Pemulung banyak sekali. Mereka sudah berseliweran sejak dini hari dari kotak sampah satu ke kotak sampah yang lainnya. Mereka mengumpulkan botol plastik bekas dan barang terbuat dari plastik bekas. Kardus juga mereka minati. Jika karung sudah penuh, mereka langsung ke lapak Bos.
Jika lagi apes, karung baru penuh hingga larut malam. Lebih apes lagi jika timbangan satu karung hanya dibayar Bos Rp 20 ribu.
Menurut, Bang Roni, pemulung di sekitar perumahan Gaperi 1 Bojong Gede, Bogor, sekarang sulit sekali untuk berhasil nimbang sampai dengan 3 karung setiap hari. Berhasil dua karung saja sudah bersyukur. Hasil timbangan Itu langsung untuk beli beras hari itu juga.
Bang Roni, dengan isteri dan tiga anaknya yang masih di usia sekolah, tinggal di perkampungan padat dan kumuh, tidak jauh dari kompleks perumahan ini. Persisnya, Bang Roni dan keluarga, menyewa petak kecil seharga Rp 300 ribu per bulan di desa Kedung Jiwa, Kecamatan Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat.
Bang Roni tidak pernah dapat Raskin atau subsidi beras untuk orang miskin. Ia juga tidak pernah dengar kata PKH apalagi terdaftar sebagai penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH).Â
Kedua abang kite itu mustahil ngeh bahwa pemerintah mengalokasikan anggaran Bansos sebesar Rp103 triliun untuk tahun 2020 ini yang meningkat 3,3 persen dari outlook realisasi anggaran Bansos pada APBN 2019, Rp100 triliun.Â
Lihat juga itu Bang Dani yang nama lengkapnya Mardani. Bang Dani tinggal di lingkungan yang kurang sehat dan cukup berbahaya yaitu di pinggir tebing. Sewa petak kecil sederhana yang dibayarnya adalah Rp 350 ribu per bulan plus token listrik sekitar Rp 100 ribu per bulan.
Dengan tiga anak usia sekolah, Bang Dani menyambung hidupnya dari bulan ke bulan sebagai tukang batu harian. Jika pekerjaan tukang batu lagi sepi, ia keliling kawasan perumahan dan perkampungan dengan menghela gerobak (maaf seperti sapi) untuk mencari rongsokan. Keliling sepanjang hari hingga malam sering tidak ada timbangan dan bukan hal tidak biasa jika juga tidak ketemu orang yang minta tolong untuk beres-beres rumah.
Bang Dani, sama hal nya dengan Bang Roni, tidak pernah menerima Raskin dan tidak tahu dengan PKH. Mereka juga tidak pernah dengar apa ada orang sekitarnya yang pernah dapat Raskin apa lagi mendengar ada orang yang sudah terdaftar sebagai penerima manfaat PKH.Â
Banyak dan bahkan banyak sekali orang yang sependeritaan dengan mereka berdua. Miskin dan bahkan sangat miskin tetapi tidak menerima Raskin (dulu) dan PKH (sekarang).Â
Beberapa tahun yang lalu, penulis pernah melihat antrean panjang beras Raskin. Tempatnya rumah kepala desa.
Sekilas, mereka yang yang antri itu tidak begitu miskin apalagi sengsara. Ini terlihat dari pakaian dan banyak senyum lebar yang terlihat. Penulis yakin mereka itu lebih sejahtera dari Bang Roni dan Bang Dani.Â
Mungkin lebih banyak lagi yang yang sama atau senasib dengan Bang Roni dan Bang Dani itu tetapi lebih beruntung karena sudah menerima Raskin sejak lama dan sekarang terdaftar sebagai penerima manfaat PKH.
Namun, tidak tertutup kemungkinan banyak juga yang sebetulnya sudah sejahtera tetapi sejak dulu menerima Raskin dan sekarang berlanjut terdaftar sebagai penerima Bansos PKH.
Mereka ini misalnya tinggal di rumah sendiri yang layak huni, peralatan rumah tangga yang canggih, pakaian bagus dan baru, serta punya sepeda motor dan bahkan dapat saja ada yang punya kontrakan dan mobil pribadi. Di bawah ini ada rumah ngejreng berlantai dua, tetapi ditempeli stiker keluarga miskin.
Sedangkan kasus yang punya mobil dan rumah kontrakan, atau, rumah berlantai dua di Klaten tersebut, termasuk dalam kelompok inclusion error. Orang yang tidak berhak tetapi lolos terdaftar sebagai penerima manfaat program bantuan sosial. Contoh rumah bagus dan punya mobil seperti tersaji di bawah ini.Â
Keberhasilan pemasangan stiker keluarga miskin untuk pengendalian inclusion error misalnya dapat dilihat pada kasus desa Sekapuk, Kecamatan Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur.
Di desa ini terdapat 21 Kepala Keluarga (KK) yang mengembalikan kartu PKH karena sudah mampu dan tidak bersedia rumah mereka masing-masing ditempeli stiker Keluarga Miskin.
Sementara di Sumatera Selatan sekitar 600 KK yang mengembalikan kartu PKHÂ karena tidak bersedia ditempeli stiker termaksud.
Lebih banyak lagi yang di Klaten, Jawa Tengah. Disini lebih dari 5.000 rumah tidak bersedia ditempelin stiker itu dan menyatakan sudah mampu atau graduation, atau, naik kelas.
Walau demikian, kebijakan pemasangan stiker ini hanya imbauan dari Kementerian Sosial dan pelaksanaannya diserahkan pada Pemda Kabupaten/Kota setempat.
Saat ini Kementerian Sosial sedang menyiapkan standardisasi Stiker Keluarga Miskin sesuai dengan pernyataan Direktur Jaminan Sosial Keluarga Kementerian Sosial, Mokhamad Royani, yang dilansir Harian Nasional (Rabu, 8 Januari 2020).
Ironisnya, keterangan Dirjen Royani ini akan bermuara pada ketidakmerataan dan keterlambatan pemasangan stiker mengingat posisi stiker itu secara nasional lebih bersifat sukarela.
Selain itu, sangat sulit untuk monitoring stiker itu apalagi melaksanakan evaluasi dan tindak lanjut karena kesemua ini dilakukan secara manual alias pekerjaan tangan dan kaki.
Kian sulit jika tidak digunakan teknologi otomatisasi mengingat secara nasional ada lebih dari 500 kabupaten/kota dan terdiri dari lebih dari 80.000 desa/kelurahan. Dan, makin sulit lagi, mengingat ada sepuluh juta rumah penerima manfaat PKH.
Alternatif solusi kesenjangan tersebut adalah dengan melakukan digitalisasi daftar penerima manfaat PKH. Datanya sudah tersedia di Kemensos tinggal diunggah ke website Kemensos saja.
Ukuran data ini relatif kecil dengan hanya 10 juta KK. Bandingkan dengan data 185 juta DPT Pemilu 2019. Data ini terurai by name and by address serta dapat di filter secara berjenjang mulai dari provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan hingga ke desa/kelurahan.Â
Zaman Tech 4.0 sekarang tidak perlu cemas dengan kapasitas dan pengoperasian server. Sewa saja server awan atau cloud yang dapat diakses 24/7 yaitu 24 jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu, serta, dapat diakses dari mana saja. Sewanya juga sangat murah karena penulis secara pribadi sudah menggunakan server cloud ini sejak beberapa tahun yang lalu.
Digitalisasi program PKH ini akan dapat mengundang relawan dalam jumlah yang besar untuk melaporkan jika masih ada kasus-kasus seperti rumah bertingkat dan mobil seperti di atas.
Mereka juga dapat dengan gampang melaporkan jika ternyata ada anggota Timses Pemilu dan terhitung kaya tetapi ada dalam daftar PKH termaksud.
Selain itu, relawan juga dapat mendampingi orang-orang seperti Bang Roni dan Bang Dani diatas. Mereka ini tidak berani dan tidak tahu memperjuangkan hak kesejahteraan sosial mereka.Â
Sekarang memang sudah ada relawan pendamping penerima Bansos PKH. Mereka ini sangat membantu peserta PKH dan terdaftar secara resmi untuk menerima pembayaran jasa pendampingan dari negara.Â
Penulis usulkan agar pemerintah dapat juga memberikan imbalan yang wajar pada relawan yang dapat membantu orang-orang seperti Bang Roni dan Bang Dani.
Jika usulan ini diterima, maka jutaan nasib orang-orang sangat miskin seperti mereka berdua itu akan dapat diselamatkan oleh negara.Â
Program perbaikan kesalahan exclusion dan inclusion errors adalah sejalan dengan semangat Sila Kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial bagi segenap penduduk Indonesia.
On top of it, Ini juga konsisten dengan semangat universal horisontal dan vertical equity.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H