Harga-harga pangan naik menjelang bulan puasa itu biasa. Itoe terjadi sejak tempo doeloe hingga saat ini. Harga-harga itu akan lebih naik lagi menjalang lebaran dan kelihatannya lebaran Idul Fitri 1440 tahun ini tidak terkecualikan.Â
Puluhan Kompasianer menyoal melonjaknya harga pangan menjelang Ramadan. Â Ika Septi, klik disini, misalnya, menginventarisir kenaikan harga daging ayam, telur ayam, dan bawang putih. Menurutnya itu terjadi sejak berabad-abad yang silam. Cuplikan opini Ika Septi tersebut adalah sebagai berikut:
"Sepekan sebelum ramadan daging ayam sudah naik duluan, slow but sure, setiap hari naik, dari yang awalnya 32 ribu hingga menyentuh angka 40 ribu rupiah. Begitu pula dengan harga telur ayam, dari 21 ribu kini sudah berada di kisaran harga 25 ribu rupiah....... Bawang putih adalah komoditas yang kenaikan harganya menggetarkan jiwa. Dari yang mulanya berada di harga 25 ribu rupiah langsung menanjak ke angka 60 bahkan sampai 80 ribu rupiah.Â
Dalam nuansa yang sama Kompasianer Ario Aldi L. klik disini, mengatakanÂ
"Keadaan seperti ini selalu berulang tiap tahunnya, .....Setiap kali bulan ramadhan harga barang-barang menjadi naik bisa sampai harga hampir 2x lipat dari harga normal, kenapa bisa terjadi?"
Penulis juga mendengar omelan "orang rumah" tiga hari sebelum hari pertama puasa yaitu hari Jum'at nya. Gila bawang putih 100 ribu per kilo bawang merah naiknya lima lipat dan daging sapi 120 ribu katanya. Semuanya pada naik dech tambahnya. Sabtunya kami sudah di kampung halaman isteri penulis nun jauh di sana di dataran tinggi Prahiangan yang demikian sejuknya. Sambil jalan pagi di hari Minggunya, kami sempat belanja ala kadarnya untuk persiapan sahur. Waduh harga daging kambing ikut naik juga. Harganya itu Rp100.000 per kg. Â
Kenapa ya harga-harga pangan pada melonjak menjelang bulan puasa dan akan naik kembali menjelang lebaran? Kompasianer Efi Anggraeni menjelaskan fenomena itu dari sisi permintaan dan penawaran. Kompasianer ini mengatakan:Â
"Sepanjang yang saya ketahui apabila permintaan naik sementara stok secara signifikan tidak berubah alias tetap maka harga otomatis terkerek naik."Â
Dalam perspektif yang sama, Kompasianer Efwe, klik disini, mengatakan bahwa kenaikan harga, inflasi, itu sebagai konsekuensi logis dari kelebihan permintaan atas penawaran yang ada. Cuplikan dari pendapat Efwe tersebut mencakup yang berikut:
"Kelebihan permintaan (demand-pull inflation): Inflasi dapat timbul dari sisi permintaan ketika ada kelebihan permintaan (excess demand) dalam interaksi antara sisi permintaan dan penawaran dalam sebuah perekonomian."
Lebih awal Kompasianer Liliek Pur, klik disini, Â menjelaskan asosiasi harga dengan ketersediaan stok pangan. Cuplikan pendapatnya itu adalah seperti:
"Harga-harga hanya mengikuti kemauan masyarakat. Masyarakat meminta barang lebih banyak, sementara penambahan stok barang tidak sebanyak tambahan permintaan, maka sang harga tak mungkin diam saja. Ia akan menggeliat naik."Â
Penulis juga sepakat dengan pendapat para Kompasianer kita yang super tersebut. Harga merupakan indikator kelangkaan terpenting. Barang langka harga naik dan barang melimpah harga anjlok. Semakin melimpah semakin anjlog harga nya dan semakin langkah semakin mahal harga nya. Tong hilap.
Pertanyaannya sekarang adalah kenapa pasokan pangan tidak seirama dengan lonjakan kenaikan kebutuhan masyarakat menjelang bulan puasa dan lebaran? Â Dengan kata lain, terkesan Pemerintah tidak mampu untuk mendorong pasokan pangan untuk menghilangkan kelangkaan sehingga pangan menjadi berlimpah di pasar-pasar.
Kompasianer Johanis Malingkas, menyatakan:
"Pemerintah sejatinya dapat mengontrol harga dengan analisis pasar. ...... Misalkan kebutuhan komoditi bawang putih sekitar 500 - 600 on per tahun namun produksinya di dalam negeri hanya 20.000 ton/tahun. Selisih nya jelas harus mengimpor."Â
Harapan adanya intervensi Pemerintah juga disampaikan oleh Kompasianer Sigit Eka Pribadi, SE. Ini harapan Sigit itu:
"Iya mi, mungkin sebentar ada solusi dari pemerintah, kita tunggu aja ya."Â
Coba kita lirik dulu fenomena harga pangan di beberapa negara maju seperti Jepang, USA, dan Australia. Harga pangan di negara-negara tersebut sangat stabil. Tidak ada gejolak harga pangan menjelang hari raya Natal dan Tahun Baru dan juga tidak ada gejolak harga pada momen-momen festival nasional seperti Thanks Giving Day di Amerika Serikat.
Ada intervensi pemerintah di masing-masing negara tersebut? Jawabnya tidak ada sama sekali. Pemerintah tidak melakukan apa-apa dan harga stabil secara alamiah. Harga dan pasokan bergerak secara harmonis.
Bagaimana dengan di Malaysia? Kondisi Malaysia lebih mirip untuk disandingkan dengan kondisi Indonesia. Penulis pernah membaca beberapa artikel tentang harga pangan di Malaysia beberapa tahun yang lalu. Disini dilaporkan tidak pernah ada gejolak harga menjelang bulan puasa dan lebaran di Malaysia. Hal yang serupa penulis juga dengar dari beberapa buruh migran dan mahasiswa kita di negeri jiran ini.
Penulis juga coba telusuri apa rahasia pengendalian harga pangan yang demikian baiknya di negeri jiran ini. Apakah mereka memiliki badan penyanggah pangan (buffer stocks) seperti Bulog di Indonesia? Sayang, penulis belum menemukan, jika ada, referensi terkait Buffer Stocks Malaysia. Penulis hanya menemukan referensi yang mengatakan Pemerintah Malaysia tidak melakukan intervensi langsung terhadap harga-harga. Mereka mengadopsi kebijakan yang umumnya ditempuh oleh negara-negara maju.Â
- lihat juga: Cadangan Beras Nasional dan Tata Kelola Impor Beras ala Prof BJ Habibie, klik disini
Daging Sapi, Kambing dan Domba.
Daging sapi
Umumnya kita pernah mendengar dan/atau mengkonsumsi daging beku. Ini daging sapi impor. Daging sapi lokal atau daging sapi segar merupakan substitusi sangat dekat dengan daging sapi beku. Harga daging sapi beku naik harga daging sapi lokal otomatis naik juga. Harga daging beku mahal harga daging sapi dalam negeri juga ikut naik.
Daging kambing dan domba
Sama hal nya dengan daging sapi segar daging kambing dan daging domba juga merupakan substitusi dekat daging beku. Tingkat dan pergerakan harga daging beku berasosiasi sangat dekat dengan tingkat dan pergerakan harga daging kambing dan harga daging domba.Â
Tata Niaga Impor Daging Beku
Genduruwo nya memang disini. Tata Niaga impor menyebabkan hanya beberapa importir saja yang memiliki izin impor daging sapi. Mereka memiliki kekuatan untuk berprilaku sebagai oligopolists seperti mengendalikan volume dan waktu impor daging beku. Terkini bahkan lebih ketat lagi. Jika tidak keliru, terbaru hanya Perum Bulog yang diberikan izin impor daging beku.
Lihat juga: Jelang Panen Raya, Jangan Biarkan Beras Petani Busuk di Gudang Bulog, klik disini.
Daging dan Telur Ayam
Isu daging dan telur ayam tidak terkait dengan substitusi impor daging dan telur ayam. Struktur pasar daging dan telur ayam Indonesia seudah mendekati atau bahkan sudah berada dalam struktur pasar persaingan sempurna. Disini tidak ada agen ekonomi, baik pemasok maupun konsumen yang dapat mengendalikan pasokan ke pasar. Dengan demikian, pergerakan harga di pasar ini hampir pasti bersumber dari unsur-unsur fundamental dan bukan oleh unsur-unsur lain seperti penimbunan stok dan pengurangan pasokan ke pasar.
Walaupun demikian, struktur pasar input sektor daging dan telur ayam ditandai oleh kondisi oligopolistis. Hanya ada beberapa pemasok bahan baku utama peternak ayam (daging dan telur ayam). Mereka memiliki power untuk mengendalikan pasokan dan harga input utama peternak daging dan telur ayam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H