Mohon tunggu...
Kang Mizan
Kang Mizan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I. email: kangmizan53@gmail.com

Pensiunan Peneliti Utama Kementerian Keuangan R.I.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Pandangan Visioner Sosok Kompasianer Calon Anggota DPR 2019

5 Mei 2019   21:34 Diperbarui: 5 Mei 2019   22:10 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompasianer memang super. Memang super karena jumlah Kompasianer sangat besar. Penulis taksir itu lebih dari 30.000 orang dan jumlahnya terus bertambah setiap hari. Bukan itu saja. Umur dan pendidikan juga sangat beragam. Demikian juga dengan domisili dalam dan luar negeri, sosial ekonomi, dan profesi. 

Beberapa hari yang lalu penulis melihat tayangan seorang Kompasianer yang bercerita tentang suka duka menjadi Calon Legislator 2019. Penulis yakin bahwa dia bukan satunya-satunya Kompasianer Caleg Pemilu 2019. Penulis juga Calon Anggota DPR R.I 2019. Mungkin ada hikmahnya jika berikut ini penulis sajikan beberapa cuplikan  yang paling berkesan selama mengikuti Racing pemilihan legislator DPR R.I. tersebut.

Mendengar Wejangan Presiden Jokowi
Penulis yang juga Caleg DPR R.I sangat terkesan dengan wejangan Jokowi sekitar bulan September 2018. Beliau menceritakan pengalaman ketika racing Walikota Solo. Pengalaman yang diceritakan itu mencaaaaakup Jokowi bukan siapa-siapa ketika itu. Tidak ada yang kenal. Tapi "saya ingnin menang," kata Beliau.

Saya kemudian, lanjut Pak Jokowi, memutuskan untuk menghentikan kegiatan kampanye seperti pengerahan massa di lapangan-lapangan terbuka. Yang datangkan kan orang kita sendiri dan biayanya sangat besar, imbuh Beliau.

Kampanye door to door dan from Subuh tu Subuh harus saya lakukan, lanjut orang Kerempeng bertenaga banteng ini. Saya kemudian tahu siapa yang akan memilih dan tidak memilih saya ketika pamit pulang, begitu menurut Capres #02 ini. 

Penulis begitu terkesan ketika diakhir acara pertemuan ini Beliau dengan santai menyalami kami, Caleg DPR RI wilayah pulau Jawa, satu per satu. Penulis tambah terkesan lagi ketika dalam perjalanan keluar gedung pertemuan ini Beliau menympatkan diri foto bersama dengan segenap kaaryawan Gedung Tinggi di Jaaantung kota Jakarta ini.

Namun, untuk racing Caleg semangat 45 bergerilya door to door dari Subuh ke Subuh hanya efektif jika ada uang. Ada uang dalam jumlah yang besar. Sangat besar bagi penulis karena dalam angka puluhan miliar rupiah.

Ribetnya dan Beratnya Beban Administrasi Caleg
Beban administrasi Caleg sangat tinggi. Sangat tinggi bagi Caleg itu sendiri dan sangat tinggi baik bagi Parpol maupun bagi KPU itu senndiri. Selain tinggi beban administratis itu ribet atau reseh yang menjurus mengada-ada dan kurang, atau, bahkan tidak bermanfaat sama sekali. Sebagian besar dari sekitar 15 persyaratan yang diatur di PKPU, menurut Penulis reseh dan kurang bermanfaat.

Misalnya, patut dipertanyakan apa perlunya melampirkan  keterangan domisili dan sudah terdaftar sebagai pemilih dari Lurah/Kepala Desa setempat? Juga, apa KPU dapat melakukan verifikasi kebenaran surat-surat itu? Dapatkah KPU memverifikasi puluhan ribu surat-surat keterangan tersebut? Maksimal mereka hanya melihat kop surat dan tandatangan lurah/kepala desa.

Contoh yang lain adalah Surat Keterangan Sehat. KPU menghendaki surat itu dilampiri hasil lab. Ini ditolak oleh RSPAD Gatot Subroto karena menurut mereka RSPAD bertanggungjawab atas surat tersebut. Selain itu, menurut RSPAD jikapun hasil lab itu dilampirkan, apakah orang KPU mengerti dan mampu membaca hasil lab tersebut? 

Riuhnya protest atas ketentuan KPU tersebut terutama protest Yusril Ihza Mahendra, membuat KPU membatalkan ketentuan untuk melampirkan hasil lab termaksud.

Daftar Riwayat Hidup. Caleg juga diwajibkan untuk menyampaikan DRH rinci. Sekitar tiga lembar untuk masing-masing Caleg. Apa dapat diverifikasi oleh KPU? 

DRH itu penting jika kita melamar kerja. Calon employee perlu tahu apakah pekerjaan yang ditawarkan berpeluang dapat dilaksanakan dengan baik oleh pelamar yang bersangkutan. Dalam Pemilu, KPU tidak berkuasa untuk menetapkan apakah seorang Caleg layak atau tidak untuk duduk di gedung kura-kura Senayan. Rakyat yang menentukan apakah Caleg tersebut lolos atau tidak ke Senayan. 

Persyratan ini hanya menambah beban administrasi bagi semua pihak. Beban untuk Caleg, beban untuk Parpol, dan beban untuk KPU.

Ijazah SLTA dan Perguruan Tinggi
Ini bukan murni peraturan KPU tetapi didasarkan pada UU Pemilu 2017. Lagi-lagi ini merupakan persyaratan yang sia-sia, menurut penulis. Ini bukan kegiatan melamar kerja atau kegiatan untuk melanjutan pendidikan. Ini kegiatan politik dan hak mutlak rakyat untuk memilih atau tidak memilih seorang Caleg. 

Hapus saja persayaratan ijazah itu. Tidak perlu ada pembatasan ijazah. Yang tidak punya ijazah layak untuk duduk di gedung kura-kura Senayan sepanjang mendapat mandat rakyat.

Ingat dengan Menteri Kelautan dan Perikanan? Susi Pudjiastuti dapat dikatakan doing well walaupun hanya mengantongi ijazah SMP.

Banyak lagi persyaratan KPU yang hanya bikin reseh saja. Itu mencakup SKCK (Kepolisian), Surat Keterangan Kementerian Hukum dan Ham, dan banyak lagi rasanya.  

Pak Harto dan Belum Siapnya Rakyat Berdemokrasi
Orang itu umumnya berpikir Caleg adalah orang kaya. Mindset nya Caleg DPR pasti sudah siap untuk menghabiskan puluhan miliar rupiah. Dengan demikian, Penulis mesem-mesem ingat ketika membaca proposal untuk perbaikan jalan, renovasi rumah ibadah, dan berbagai jenis perlombaan seni dan olah raga. Banyak juga yang mengusulkan acara makan bersama di berbagai restoran yang wah-wah. 

Penulis masih mencoba mengingat-ingat jika ada kesempatan pertemuan dengan konstituen yang membicarakan urusan kepentingan umum. Sayang belum teringat ada yang demikian. Yang penulis ingat adalah pembicaraan uang. Uang dan uang untuk kegiatan ini dan itu dan uang untuk diberikan kepada orang ini dan/atau kelompok ini dan itu termasuk kepada orang-orang yang terkait dengan kegiatan penyelenggara Pemilu.

Belum teringat apa kami pernah membicarakan masalah strategis negara seperti praktik dagang sapi dalam proses pencalonan Pilpres dan Pilkada. Belum teringat juga apa kami pernah membicarakan isu mafia impor yang menyebabkan harga pangan impor tidak pernah stabil lebih-lebih menjelang Ramadhan seperti saat ini. Juga, sangat tidak ingat apa kami pernah membicarakan isu utang negara dan APBN, pengangguran, dan lain sebagainya. 

Sekarang saya baru ingat kembali dengan Pak Harto. Dulu itu banyak orang, termasuk Penulis,  yang mencomooh Pak Harto yang mengatakan bahwa kita belum siap berdemokrasi. Pertanyaannya sekarang adalah perlu bearapa tahun, atau, berapa puluh tahun, lagi kita baru akan siap berdemokrasi dengan baik? Dapatkah this learning curve diperpendek, misalnya, kurang dari 25 tahun, kurang dari satu generasi?

Beberapa Implikasi Buruk Sistem Coblos Pileg
PKPU yang berlaku memungkinkan coblos Caleg, atau, coblos partai, atau coblos keduanya. Ini mengandung implikasi buruk baik dari sisi kedaulatan rakyat maupun dari sisi admnistratif. 

Sisi administratif
Jumlah Caleg Parpol peserta Pemilu umumnya sama dengan jumlah kursi legislatif yang diperebutkan. Hampir seluruh Parpol mendaftarkan 565 Caleg DPR R.I. Angka ini sesuai dengan jumlah kursi DPR R.I. Ini otomatis berlaku untuk setiap Dapil. Jika dalam suatu Dapil ada sembilan kursi DPR yang diperebutkan, maka masing-masing Parpol mendaftarkan sembilan orang Caleg.

Konsekuensinya, dengan 16 Parpol dan masing-masing mendaftarkan kuota penuh Caleg, surat suara Pileg sangat lebar. Itu lebih lebar dari dua halaman koran terbuka. KPU juga perlu menyiapkan 16 lembar Formulir C1 Plano, masing-masing satu lembar untuk setiap Parpol,  untuk mencatat perolehan suara masing-masing Parpol termaksud. 

Sisi Kedaulatan Rakyat
Konsekuensi sistem coblos tiga boleh tersebut adalah pemberian lejitimasi kepada Parpol untuk mengganti Caleg terpilih melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).  Juga ini memberikan lejitimasi kepada Parpol untuk mengangkat Caleg lain sebagai pengganti Caleg terpilih yang berhalangan atau mengundurkan diri. 

Sistem ini mengabaikan semangat kedaulatan rakyat. Ini demikian mengingat selalu ada Caleg Parpol lain yang memiliki suara rakyat yang lebih banyak untuk mengisi kursi kosong DPR termaksud. Dengan kata lain, suara rakyat lebih banyak ke Caleg Parpol lain tersebut tetapi pengganti Caleg termaksud ditetapkan berdasarkan Perolehan suara Parpol keseluruhan dan bukan berdasarkan perolehan suara langsung para Caleg peserta Pemilu.

Semangat kedaulatan rakyat sepenuhnya terwujud jika Pileg hanya coblos Caleg. Rakyat yang memilih dan juga rakyat yang mengganti. Penetapan Caleg terpilih juga sangat sederhana, Cukup berdasarkan ranking dan tidak perlu dengan metode asing Saint League.

Modus kanibalisme suara internal partai juga dapat dinihilkan. Penggantian Caleg terpilih dengan Sistem PAW otomatis hilang. Penggantian Caleg terpilih yang berhalangan atau mengundurkan diri dilakukan dengan Pemilu sela (interim election).

Mari kita suarakan demokrasi Indonesia yang labih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun