Draf Omnibus law sudah diterima DPR. Konfirmasi ini diberikan oleh Sekjen DPR Indra Iskandar ketika dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (11/2/2020). Kompas.com juga, beberapa bulan sebelumnya, 12 Desember 2019, melaporkan  6 Poin penting Omnibus law perpajakan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Muljani.Â
Poin satu sampai empat terkait dengan pajak penghasilan (PPh). Poin lima terkait dengan pajak online shop atau pajak e-commerce dan poin enam terkait dengan insentif perpajakan yang dikelompokan dalam satu kluster yaitu tax holiday, tax allowance, Kawasan Ekonomi Khusus, dan lain sebagainya.
Lebih rinci tentang butir lima yang mengatur pajak online shop adalah sebagai berikut. Pajak Online shop akan diposisikan sama dengan sistem perpajakan biasa.Â
Untuk perusahaan digital luar negeri yang tidak memiliki badan usaha tetap di Indonesia tetap dipungut pajaknya. Pemerintah juga menunjuk perusahaan-perusahaan digital untuk memungut pajak dari pengguna layanan nya.
Kalimat terakhir dari alinea diatas pada prinsipnya menyatakan bahwa pembelian online akan dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tarif standar 10%.Â
Misalnya, jika sekarang Anda mempromosikan iklan di OLX tidak kena PPN, maka dengan berlakunya UU sapu jagat ini Anda perlu bayar tarif promosi iklan plus PPN 10%.
Contoh lain adalah untuk sponsored content Kompasiana. Jika sebelumnya, pribadi atau perusahaan yang menggunakan fitur sponsored content tidak dipungut PPN oleh Admin Kompasiana, maka dengan diberlakukannya UU sapu jagat ini Admin Kompasina wajib memungut 10% PPN.
Sekarang bagaimana dengan reward yang diterima oleh para Kompasianer. Reward itu pada prinsipnya adalah penghasilan dan merupakan objek dari pajak penghasilan (PPh). Dengan demikian, sebetulnya ada atau tidak ada Omnibus Law pendapatan itu wajib dilaporkan dalam SPT Pribadi Tahunan ke Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.Â
Namun, mungkin tidak banyak Kompasianer yang melakukan. Ini antara lain karena nilai reward itu yang relatif kecil sehingga baik Kompasianer (wajib pajak) maupun Ditjen Pajak tidak begitu memperhatikannya.
Dengan diberlakukan nya Omnibus Law ini, badan usaha yang menyediakan layanan transaksi jasa online shop termasuk Kompasiana wajib memungut PPh (pajak penghasilan) kepada Kompasianer yang menerima reward termaksud. Bisa dikenakan tarif standar 15% atau tarif diskon.Â
Namun, ini hanya berlaku jika Kompasiana termasuk Perusahaan Kena Pajak (PKP), yaitu, perusahaan yang diberikan otoritas untuk memungut baik PPh maupun PPN. Dapat juga ini berlaku jika Kompasiana dianggap sebagai cabang atau anak perusahaan Grup Kompas atau Grup Gramedia.
Pengalaman Beberapa Negara Asia.
Inisiatif pemungutan Pajak Online shop sudah disuarakan di banyak negara dalam satu dekade terakhir. Beberapa negara yang tergabung dalam kelompok organisasi regional ASEAN (Asia Tenggara) sudah mulai menyuarakan pajak online shop ini sekitar tahun 2011. Â Perkembangan pajak online shop itu di beberapa negara Asean hingga 2018 adalah sebagai berikut.Â
Filipina
Filipina adalah negara yang melangkah terdepan yang menerapkan pajak online shop.Â
Negara tempat bajak laut Abu Sayyap ini resmi mengenakan pajak online shop dalam tahun 2013. Tarif PPN sama baik untuk online maupun offline shop yaitu 12%. Dua persen lebih tinggi dari tarif PPN Indonesia. Utang PPN atas barang-barang impor yang dibeli secara online harus dilunasi sendiri.
Thailand
Sektor online shop maju pesat di kerajaan gajah putih ini. Kerajaan dengan sektor turisme paling populer di Asean ini membuat proyeksi nilai transaksi online shop mencapai USD100 miliar dan USD130 miliar masing-masing untuk tahun 2018 dan 2019 yang baru lalu.
Otoritas pajak (TRD) negara yang membuat legalisasi judi dan prostitusi ini mengajukan draf PPN di tahun 2018 dengan fokus mengenakan pajak online shop luar negeri. Tarif PPN itu lebih rendah dari Tarif PPN baik dibandingkan dengan tarif PPN Filipina maupun jika dibandingkan dengan yang diberlakukan di Indonesia. Tarif PPN Monarchy Parlementer ini adalah 7%.
Walaupun demikian, UU PPN Thailand belum disahkan hingga Juli 2019. UU pajak online shop Thailand ini diperkirakan akan mangkrak karena tidak masuk dalam skala prioritas Badan Legislasi parlemen disana.Â
Singapura
Seluruh barang dan jasa dikenakan PPN (GST) di Singapura. Namun, itu hanya berlaku untuk untuk transaksi yang bernilai USD293 atau lebih.
Sebagian transaksi dengan online shop akan dibebaskan dari PPN karena sebagian besar nilainya dibawah USD293.Â
Namun, jumlah transaksi yang dibawah USD293 banyak sekali. Nilai keseluruhan transaksi dalam kelompok barang dan jasa bebas PPN ini diproyeksikan akan mencapai USD5.4 miliar di tahun 2025. Jika kebijakan pembebasan PPN tetap diberlakukan, maka potensi kehilangan pajak shop online Singapura akan menjadi demikian besarnya.Â
Dengan demikian, pejabat pajak disana merasakan sangat mendesak untuk menurunkan threshold US$ 293.0 bebas PPN tersebut. Inisiatif ini kemudian dituangkan dalam narasi APBN 2017 Singapura. Ketika itu diperkirakan pajak online shop akan mulai diberlakukan di tahun 2018.
Namun, ternyata inisiatif pajak online shop itu tidak muncul dalam APBN 2018 Singapura. Sebagai gantinya, otoritas pajak Singapura memberlakukan PPN 9% untuk barang-barang impor dengan transaksi online shop.Â
Pandangan kedepanÂ
Pesatnya perkembangan industri digital membuat hilangnya gerbang masuk keluar barang lintas negara. Indikasi untuk menebarkan jaring pajak yang lebih lebar dan lebih rapat atas transaksi online shop luar negeri terlihat jelas dalam draf Omnibus Law Perpajakan.Â
Walaupun demikian, pasar online shop luar negeri ini bergerak tidak begitu pesat sehingga implementasi pajak online shop luar negeri akan jauh lebih lambat dibanding dengan pajak online shop dalam negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H