Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Santai Saja Kali, Jokowi dan DPR Itu Agen Ekonomi Doang

24 September 2019   16:02 Diperbarui: 25 September 2019   09:37 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut teori ekonomi manusia itu, umumnya, adalah agen ekonomi yang rasional. Orang-orang termasuk kita semua tentu saja Presiden Jokowi dan para Anggota DPR RI kita itu adalah agen ekonomi yang rasional. 

Kita semua, lagi-lagi secara normal, adalah orang-orang yang pada prinsipnya mengutamakan kepentingan diri sendiri. Boleh memperhatikan kepentingan orang lain dan/atau kepentingan umum tetapi tujuan akhirnya adalah untuk  kepentingan pribadi. Dengan kata lain, kita semua termasuk penulis, biasanya adalah agen ekonomi. Tak lebih dari agen ekonomi yang rasional atau bahasa Jakarte adalah agen ekonomi doang. 

Contoh yang paling gampang adalah Presiden Jokowi. Beliau sangat memperhatikan antara lain kesejahteraan PKL sewaktu masih menjabat Wali Kota Solo. Betul itu hal yang mulia. Namun, itu tidak terlepas dari kegiatan pencitraan (image building) dan itu termasuk yang memberikan kontribusi terbesar atas keberhasilannya menduduki kursi JakartaOne. 

Contoh lain dari Pakde Jokowi. Beliau seperti kita ketahui sangat antusias dalam membangun infrastruktur dasar. Rasanya, di Era Reformasi sekarang, belum ada presiden yang segetol Beliau dalam pembangunan infrastruktur.

Beliau tak kenal lelahnya dan berulang kali mengadakan peninjauan langsung ke berbagai proyek tersebut. Beliau dalam kondisi yang sangat padat, baru saja mendarat di tanah air, kemudian kita ketahui sebentar-sebentar sudah di Aceh, sudah di Lampung, nonggol lagi di Kalimantan dan Jawa hingga ke Wamena, Papua, dalam berbagai kegiatan memantau kemajuan proyek-proyek termaksud.

Betul sekali lagi itu pekerjaan yang mulia serta sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Namun, sekali lagi, itu pasti tidak luput dari dorongan dari alam bawah sadar dan/atau alam nyata Beliau untuk lanjut periode kedua. Beliau berhasil.

Sekarang kita ke para pejabat pemerintah dan Anggota Dewan kita yang terhormat itu. Coba kita tengok sebentar kasus berbagai rancangan UU yang sangat viral serta menuai kontroversial besar. 

Misalnya, dengan sudah disahkan Revisi UU KPK, KPK praktis menjadi macan ompong, menurut pendapat berbagai pihak termasuk penulis sendiri. Ini jelas membuat sebagian, atau, bahkan sebagian besar, jika tidak seluruhnya, dari para pejabat pemerintah dan Anggota DPR wajib sujud syukur. 

Kenapa?

Mereka itu tidak begitu mencemaskan lagi terjaring OTT KPK. Kecil peluang mereka itu untuk menjadi bagian catatan sejarah kelam OTT KPK. Mereka itu sukses dalam memperkecil peluang menjadi bagian dari deretan panjang menteri kabinet, gubernur, walikota/bupati, direksi BUMN, dan tentu saja para anggota DPR/DPRD yang terjaring operasi OTT KPK. Manusiawi untuk sujud syukur.

Ironisnya, wajah DPR semakin kusam. Semakin kusam menjelang detik-detik akhir dalam bulan September ini sebagai legislator Republik Indonesia. Namun, itu  terbatas di mata kita, Kompasianer, umumnya loh. Itu juga terbatas dalam lingkup kelompok masyarakat menengah, learned people,  dan akademisi, secara umum. 

Sebaliknya, itu umumnya biasa-biasa saja bagi orang-orang yang mendudukan mereka di Gedung Parlemen  Senayan Jakarta. Orang-orang itu adalah segmen pemilih yang memberikan suara terbesar kepada mereka. Mereka ini, menurut hemat penulis, sebetulnya tidak begitu paham dan/atau peduli dengan apa yang  dan apa ideal nya yang perlu dikerjakan oleh anggota DPR. Wajarlah, dengan demikian jika mereka itu tidak begitu menghiraukan hiruk pikuk mahluk yang bernama Revisi UU KPK, RKUHAP, dan RUU yang lainnya.

Kondisi ini tentu saja dipahami oleh para anggota dewan termaksud. Mereka paham betul mengingat mereka boleh dikatakan kampanye door to door dan tatap muka langsung dengan para pemilih tersebut dalam rangka kampanye menuju Senayan.

Menurut apa yang penulis dengar sejauh ini dan penulis alami sendiri ketika menjadi Caleg DPR RI untuk periode 2019 - 2024, kunjungan door to door dan tatap muka langsung itu jarang sekali, jika ada, membicarakan hal-hal strategis seperti pembangunan ekonomi, infrastruktur, HAM, korupsi, dan lain sebagainya. 

Ada di sana sini membicarakan isu kemiskinan dan kesempatan kerja serta olahraga. Namun, itu lebih menjurus untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok. Misalnya, perlu sumbangan untuk anak yatim, masjid dan musholla, perbaikan jalan, dan pertandingan olahraga.

Lebih miris lagi. ada beberapa kelompok, rasanya, yang secara tegas mengatakan "Bapak Dewan perlu berapa suara?" Selanjutnya, mereka kapitasasi biaya suara per orang. Seribu, dua ribu, atau berapa saja dengan tarif 200 ribu rupiah per suara. Bagaimana cara mereka mendapatkan suara itu Pak Dewan tidak perlu tahu.

Narasi tarif per suara ini konsisten dengan pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo. Dikatakannya untuk bisa lolos ke Senayan Caleg perlu mengeluarkan uang hingga 46 miliar rupiah.

Dengan demikian, sangat rasional sekali jika para anggota dewan kita itu dingin-dingin saja dalam menyikapi berbagai penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil. Beberapa akademisi terkemuka yang menolak berbagai rancangan UU tersebut adalah Refly Harun dan Abdul Fickar Hadjar.

Beberapa Talkshow Rossi, Kompas Tv, lebih menghujam lagi dengan panelis antara lain Direktur Amnesty Internasional dan Wartawan Senior Kompas. Direktur Amnesty Internasional itu, Usman Hamid, sangat piawai menelanjangi berbagai pasal karet yang mengancam terjadinya kriminalisasi banyak orang.

Demo mahasiswa terus berlanjut hingga hari ini. Puluhan ribu mahasiswa dari berbagai universitas mengruduk Istana Presiden dan Gedung DPR menyuarakan penolakan terhadap semua rancangan UU tersebut. Mahasiswa UI, Tri Sakti, Unika Atma Jaya, Unisma bekasi, IPB, Unpad, ITB, UGM, dan lain-lain tumpah ruah di depan Istana Presiden dan gedung DPR sepanjang pagi dan sore ini.

Namun, suara-suara tersebut hanya angin lalu saja bagi para wakil-wakil kita termaksud. 

Kenapa?

Sekali lagi mereka itu seperti kebanyakan kita juga adalah agen ekonomi doang. Mereka paham betul bahwa berbagai penolakan dan caci maki tersebut tidak akan menghalangi mereka untuk terpilih (kembali) pada Pileg 2024 atau untuk meraih berbagai jabatan publik lainnya yang tak kalah empuknya. 

Mereka hanya perlu dana yang besar untuk membiayai kampanye door to door, seperti disampaikan diatas , untuk dapat melaju (kembali) ke tangga parlemen Senayan 2024. Mereka boleh kita katakan terjebak dalam dunia high cost politics dan/atau money politics.

Dalam lingkungan seperti itu sangat sukar, jika tidak ingin kita mengatakan mustahil, mereka itu dapat menciptakan kebijakan publik pro rakyat. Kebijakan  publik yang pro rakyat itu termasuk kebijakan Anti Korupsi dan Efisiensi APBN dan kebijakan yang menjunjung supremasi HAM dan Hukum serta demokrasi . 

Perubahan atas hal-hal tersebut pasti terjadi. Tinggal waktunya cepat atau lambat. Semangkin sering dan semangkin keras gong perubahan tersebut kita tabuh semakin dekat berhembusnya angin perubahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun