Ada yang menarik bagi orang awam hukum seperti penulis. Pasal itu sudah dihapus tahun 2006. Walaupun demikian, tetap saja orang yang diduga melakukan penghinaan terhadap presiden dapat ditahan dan/atau divonis pidana penjara. Alinia sebelum ini menulis ada sembilan kasus hukum penghinaan terhadap Presiden Jokowi di tahun 2017. Di tahun 2018 lebih banyak dan di alinea itu dilaporkan ada enam kasus.
Sekarang coba kita lihat beberapa pandangan ahli hukum tata negara yang pro dan yang kontra atas dihidupkan kembali pasal-pasal penghinaan terhadap kepala negara itu. Sayang data google sejauh ini belum menampilkan link untuk yang pro. Untuk yang kontra cukup banyak diantara-nya adalah Refly Harun, Bivitri Susanti, dan Fickar (Abdul Fickar Hadjar).
Ketiganya memiliki prinsip yang sama bahwa penghidupan pasal-pasal karet itu adalah suatu kemunduran (set back) ke era 1998/99. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa pasal-pasal yang sudah dibatalkan oleh MK itu seharusnya tidak dihidupkan kembali.
Refly selanjutnya mengatakan bahwa dalam RKUHP asli peninggalan Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie) Â pasal penghinaan termaksud digunakan untuk melindungi gubernur Hindia Belanda. Selain itu, pasal ini juga umumnya digunakan di negara dengan sistem kerajaan yang menganut prinsip the king/queen can do no wrong.Â
Dengan demikian, lanjut Refly Harun, pasal ini berlawanan (tidak kompatibel) dengan semangat yang hidup di negara-negara demokrasi seperti Indonesia. Refly juga mengatakan bahwa dalam negara demokrasi presiden tidak perlu diberi posisi yang lebih tinggi dari warga negara biasa. Kutipan pernyataan Pakar Hukum Tata Negara ini yang dikutip oleh Tempo.co, adalah:
"Yang membedakan hanya hak dan kewajibannya, tugasnya. Tapi bukan kemudian dilindungi secara khusus."Â
Lebih jauh lagi, disini, Refly mengatakan bahwa presiden dan wakil presiden sebenarnya tinggal menggunakan delik umum seperti yang berlaku untuk warga negara lainnya, misalnya pasal penghinaan, dan, juga itu ada undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dapat dirujuk.
Sedangkan pakar hukum tata negara Univ. Tri Sakti, Abdul Fickar Hadjar, juga dengan tegas mengatakan bahwa pasal-pasal penghinaan terhadap presiden itu adalah pasal-pasal karet, tidak mengandung kepastian hukum, Â berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers.Â
Dengan demikian, tidak pas lah untuk negara demokratis seperti Indonesia. Sama dengan pendapat  Refly dan Bivitri pasal-pasal ini  sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).Â
Walaupun demikian, coba kita perhatikan trend politik menjelang Pilpres 2024. Jokowi sudah pasti tidak bisa maju lagi dan Ma'ruf Amin juga rasanya tidak akan maju juga. Implikasinya Cyber wars terhadap mereka tidak akan sesengit seperti yang terjadi di tahun 2018 dan 2019. Â Dengan demikian, menurut intuisi penulis, pasal-pasal karet itu cenderung tidak akan lebih banyak menelan korban.Â