Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pangkas Kepemilikan Negara pada PT Asuransi Pelat Merah

21 Januari 2020   12:35 Diperbarui: 21 Januari 2020   15:34 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangkarut Jiwasraya dan ASABRi belum memperlihatkan titik terang. Kemungkinan ini tidak akan menjadi terang. Walaupun demikian, ada pelajaran berharga yang dapat kita petik disini.

Lihat itu sebetulnya banyak perusahaan asuransi non BUMN yang juga menjual produk asuransi plus. Maksudnya investasi dikemas dalam produk asuransi jiwa. Walaupun demikian, hanya tiga dari 132 perusahaan asuransi yang tersandung kasus gagal bayar dan/atau dicopot izin operasinya. Ketiga perusahaan tersebut adalah Bakrie Life, Bumiputera 1912, dan Bumi Asih Jaya. Bakrie dan Bumi Asih sudah dicabut izin operasinya.

Dengan kata lain hanya dua persen yang mengalami malapetaka termaksud. Ini relatif sangat kecil dibandingkan dengan perusahaan asuransi milik negara (BUMN). Dua dari enam asuransi plat merah (Jiwasraya, ASABRI, Jasarahardja, ASEI, Jasindo, dan RUI) mengalami kasus gagal bayar dan/atau potensi merugikan keuangan negara puluhan triliun rupiah.

Dalam perbandingan relatif, 33 persen perusahaan asuransi BUMN diterpa badai gagal bayar dan/atau kerugian negara. Angka ini sangat tinggi dibanding dengan yang hanya dua persen untuk perusahaan asuransi swasta.

Lebih jauh lagi, tidak tertutup kemungkinan kebobrokan juga ada di BUMN asuransi yang lain seperti Jasarahardja dan ASEI. Mereka ini luput dari pengawasan OJK dan disiplin pasar.

Kenapa demikian?

Jawabannya sederhana. Perusahaan asuransi swasta tersebut diawas secara ketat oleh para pemiliknya. Para pemiliknya dan/atau dewan komisaris perusahaan-perusahaan termaksud berupaya dengan segala cara serta semaksimal mungkin untuk mendudukan the best available persons in the market sebagai dewan direksi. 

Mereka juga dengan seksama menetapkan jumlah anggota kedua dewan termaksud demi efisiensi. Mereka tentu saja akan segera mencopot para CEO termaksud jika ternyata gagal mengoperasikan perusahaan secara baik.

Hal yang berbeda dengan perusahaan asuransi plat merah dan BUMN secara umum. Ada jarak yang sangat jauh antara CEO dengan para pemilik asuransi plat merah tersebut dan BUMN secara umum. 

Pemilik perusahaan-perusahaan ini adalah seluruh rakyat Indonesia termasuk kita semua Kompasianer disini. Walaupun demikian, kita tidak dapat dan tidak mungkin mencari the best available persons termaksud. 

Kita juga baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama tidak memiliki otoritas untuk mencopot dewan direksi dan/atau dewan komisaris perusahaan asuransi plat merah termaksud walaupun kita yakin sekali dan memiliki informasi dan data valid tentang ketidakbecusan dan/atau perbuatan koruptif dewan direksi dan/atau dewan komisaris termaksud.

Hak kolektif kita itu sudah kita delegasikan pada rezim penguasa dalam pola Pemilihan umum lima tahunan. Itu kita serahkan pada presiden dan DPR terpilih. 

DPR seharusnya menjalankan mandat rakyat tersebut secara baik yang mencakup penciptaan peraturan perundang-undangan agar perusahaan asuransi plat merah dan BUMN secara umum, yang saat ini memiliki aset sekitar Rp8.000 triliun, dapat menjadi lebih efisien dan memberikan manfaat sebesar-besarnya pada seluruh rakyat Indonesia.

Presiden selanjutnya wajib membangun dan mengeksekusi berbagai program dan kegiatan asuransi plat merah dan BUMN secara umum sebaik dan seefisien mungkin. 

Amanah rakyat ini kemudian didelegasikan ke Menteri BUMN. Walaupun demikian, delegasi tersebut tidak pari purna. Sebagian kewenangnan itu masih dipegang presiden. 

Misalnya, untuk BUMN strategis seperti PT PLN, PT Pertamina, dan bank BUMN, pengangkatan dan pencopotan CEOnya masih perlu mendapat persetujuan presiden Indonesia yang sekarang dipegang oleh Ir. H. Joko Widodo atau Jokowi, sapaan akrabnya.

Untuk BUMN yang lain termasuk asuransi plat merah seperti Jiwasraya dan ASABRI, Menteri BUMN juga tetap tidak memiliki mandat yang penuh terkait the best avaialble persons termaksud. Untuk Jiwasraya suara menteri keuangan sangat dominan terkait hal termaksud. Sedangkan untuk ASABRI suara yang dominan dimiliki oleh Menteri Pertahanan dan/atau Panglima ABRI.

Terlihat adanya otoritas dan tanggungjawab yang terpecah antara Menteri BUMN, Menteri Keuangan, dan Menteri Pertahanan dan/atau Pangab. Kondisi ini sering disuarakan sebagai tanggungjawab bersama. Tapi, seperti yang sudah terbukti sejauh ini, semua bertangungjawab adalah identik dengan tidak ada yang bertanggungjawab.

Unsur the best available persons tidak terpenuhi. Unsur efektivitas pengawasan juga tidak terpenuhi. Lebih parah lagi OJK juga tidak melakukan pengawasan apa-apa atas Jiwasraya dan kemungkinan juga ASABRI.

Itu semua bersumber dari kutukan kepemilikan negara. Malapetaka tidak dapat dihindari jika badan usaha 100 persen dimiliki oleh negara terutama jika BUMN tersebut berada di sektor pasar bersaing secara penuh seperti yang dihadapi oleh Jiwasraya dan ASABRI

Dengan demikian sebetulnya sangat gampang, tapi hanya sebatas secara teknis, untuk menciptakan pengawasan efektif dan efisien atas perusahaan asuransi plat merah dan juga BUMN secara keseluruhan. Itu hanya perlu dilakukan dengan mengurangi kepemilikan negara sehingga ada pihak swasta yang turut andil sebagai pemegang saham. 

Pihak swasta ini seperti sudah disebutkan otomatis akan sangat ketat untuk mengamankan uangnya. Mereka seperti sudah disebutkan diatas akan melakukan berbagai upaya maksimal untuk mendapatkan the best available persons termaksud dan sesegera mungkin mencopot dewan direksi dan dewan pengawas yang tidak becus.

Contoh terkini adalah kasus terkuaknya manipulasi laporan keuangan PT Garuda Indonesia. Adalah pemilik saham swasta yang membongkor kecurangan Ari Askhara dan para kroninya. Ini tidak akan terbongkar jika seluruh sahan PT Garuda Indonesia 100 persen dimiliki oleh negara.

Mari kita serukan pangkas kepemilikan negara pada BUMN. Musnahkan kutukan kepemilikan negara. Sisakan tidak lebih dari 30 persen porsi saham negara. Mulai dulu dengan BUMN yang berada di sektor pasar bersaing yang menurut menurut Ulfa (2017), Yogyakarta: Deepublish, ada 118 BUMN disini.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun