Duuulu sekali. Itu di awal kemerdekaan Indonesia Wakil Presiden R.I. ketika itu, Mohd Hatta, kurang lebih berpedendapat bahwa parpol adalah darah bangsa.
Parpol adalah sumber enerji dan inspirasi untuk pembangunan bangsa. Parpol adalah aset bangsa yang sangat berharga. Tidak mengherankan jika jumlah Parpol pada waktu itu tumbuh bak jamur di musim penghujan.Â
Apa yang terjadi kemudian? Malapeteka! Kabinet pemerintahan sangat rapuh. Kabinet jatuh bangun dalam waktu singkat dan beberapa di antaranya hanya dapat bertahan dalam waktu satu bulan.
Roda pemerintahan macet. Kemelaratan dan kelaparan masif di seluruh pelosok negara yang subur dan dengan dengan sumber daya alam perawan yang sangat menggiurkan ini, yang kondisi nya, penulis kira, mirip=mirip, atau bahkan lebih buruk, dengan yang terjadi di Venuzuela saat ini.
Rezim Otoriter Orde Baru menciutkan jumlah Parpol menjadi tiga yaitu: PPP, Golkar dan PDIP. Lahirnya Era Reformasi 1997/98 membalikan perjalanan sejarah Indonesia ke Era 1955an. Pemilu pertama Reformasi diikuti sekitar 40 Parpol dan sekarang ini ada 16 Parpol nasional dan empat parpol daerah yang ikut serta dalam Pemilu Serentak 17 April 2019.Â
Yang berhak untuk jadi paslon Presiden hanyalah orang-orang yang disetujui oleh parpol dan koalisinya. Kedaulatan rakyat dibrangus oleh Amendmen Kelima UUD45. Kedaulatan partai kini berkibar dengan pongahnya.
Jokowi, presiden Indonesia terbersih menurut penulis, dengan tertatih-tatih perlu berputar-putar puluhan kali dan berbulan-bulan lamanya untuk mendapatkan wakilnya. Jokowi perlu bicara puluhan kali dengan banyak Parpol dalam mencari Cawapresnya sendiri.
Tim Kampanye Jokowi juga dibentuk atas kesepakatan bersama dengan seluruh parpol pengusungnya. Sangat melelahkan dan hanya menghabiskan sumber-sumber langkah nasional yang sia-sia.
Di sisi lain, Prabowo juga perlu berkeliling mencari sosok Cawapres gembul yang mampu membayar sewa perahu parpol pengusung. Jumlah yang dibayar Sandiaga Uno untuk mendapatkan tumpangan perahu parpol pengusung sangat fantastis. Dia perlu merogoh kocek sendiri senilai Rp500 miliar untuk masing-masing Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN).Â
Partai politik sangat berkuasa yang mendikte agar DPR diorganisir berdasarkan fraksi-fraksi parpol. Ketua fraksi ditunjuk langsung oleh pimpinan parpol dan dominasi ketua fraksi dalam pengambilan keputusan DPR sangat-sangat besar.
Banyak sekali keputusan penting pemerintahan yang menghendaki persetujuan DPR yang notabene perlu persetujuan Ketua Parpol. Ini mencakup pengangkatan Gubernur Bank Indonesia, Pimpinan OJK, Kapolri, Pimpinan KPK, Pimpinan BPK, dan lain sebagainya.