Jokowi memang fenomenal. Jokowi memang mbahnya pembangunan infrastruktur Indonesia dan Jokowi memang anti-KKN. Namun, banyak gagasan super Beliau yang ndower. Banyak kebijakan yang diambil ternyata tidak sesuai dengan janji kampanye dan/atau tidak jelas kelanjutanya. Atau, ada beberapa gagasan yang beraroma populis yang hampir tidak mungkin diwujudkan khususnya dalam perspektif jangka menengah. Kesemua itu menjadi meme dan bullying netizen. Ini 5 di antaranya.
Pertama, kabinet ramping. Capres Jokowi JK waktu itu mengampanyekan kabinet ramping. Tapi, ketika Presiden Jokowi mengumumkan Kebinet Kerja pada tanggal 26 Oktober 2014 ternyata ada 34 menteri kabinet yang tidak beda dengan Kabinet Bersatu SBY (KB I = KB II = 34 menteri). Ada kolega yang nyeletuk ramping koq begitu! Saya jawab, janjinya ramping kan dan tidak menyebut angka. Ramping menurut Jokowi itu mungkin tidak sampai 40 menteri (Kabinet Pembangunan VI Soeharto memiliki 39 Menteri Kabinet) dan bukan seperti yang dipikirkan oleh netizen yang mungkin hanya berkisar 25-an menteri kabinet. Ooohhh...gitu ya? Jawab mereka sambil cengengesan.Â
Kedua, tidak rangkap jabatan. Ini pukulan telak janji kampanye Jokowi JK. Walaupun banyak yang mentolerir keputusannya untuk mengizinkan Idrus Marham dan Air Langga rangkap jabatan tetapi yang mencibirnya (ndower) banyak juga dan bahkan mungkin lebih banyak. Seperti diketahui yang pertama adalah Sekjen dan yang kedua adalah Ketua Umum Partai Golkar dan masing-masing adalah Menteri Sosial dan Menteri Perindustrian Kabinet Kerja Jokowi JK.
Ini beberapa berita yang anti rangkap jabatan itu. CNN Indonesia, misalnya, "Rangkap Jabatan dan Inkonsistensi Jokowi Jelang Pilpres 2019." Dugaan bahwa kompromi rangkap jabatan dalam Kabinet Jokowi JK itu ini terkait dengan Cawapres Jokowi 2019 silahkan klik di sini "Puan Masuk Bursa Cawapres Jokowi, Ini Respons PDIP".
Ketiga, Revolusi Mental. Revolusi mental itu adalah perubahan mental secara dramatis dan dalam tempo yang singkat. Dalam kaitannya dengan janji Nawacita Jokowi JK itu tentunya mencakup perubahan mental aparat negara untuk memberikan pelayanan yang lebih baik dan lebih cepat. Mental dilayani perlu direformasi dengan menjadi mental dilayani. Jargon yang banyak diangkat oleh para politisi dan aparat negara adalah "melayani, bukan dilayani."Â
Sayangnya revolusi mental seperti itu masih banyak yang belum berjalan. Berikut ini penulis sajikan pengalaman/kasus yang dialami oleh penulis dan seorang Kompasianer yang lain. Pertama, akan penulis sajikan pelayanan Kantor Imigrasi Bogor Pra-Jokowi dan pelayanan Kantor Imigrasi Kota Depok saat ini (Era Presiden Jokowi). Untuk yang di Bogor adalah pengalaman pribadi penulis dan untuk yang di Kota Depok, pengalaman seorang Kompasianer kita. Walaupun dalam dua periode presiden yang berbeda tetapi mental pejabat/pegawai Kantor Imigrasi tersebut persis sama untuk kasus seperti ini: belum ada revolusi mental.Â
Kasus untuk penulis adalah tempat kelahiran anak saya yang tercantum di Akta Kelahiran berbeda dengan yang tercantum di ijazahnya. Yang pertama ditulis Bogor dan yang kedua ditulis Depok. Saya jelaskan bahwa pada waktu anak saya lahir, Depok itu masih kota administratif Kabupaten Bogor dan untuk itu pejabat pembuat akta lahir menulisnya Bogor. Sedangkan yang tertulis di ijazah SMP anak saya adalah ketika Depok sudah berubah status menjadi Kota Depok.Â
Kantor imigrasi tidak dapat menerima penjelasan saya dan minta agar ada pernyataan dari Camat Bojong Gede. Lucu sekali Pejabat Kantor Imigrasi tidak paham akan perubahan status Kota Depok dan hanya membuang waktu saya sia-sia untuk bolak balik ke Kantor Camat Bojong Gede dan Kantor Imigrasi Bogor yang waktu itu perjalanan KRL masih sangat semrawut. Lebih-lebih di Kantor Camat itu sebetulnya tidak melakukan verifikasi apa dan hanya membuat pernyataan bahwa anak saya itu betul lahir di Kota Depok, sesuai dengan permintaan saya!
Sedangkan kasus Kompasianer kita yang lain itu terkait dengan permohonan passpor di Kantor Imigrasi Depok tetapi namanya sedikit berbeda antara KTP dengan dengan Akta Kelahiran. Mungkin di satu dokumen namanya tertulis Noegroho dan di lain dokumen tertulis Nugroho, misalnya. Kantor Imigrasi Kota Depok lagi-lagi minta yang bersangkutan menyampaikan surat pernyataan dari Lurah/Camat Kota Depok, saya kira. Ini pekerjaan sia-sia sebab Kantor Camat seperti pengalaman saya itu tidak melakukan verifikasi apa-apa hanya membuat surat yang dicap oleh Pak Camat dan berisikan pernyataan bahwa nama yang betul sesuai permintaan dari Kompasianer kita yang lain itu.Â
Saya tidak tahu apakah Kompasianer kita itu adalah pegawai/pejabat pemerintah atau bukan. Jika dia adalah pegawai pemerintah nama yang betul adalah nama yang tercantum dalam SK CPNS. Seharusnya, pejabat Imigrasi Depok itu merujuk ke dokumen seperti SK CPNS, iijazah, dan lain-lain dan tidak perlu melemparkan tanggung jawab ke Kantor Camat. Silahkan klik "Serba-serbi Perpanjang Paspor di Kantor Imigrasi Depok," dan lihat catatan diskusi antara Kompasianer Almizan Ulfa dan Kompasianer Dr. Nugroho SBM MSi.
Pengalaman pahit penulis berhubungan dengan instansi pemerintah baru-baru ini juga terjadi di Kantor Camat Bojong Gede, Bogor dan Kantor BPN Kabupaten Bogor. Yang pertama berkaitan permohona resi E-KTP dan yang kedua berkaitan dengan permohonan Sertifikat Tanah. Untuk yang pertama silahkan klik Kompasiana "Jarang yang Meneladani Blusukan Jokowi," dan untuk yang kedua silahkan klik Kompasiana "Menyoal Proyek Abadi Sertifikat Tanah Prona."
Keempat, kedaulatan pangan. Janji kampanye kedaulatan pangan memang super tetapi tidak realistis dan dapat dikatakan sebagai janji kampanye yang populis. Satu dan lain hal karena iklim dan/atau keterbatasan lahan kita yang tidak begitu sesuai untuk produk pangan seperti kedelai, susu dan daging sapi.Â
Selain dari itu sekitar 70% penduduk Indonesia adalah orang miskin dan rawan miskin serta penerima Bansos dan Subsidi dari Pemerintah. Pembatasan impor apalagi dengan skim kuota impor untuk ketiga komoditas pertanian ini dan beras akan menyebabkan harga impor yang mahal sehingga menyengsarakan kelompok miskin dan rawan miskin dan mematikan banyak warung dan gerobak makanan serta terus berjangkitnya penyakit kronis mafia impor.Â
Menteri Keuangan Sri Muljani Indrawati, misalnya, menyatakan bahwa Beliau merasa ada "praktik yang tidak benar di Indonesia, terutama dalam rantai perdagangan." Buruknya rantai perdagangan itu menyebabkan beberapa pihak dapat mempermainkan harga... dan ini menurut Beliau adalah "kejahatan yang tinggi." Lebih lengkap silahkan klik Detikfinance "Sri Mulyani: Permainan Harga Pangan Adalah Kejahatan yang Tinggi," tayang 12 Juni 2017.Â
Beberapa tahun sebelumnya, ekonom Bambang Brodjonegoro (ketika itu masih menjabat sebagai Pimpinan Kementerian Keuangan) dan ekonom Rizal Ramli yang ketika itu, rasanya, masih sebagai pengamat Kebijakan Publik, secara tegas menyatakan bahwa rezim kuota impor adalah salah. Sebagai alternatifnya Beliau berdua ini mengusulkan hambatan tarif. Namun, usul kedua ekonom terkemuka ini ditolak. Lebih lengkap silahkan klik "Pengendalian Impor Beras ala Prof BJ Habibie".
Untuk komoditas pertanian beras, coba kita lihat kembali gaung keberhasilan swasembada beras di tahun 2016 yang tidak berumur panjang. Impor terpaksa dilakukan di tahun 2017 dan 2018 dengan mengorbankan konsumen untuk membayar harga beras yang mahal dalam waktu berbulan-bulan sebelum beras impor masuk. Bukan itu saja, pemerintah perlu menyuntikan modal dalam jumlah yang hampir 10 triliun rupiah ke Perum Bulog.. dan..cuitan masih bergentayangannya mafia beras riuh sekali.Â
Polemik impor beras ini sebetulnya sudah mencuat di tahun 2016, tahun swasembada beras itu. Polemik itu muncul kembali di tahun 2017 dan sangat gaduh di penghujung itu dan awal tahun 2018 ini. Googgling di internet dengan menggunakan kata kinci "Polemik Impor Beras," menghasilkan jawaban yang sangat banyak. Beberapa diantaranya Tirto.id "Polemik Impor Beras, antara Janji Jokowi dan Data yang Tak Akurat," Indonesia Times "Polemik Impor Beras 500 Ribu Ton, Komisi VI DPR Akan Panggil Kemendag," dan Merdeka.com "5 Kejanggalan saat pemerintah putuskan impor beras."
Sebetulnya saya pernah membaca gagasan super Presiden Jokowi untuk pengendalian impor beras. Prinsip dari gagasan ini adalah terlindungnya konsumen dari harga beras yang mahal, petani tidak dirugikan, pedagang beras dapat berkembang dengan baik, dan, diatas kesemua itu negara tidak perlu mengeluarkan uang dalam rangka stabilisasi harga beras itu. Saya coba googgling untuk mencari kembali, retriving, berita tersebut di internet tetapi belum berhasil.Â
Walaupun demikian, penulis ada menayangkan lima artikel di Kompasiana yang mengandung semangat pengendalian impor beras Presiden Jokowi tersebut. Salah satunya yang mendapat klik diatas 1.000 berjudul "Pengendalian Impor Beras ala Prof. B.J. Habibie dan beberapa Opsi Alternatif," tayang 29 Januari 2018.
Kelima, Pemangkasan 600 anak perusahaan BUMN. Gagasan Presiden Jokowi untuk memangkas 600 anak dan cicit perusahaan BUMN mendapat respons yang luas di media masa. Kompas.com, misalnya, menyajikannya dengan judul "Jokowi Akan Pangkas 600 "Anak", "Cucu", dan "Cicit" Perusahaan BUMN," tayang 27 Oktober 2017. Ini memang gagasan yang super sebab uang negara dalam hitungan ratusan triliun tersebut yang ditanamkan di anak cucu dan cicit BUMN itu lepas dari pengamatan BPK dan Publik.Â
Tidak ada ketentuan yang mewajibkan BUMN untuk melaporkan kegiatan dan/atau kinerja perusahaan tersebut ke BPK dan ke DPR. Tidak ada juga kewajiban bagi mereka untuk disclose laporan keuangan dan laporan tahunan. Lebih jauh lagi, selain perusahaan-perusahaan termaksud tidak memiliki core bisnis yang terkait langsung dengan BUMN induknya juga tidak begitu jelas apakah pendiriannya memang memiliki landasan yang baik atau hanya sarat dengan vested interests.
Sayangnya, gagasan super yang sudah dimunculkan sekitar tiga bulan yang lalu itu tidak terdengar lagi beritanya hingga saat ini. Apa akan menyusul yang lain?
Isu-isu BUMN secara lebih luas dan kritis misalnya dapat dirujuk ke, misalnya, Kyunghoon Kim, "Who is responsible for state-owned enterprises' debts?" Atau, ke Almizan Ulfa dan Hasan Zein Mahmud "Mengurai Benang-benang Kusut BUMN," yang masih tersedia di Bukalapak.com.
Akhirnya...... artikel rekam jejak janji kampanye dan/atau gagasan ini tidak bermaksud mendiskreditkan berbagai prestasi cemerlang Presiden Jokowi. Rekam jejak ini mungkin hanya setitik noktah hitam di Kabinet Kerja Jokowi. Namun, saya rasa ini penting juga karena menyangkut nasib jutaan penduduk miskin dan rawan miskin, konsumen Indonesia serta menelan puluhan triliun anggaran negara secara sia-sia. Penting untuk diperhatikan Timses 2019 Jokowi sendiri dan penting untuk dipertimbangkan sebagai sebagian masukan untuk Timses Capres yang lain.
Kita tentunya berharap munculnya janji kampanye Capres-Capres 2019 yang lebih super tetapi tidak ndower nantinya. Janji-janji kampanye yang hebat dan realistis. Beberapa Kompasianer sudah menayangkan gagasan topik kampanye Capres 2019. Misal Abdul Hadi, "Reklamasi dan Pilpres 2019". Lalu Moh Ashari Mardjoeki dengan "Pilpres 2019, SARA Masih Mengancam Kehidupan Demokrasi?" dan De Kalimana "[Kartu Kuning bagi Pemerintah] Ancaman Ledakan Penduduk".
Gemakan aspirasi untuk Pilpres 2019!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H