Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Santai Saja Kali, Jokowi dan DPR Itu Agen Ekonomi Doang

24 September 2019   16:02 Diperbarui: 25 September 2019   09:37 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebaliknya, itu umumnya biasa-biasa saja bagi orang-orang yang mendudukan mereka di Gedung Parlemen  Senayan Jakarta. Orang-orang itu adalah segmen pemilih yang memberikan suara terbesar kepada mereka. Mereka ini, menurut hemat penulis, sebetulnya tidak begitu paham dan/atau peduli dengan apa yang  dan apa ideal nya yang perlu dikerjakan oleh anggota DPR. Wajarlah, dengan demikian jika mereka itu tidak begitu menghiraukan hiruk pikuk mahluk yang bernama Revisi UU KPK, RKUHAP, dan RUU yang lainnya.

Kondisi ini tentu saja dipahami oleh para anggota dewan termaksud. Mereka paham betul mengingat mereka boleh dikatakan kampanye door to door dan tatap muka langsung dengan para pemilih tersebut dalam rangka kampanye menuju Senayan.

Menurut apa yang penulis dengar sejauh ini dan penulis alami sendiri ketika menjadi Caleg DPR RI untuk periode 2019 - 2024, kunjungan door to door dan tatap muka langsung itu jarang sekali, jika ada, membicarakan hal-hal strategis seperti pembangunan ekonomi, infrastruktur, HAM, korupsi, dan lain sebagainya. 

Ada di sana sini membicarakan isu kemiskinan dan kesempatan kerja serta olahraga. Namun, itu lebih menjurus untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok. Misalnya, perlu sumbangan untuk anak yatim, masjid dan musholla, perbaikan jalan, dan pertandingan olahraga.

Lebih miris lagi. ada beberapa kelompok, rasanya, yang secara tegas mengatakan "Bapak Dewan perlu berapa suara?" Selanjutnya, mereka kapitasasi biaya suara per orang. Seribu, dua ribu, atau berapa saja dengan tarif 200 ribu rupiah per suara. Bagaimana cara mereka mendapatkan suara itu Pak Dewan tidak perlu tahu.

Narasi tarif per suara ini konsisten dengan pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo. Dikatakannya untuk bisa lolos ke Senayan Caleg perlu mengeluarkan uang hingga 46 miliar rupiah.

Dengan demikian, sangat rasional sekali jika para anggota dewan kita itu dingin-dingin saja dalam menyikapi berbagai penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil. Beberapa akademisi terkemuka yang menolak berbagai rancangan UU tersebut adalah Refly Harun dan Abdul Fickar Hadjar.

Beberapa Talkshow Rossi, Kompas Tv, lebih menghujam lagi dengan panelis antara lain Direktur Amnesty Internasional dan Wartawan Senior Kompas. Direktur Amnesty Internasional itu, Usman Hamid, sangat piawai menelanjangi berbagai pasal karet yang mengancam terjadinya kriminalisasi banyak orang.

Demo mahasiswa terus berlanjut hingga hari ini. Puluhan ribu mahasiswa dari berbagai universitas mengruduk Istana Presiden dan Gedung DPR menyuarakan penolakan terhadap semua rancangan UU tersebut. Mahasiswa UI, Tri Sakti, Unika Atma Jaya, Unisma bekasi, IPB, Unpad, ITB, UGM, dan lain-lain tumpah ruah di depan Istana Presiden dan gedung DPR sepanjang pagi dan sore ini.

Namun, suara-suara tersebut hanya angin lalu saja bagi para wakil-wakil kita termaksud. 

Kenapa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun