Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ini Jumlah Uang Yang Dibakar Komisaris BUMN

16 Desember 2019   22:01 Diperbarui: 25 Desember 2019   14:25 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Erick berani memangkas Kementerian BUMN tetapi takut memangkas Dewan Komisaris BUMN.

Erick Thohir masih bercokol sebagai a news maker hingga penghujung mid Desember. Gebrakan demi gebrakan terus bergulir dan gebrakan terkini Menteri BUMN KIM ini seperti yang kita ketahui adalah memberikan tugas khusus pada Ahok untuk membedah anak cucu PT Pertamina. 

Hal ini dilakukan oleh Boz Mahaka ini karena menduga banyak anak cucu BUMN utamanya PT Pertamina dibentuk bukan untuk tujuan efisiensi tetapi lebih ke arah memperkaya dewan direksi dan para kroni mereka. Rente yang otomatis yang dapat dinikmati adalah pesta pora jabatan komisaris di anak cucu perusahaan plat merah itu. Potensi rente yang lain mencakup kegiatan purchasing dan sales. 

Ini sungguh langkah yang berani. Langkah yang berani sebab Komisaris BUMN selama ini sering dianggap hanya sebagai orang-orang Magata alias makan gaji buta alias makan gaji tidak perlu kerja, seperti yang dikatakan oleh Anggota DPR R.I, Martin Manurung dalam acara talk show CNNI malam ini. 

Dalam acara talk show itu juga hadir pakar hukum tata negara kondang, Refly Harun yang juga Komisaris Utama BUMN PT Pelindo I, dan Iman Sugema, mantan komisaris BUMN Bank BTN. Ketiga pembicara tersebut pada prinsipnya sepakat bahwa kurang baiknya, kalau enggan mengatakan sangat buruknya, hasil kerja para komisaris BUMN lebih bersumber dari proses appointment para komisaris tersebut.

Mereka ambil contoh, sebagian besar komisaris BUMN tersebut adalah pejabat tinggi negara setingkat direktur jenderal yang mewakili kementerian /lembaga negara teknis. Penulis yang bekerja sebagai Peneliti di Kementerian Keuangan R.I sebelum pensiun tahun 2018 kemarin sepakat dengan pendapat para pembicara tersebut bahwa jabatan komisaris adalah pekerjaan tambahan dan atau bonus bagi mereka itu.  Dengan kata lain, pekerjaan utama mereka itu ada di kementerian/ lembaga negara. Pekerjaan utama mereka itu  sudah sangat menyita waktu, berisiko, dan mendapat banyak pressure dari lingkungan mikro dan makro. Untuk itu, mereka perlu bekerja seoptimal mungkin agar tidak dicopot dari jabatan yang empuk dan sangat nyaman ini. Sebaliknya, tidak ada hal yang memaksa mereka untuk bekerja keras dalam jabatan komisaris BUMN. Mereka tidak memiliki risiko apapun jika BUMN nya tidak mendapatkan laba yang bagus atau bahkan terus merugi dari tahun ke tahun. Mereka juga tidak perlu menanggung risiko jika terbongkarnya skandal korupsi di BUMN nya. Lebih jauh lagi, jika modal BUMN nya itu juga ludes, seperti kasus Asuransi Jiwasraya dan kasus PT Krakatau Steel,  itu kan bukan uang mereka. Itu uang negara atau uang rakyat. Gaji, bonus, tantiem, dan berbagai fasilitas luxury lainnya juga tidak terpangkas dalam kondisi BUMN yang demikian amburadul itu. Lebih menyakitkan lagi, kondisi BUMN yang sangat amburadul tersebut tidak akan bermuara pada pencopotan dan/atau pemutasian mereka dari instansi masing-masing. 

Contoh lain yang diangkat oleh para pembicara talk show tersebut adalah pola kursi emas komisaris sebagai hadiah. Menurut mereka itu, sebagian komisaris BUMN yang lain, mendapatkan kursi emas komisaris BUMN sebagai hadiah termasuk hadiah sebagai relawan dalam Pemilu yang lalu. Kompetensi mereka tidak begitu penting. Dengan demikian, mereka ini juga tidak akan jauh-jauh dari property para komisioner  birokrat tersebut. 

Dengan demikian, dari lima hingga sembilan komisaris di suatu BUMN papan atas, jika pun ada, hanya ada satu atau dua orang saja yang murni profesional. Masuk akal jika satu dua orang tersebut juga banyak, tau, bahkan seluruhnya, larut menjadi Magata. Kelompok profesional ini tentunya dapat berargumen bahwa mereka (birokrat/politisi) saja bisa Magata kenapa kita perlu cape-cape memikirkan BUMN. Hal ini juga didorong oleh faktor bahwa komisioner tersebut juga ada dan bahkan banyak pekerjaan lain yang tak kalah serunya. Ini mencakup pekerjaan utama sebagai dosen, pengusaha, lsm, dan lain sebagainya.

Konsekuensinya, tepat sekali judul acara talk show CNNI diatas Komisaris BUMN Hanya Sebagai Pemanis. Indikasi akan hal ini yang disampaikan oleh pembicara -pembicara tersebut antara lain bahwa komisaris itu, lagi-lagi menurut para pembicara tersebut diatas, sering dicuekin saja oleh dewan direksi. 

Misalnya, para pembicara tersebut mengatakan bahwa saran dan rekomendasi dewan komisaris lebih sering dicuekin oleh dewan direksi. Menurut penulis ada dua hal yang dapat menyebabkan hal ini. Pertama, kualitas dan/atau kuantitas saran dan rekomendasi itu mungkin saja sangat marjinal kerena mereka itu sebetulnya tidak mengenal sama sekali lingkungan mikro dan makro BUMN nya itu. Kedua, adanya conflict of interests. Untuk itu, dewan direksi berkemungkinan merasa lebih nyaman berkomunikasi langsung dengan Kementerian BUMN dibandingkan harus mengorbankan kepentingan-kepentingan mereka jika mengikuti saran dan rekomendasi dewan komisaris. 

Dalam cakrawala yang lebih luas, para pembicara tersebut juga membandingkan posisi komisaris di perusahaan swasta. Penulis sepakat dengan mereka bahwa komisaris disini adalah pemilik modal dari perusahaan dan sangat berkepentingan agar modalnya mendapatkan laba yang sebesar mungkin. Untuk itu, biasanya menurut penulis, tugas utama dewan komisaris disini adalah mencari CEO yang the best available persons in the market. Mereka dengan ketat mengawasi kerja para CEO tersebut dan jika ternyata pilihan mereka salah dan/atau ternyata kemudian kinerja para CEO itu mengecewakan, maka pemecatan akan dilakukan dalam waktu itu juga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun