Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Akankah Pasal Penghinaan Presiden Menelan Lebih Banyak Korban?

19 September 2019   17:36 Diperbarui: 19 September 2019   17:39 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: CNN Indonesia

Belum usai polemik revisi UU KPK kini muncul polemik baru atas UU Hukum Pidana (RKUHP). Beberapa pasal penting yang menuai polemik tersebut adalah yang terkait dengan berita bohong (hoax), korupsi sebagai pidana biasa, dan penghinaan presiden dan lembaga negara. Pasal-pasal yang terkait dengan penghinaan presiden dan lembaga negara adalah yang paling banyak menuai kontroversi.

Ada beberapa hal yang menyebabkan pasal-pasal penghinaan itu menuai kontrovesi yang tertinggi. Pertama, pasal-pasal itu pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi di tahun 2006. Pasal-pasal yang tercantum dalam UU Pidana lama adalah Pasal 134, 136, dan 137. 

Menurut ahli hukum Prof Mahfud MD pasal-pasal tersebut boleh saja dihidupkan sepanjang ada perubahan substansi. Coba kita bandingkan versi lama dan versi sekarang beberapa pasal tersebut.

Versi Pasal Penghinaan Presiden dituangkan dalam draf Pasal 264 UU Pidana baru, yang berbunyi:

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV." 

Versi UU Pidana lama, Pasal 137 Ayat 1, yang sudah dibatalkan oleh MK berbunyi:

"Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya menghina Presiden atau Wakil Presiden dengan niat supaya isinya yang menghina itu diketahui oleh orang banyak atau diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500."

Ada dua frasa yang membedakan antara versi baru dan lama tersebut. Pertama, versi lama tidak mencantumkan media elektronik sebagai cara penyebaran informasi/berita. Namun, menurut penulis walaupun itu tidak dicantumkan tetap saja versi lama tidak akan menghalangi seseorang dari jeratan hukum jika dia melanggar pasal ini dengan cara menyebarkan hal-hal yang dilarang termaksud melalui media elektronik. Dengan kata lain, penulis berpendapat tidak ada perbedaan substansi yang significant dari sisi metode penyebaran termaksud.

Kedua, versi baru berisikan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun sedangkan versi lama hanya satu tahun empat bulan. Apa cukup beralasan untuk menghidupkan pasal ini kembali dengan perbedaan ancaman pidana penjara tersebut?

Sayang sekali Prof Mahfud tidak memberikan komentar atas kedua versi tersebut. Beliau abstain atau no comment, dengan alasan belum baca, terkait ada tidaknya perbedaan substansi antara kedua versi tersebut.

Sebagai flash back ringan, penulis cantumkan data dari CNNI, klik disini,  terkait kasus penghinaan terhadap tiga presiden Indonesia terkini yaitu, Presiden Megawati, Presiden SBY, dan Presiden Jokowi.

Walaupun demikian, data google yang penulis dapat akses sejauh ini, kasus hukum penghinaan terhadap Presiden Jokowi adalah yang terbanyak. Misal, Liputan6.com,  melaporkan ada sembilan kasus hukum (dugaan) penghinaan terhadap Presiden Jokowi hingga tahun 2017. Contoh lain adalah, laporan Kompas.com terkait Nasib Para Pelaku Penghinaan Presiden Jokowi di Media Sosial, sepanjang tahun 2018.

Ada yang menarik bagi orang awam hukum seperti penulis. Pasal itu sudah dihapus tahun 2006. Walaupun demikian, tetap saja orang yang diduga melakukan penghinaan terhadap presiden dapat ditahan dan/atau divonis pidana penjara. Alinia sebelum ini menulis ada sembilan kasus hukum penghinaan terhadap Presiden Jokowi di tahun 2017. Di tahun 2018 lebih banyak dan di alinea itu dilaporkan ada enam kasus.

Sekarang coba kita lihat beberapa pandangan ahli hukum tata negara yang pro dan yang kontra atas dihidupkan kembali pasal-pasal penghinaan terhadap kepala negara itu. Sayang data google sejauh ini belum menampilkan link untuk yang pro. Untuk yang kontra cukup banyak diantara-nya adalah Refly Harun, Bivitri Susanti, dan Fickar (Abdul Fickar Hadjar).

Ketiganya memiliki prinsip yang sama bahwa penghidupan pasal-pasal karet itu adalah suatu kemunduran (set back) ke era 1998/99. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa pasal-pasal yang sudah dibatalkan oleh MK itu seharusnya tidak dihidupkan kembali.

Refly selanjutnya mengatakan bahwa dalam RKUHP asli peninggalan Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie)  pasal penghinaan termaksud digunakan untuk melindungi gubernur Hindia Belanda. Selain itu, pasal ini juga umumnya digunakan di negara dengan sistem kerajaan yang menganut prinsip the king/queen can do no wrong. 

Dengan demikian, lanjut Refly Harun, pasal ini berlawanan (tidak kompatibel) dengan semangat yang hidup di negara-negara demokrasi seperti Indonesia. Refly juga mengatakan bahwa dalam negara demokrasi presiden tidak perlu diberi posisi yang lebih tinggi dari warga negara biasa. Kutipan pernyataan Pakar Hukum Tata Negara ini yang dikutip oleh Tempo.co, adalah:

"Yang membedakan hanya hak dan kewajibannya, tugasnya. Tapi bukan kemudian dilindungi secara khusus." 

Lebih jauh lagi, disini, Refly mengatakan bahwa presiden dan wakil presiden sebenarnya tinggal menggunakan delik umum seperti yang berlaku untuk warga negara lainnya, misalnya pasal penghinaan, dan, juga itu ada undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dapat dirujuk.

Sedangkan pakar hukum tata negara Univ. Tri Sakti, Abdul Fickar Hadjar, juga dengan tegas mengatakan bahwa pasal-pasal penghinaan terhadap presiden itu adalah pasal-pasal karet, tidak mengandung kepastian hukum,  berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers. 

Dengan demikian, tidak pas lah untuk negara demokratis seperti Indonesia. Sama dengan pendapat  Refly dan Bivitri pasal-pasal ini  sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). 

Walaupun demikian, coba kita perhatikan trend politik menjelang Pilpres 2024. Jokowi sudah pasti tidak bisa maju lagi dan Ma'ruf Amin juga rasanya tidak akan maju juga. Implikasinya Cyber wars terhadap mereka tidak akan sesengit seperti yang terjadi di tahun 2018 dan 2019.  Dengan demikian, menurut intuisi penulis, pasal-pasal karet itu cenderung tidak akan lebih banyak menelan korban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun