu kita ketahui bahwa dalam kondisi data yang amburadul tersebut, pemerintah sudah mengucurkan dana sebesar Rp52,21 triliun untuk program bantuan sosial (bansos) selama masa pandemi covid-19. Hingga 8 Mei 2020, realisasi penyaluran PKH sebesar Rp16,57 triliun dan penyaluran program sembako Rp14,45 triliun. Selain itu ada Bantuan Langsung Tunai Desa (BLT Desa) sebesar Rp21,19 triliun yang bersumber dari Dana Desa.
Jelas ini hanya menggunakan DTKS. Peluang yang itu lagi yang itu lagi yang tidak kebagian hampir pasti terulang dan terulang kembali. Â Kapan ya Presiden Jokowi mendengarkan (kembali) suara kita dan segera beralihke gaya strong leadership.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H