Masih menurut Lea, Jokowi juga pernah mengatakan bahwa pengendalian korupsi sebaiknya tidak terlalu fokus lagi dengan kegiatan penindakan. Mungkin yang dimaksud kegiatan penindakan itu adalah seperti yang dilakukan oleh KPK sekarang dengan brand image OTT. Dengan kata lain, senjata Cakra Pamungkas OTT KPK akan menjelma seperti keris pusaka saja.
Butir ketiga ini mengandung sebagian besar dari semangat revisi UU KPK. Dalam revisi ini, sesuai dengan pernyataan Jokowi bahwa tidak perlu fokus lagi dengan tugas-tugas penindakan, semangatnya adalah KPK ditugaskan untuk melakukan kegiatan edukatif dan preventif.Â
Ironisnya, menurut Almizan53, klik disini, KPK bukanlah lembaga pemerintah yang tepat untuk melakukan kegiatan edukatif dan preventif termaksud. Masih menurut Almizan53, Kementerian Keuangan dan Kementerian PAN RB adalah dua instansi negara yang paling tepat untuk melakukan tugas-tugas edukatif dan preventif tersebut.
Keempat, gerakan perlawanan publik atas draf revisi UU KPK itu kurang begitu bergema. Memang pegawai dan institusi KPK menyerukan perlawanan atas revisi termaksud. Misalnya, website KPK, klik disini, menyatakan ada 10 permasalahan besar dari draf revisi UU KPK itu. Ada juga suara penolakan dari LIPI, klik disini.
Namun itu hanya ditandatangani oleh sekitar 146 civitas LIPI. Ada juga protes dari beberapa akademisi termasukPeneliti LIPI, Syamsuddin Haris, klik disini. Kelompok akademisi lain juga menyuarakan Anti Revisi UU KPK. Ini misalnya, disuarakan oleh civitas Fakultas Ilmu Politik Undip, Semarang, klik disini.
Bagaimana dengan civitas akademika yang lain seperti UI, UGM, ITB, Unpad, Trisakti, Unika Atmajaya, UKI, dan lain-lain yang getol turun ke jalan? Rasanya mereka tidak akan turun ke jalan ya.
Walhasil, protes-protes tersebut bak pepatah "Anjing Menggonggong Kafilah Jalan Terus." Mereka tidak cukup kuat untuk membatalkan substansi pokok revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR tersebut. Selain itu, kelompok-kelompok dan orang-orang termaksud hanya mewakili sebagian kecil dari populasi masing-masing.Â
Sebagai perbandingan, coba kita lihat demo Anti UU Ekstradisi di Hongkong. Demo ini berhasil membatalkan UU itu karena dilakukan oleh massa demo yang besar dan berlangsung terus menerus, demo berjilid-jilid kata orang kita, selama sekitar empat bulan sejak 9 Juni 2019 dan tuntutan itu dikabulkan baru pada tanggal 4 September 2019.
Demo pertama yang dilakukan pada tanggal 9 Juni itu diikuti oleh sekitar satu juta orang. Demo-demo berikutnya banyak yang berakhir dengan kerusuhan terutama yang dilakukan pada tanggal 12 Juni 2019. CNBC Indonesia, klik disini.
Ini menurut penulis bersumber dari fakta bahwa kegiatan OTT KPK dan kegiatan KPK secara keseluruhan hanya menebang sebagian kecil dari pohon-pohon busuk yang tumbuh di lahan yang busuk. Memang pohon busuk itu tumbang tetapi pohon busuk yang lain segera akan tumbuh kembali.