Beberapa waktu yang lalu artikel penulis berjudul "Pengendalian Impor Beras ala Prof. B.J.," mendapat sambutan yang meriah dari Kompasianer dan netizen. Angka kliknya sudah jauh 1.000 rasanya. Artikel terkait dari penulis yang berikutnya yang berjudul "Copot Kewenangan Penerbitan Izin Impor Beras Kementerian Perdagangan," masih cukup meriah baik ratingmaupun responsnya walaupun jumlah klik sudah menurun seiring dengan sudah berkurangnya isu perberasan nasional.Â
Walaupun demikian, penulis masih berminat untuk menayangkan kembali satu artikel lain lagi selain dari artikel ini yang keduanya (sebetulnya tiga) juga terkait dengan pengendalian impor beras yang dulunya pernah diadopsi Presiden B.J. Habibie.
Keinginan ini didorong oleh keyakinan bahwa isu perberasan nasional ini sebetulnya belum sembuh, ibaratnya penyakit. Kebrisikannya saja yang menurun dan ini ibaratnya virus yang lagi berhibernasi atau berdormansi, tertidur sementara, dan pasti akan bangun dan brisik kembali di masa mendatang. Tinggal waktunya saja yang belum dapat kita prediksi dari sekarang.Â
Dengan demikian, artikel ini akan dapat dijadikan sebagian dari rujukan jika isu perberasan dan/atau yang lebih umum lagi isu trade bercuit-cuitan kembali.
Fokus tulisan yang sekarang adalah kebijakan stok (cadangan) beras nasional. Persisnya, berapa volume dan dimana stok beras nasional itu idealnya disimpan. apakah sebaiknya disimpan sebagai Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di Bulog? Di pedagang mulai dari pedagang besar hingga ke pengecer, atau, di lumbung padi para petani, atau, kombinasi dari ketiga opsi tersebut?
Beberapa tulisan terkait stok beras nasional ini ditulis oleh Tri Listiyarini / Damiana Ningsih / HG , Â Wahyu Sudoyo, dan Hermanto. Â Menurut Hermanto, yang merupakan penulis dari Litbang Kementerian Pertanian, pemerintah diperintah oleh UU No 18/2012 untuk "mengelola" cadangan pangan pokok untuk mengantisipasi:Â
"(1) Kekurangan ketersediaan pangan;
 (2) Kelebihan ketersediaan pangan;
 (3) Gejolak harga pangan, dan atau (4) Keadaan darurat.
 Adapun cadangan pangan nasional dimaksud adalah terdiri dari:(1) Cadangan pangan Pemerintah; (2) Cadangan pangan Pemerintah Daerah, dan
(3) Cadangan pangan masyarakat."
Kelihatannya UU ini tidak mengatur secara eksplisit total volume dan porsi cadangan pangan, yang mencakup beras, kedelai, dan daging sapi, untuk masing-masing dari ketiga kelompok pengelola cadangan termaksud. Â Dengan demikian, dapatlah kita katakan bahwa ini merupakan UU yang kabur dan sebetulnya tidak mengatur apa-apa.
Selanjutnya, penulis Hermanto tersebut mencoba menjabarkan ketentuan UU tersebut dengan merujuk ke PP 17/2015. Disini dikatakannya bahwa  jenis pangan pokok tertentu yang akan dijadikan cadangan pangan Pemerintah ditetapkan oleh Presiden berdasarkan rekomendasi Kepala Lembaga yang melaksanakan tugas bidang ketahanan pangan.
Lagi-lagi tidak menambah jelasnya permasalahan volume dan siapa yang bertanggungjawab. Juga, siapa itu Kepala Lembaga yang dimaksud? Bulog? Kementerian Pertanian? Kementerian Koordinator Perekonomin? Atau, ketiga-tiga secara bersamaan.Â
Selanjutnya penulis Wahyu Sudoyo menyatakan secara tegas volume cadangan beras selama satu tahun. Namun, penulis ini tidak menyatakan secara eksplisit bahwa cadangan beras itu sebaiknya ada di Bulog. Dia hanya menyatakan bahwa volume cadangan beras Bulog itu sesuai dengan rekomendasi FAO (Food and Agricultural Organization). Dalam kata-katanya:
"Dengan dana sebesar itu, pemerintah berharap tahun depan (maksudnya adalah tahun 2014 mengingat artikel ini ditulis di tahun 2013) volume CBP di gudang Perum Bulog mencapai 1 juta ton atau sesuai angka minimal persediaan cadangan beras yang ditetapkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (Food Agriculture Organization/FAO)."
Kompasianer Anda yang sekarang, saya sendiri maksudnya, mencoba menulusuri angka dari FAO itu. Sayangnya, penelusuran baik secara umum melalui Mba Google dan langsung ke website FAO sendiri belum berhasil menemukan rujukannya.
Sedangkan Listiyarini et.al  merujuk ke analisis Husein Sawit yang merupakan Prof Riset (Emeritus, rasanya) Kementerian Pertanian. Disini dikatakan bahwa Cadangan Beras Pemerintah (CBP) harus disimpan dan dikelola oleh Bulog sejumlah 1,3 juta ton per tahun. Dikatakann juga bahwa CBP akan dikeluarkan untuk keperluan tiga hal: (i) ketika terjadi bencana alam seperti banjir atau gunung meletus; (ii) operasi pasar (OP) ketika harga beras bergejolak tinggi, dan (iii) untuk bantuan internasional. Dengan demikian, menurut Sawit, jumlah itu diluar dari stok beras Bulog yang digunakan untuk beras bersubsidi Raskin (beras untuk orang miskin) yang sekarang dinamakan Rastra. Perlu diingat artikel ini diterbitkan oleh Investor Daily pada tanggal 19 Oktober 2016.
Penulis tidak begitu resistent untuk butir (i) dan (iii) tetapi sangat untuk butir (iii). Hal ini mengingat operasi pasar Bulog tidak pernah berhasil menstabilkan harga beras dan hanya meludeskan uang negara secara sia-sia. Lihat kasus di Kendal ini yang merefleksikan masih tetap tingginya harga beras walaupun Bulog sudah berulang kali melakukan operasi pasar. Pliiis lihat juga kasus Jombang di bulan Desember 2017. Selanjutnya lihat juga beberapa kasus serupa di beberapa tahun ke belakang yang agak lama, misal, kasus OP Bulog di tahun 2006. Bukti kegagalan OP Bulog di tahun 2006 misal dapat dirujuk ke pernyataan Pangestu dan Apriantono yang dirilis oleh DetikFinance.com.
Lebih jauh lagi, adakah kita pernah mendengar berapa besar volume beras dalam kegiatan operasi pasar Bulog itu? Atau, adakah kita pernah mengakses informasi volume beras untuk operasi pasar itu dari sumber langsung Bulog? Misalnya, dari website Bulog.
Selanjutnya, coba kita lihat perkembangan Cadangan Beras di Indonesia. Menurut OkezoneFinance Cadangan Beras Nasional (CBN) posisi 21 Maret 2017 adalah sebesar 1,7 juta ton. Dari jumlah ini, 271.000 ton merupakan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang ada di Perum Bulog. Jumlah ini lebih tinggi dari posisi yang sama untuk tahun 2016 yang hanya 260.000 ton. Data itu dikutip media ini berdasarkan penjelasan Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti.
Selanjutnya, Republika melaporkan volume pembelian beras Bulog. Pada posisi 16 November 2017, dari target pembelian sebanyak 3,2 juta ton setara beras, Bulog baru berhasil membeli sejumlah 2,1 juta ton. Angka itu didapat Republika berdasarkan keterangan dari Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, Karyawan Gunarso, di Banyumas, pada tanggal 16 November 2017. Perlu diingat bahwa angka 2,1 juta ton itu termasuk beras subsidi untuk orang miskin yang sekarang dinamakan Rastra dan bukan Raskin lagi.
Untuk melihat prediksi CBB (Cadangan Beras Bulog) tahun 2018, coba kita lihat info dari TribunNews 17 Januari 2018. Disini dikatakan bahwa sudah ada alokasi APBN 2018 sebesar Rp 2,5 Triliun untuk pembelian CBP. Nilai anggaran tersebut kira-kira setara dengan 270 - 300 ribu ton CBP.
Saat ini ( 17 Januari 2018) pemerintah masih memiliki sisa stok CBP dari tahun  2017 sebesar 150 ribu ton. Dengan demikian, boleh kita simpulkan bahwa CBP di tahun 2018 berjumlah sekitar 450 ribu ton. Sebagai catatan, TribunNews, seperti halnya Republika diatas, menerima info ini berdasarkan keterangan lisan Direktur Operasi Pelayanan Publik Bulog, Karyawan Gunarso.
Sampai disini kita belum dapat menentukan seberapa besar Cadangan Beras Nasional (CBN) Indonesia sebaiknya. Kita dengan demikian belum juga memiliki kapasitas untuk menentukan distribusi ideal pemegang CBN itu. Untuk itu coba kita lihat distribusi tersebut berdasarkan hasil seminar FAO di India tahun 2016 seperti tersaji pada tabel dibawah ini.Â
Cadangan Beras Nasional Indonesia: Posisi 30 September 2015
Langkah yang cerdik diterapkan oleh Prof B.J. Habibie. CBB cukup untuk keperluan darurat saja seperti bencana alam. Jumlahnya hanya sekitar 200 - 350 ribu ton setahun. CB selebihnya, biarkan saja RT petani, pedagang, dan lain sebagainya itu yang menyimpannya.
Namun, klep penyelamat harus dijamin dapat bekerja secara sempurna. Klep tersebut adalah kran impor beras yang buka tutupnya diotomisasi dengan tarif bea masuk impor beras. Tarif dinaikan jika harga dalam negeri mulai merangkak naik dalam waktu satu dua minggu. Tarif diturunkan jika kondisinya berbalik; harga merayap turun dalam waktu satu dua minggu.
Prof Habibie tidak mau menggunakan angka produksi atau angka panen yang diterbitkan baik oleh Kementerian Pertanian maupun oleh Badan Pusat Statistik dalam kegiatan stabilisasi harga beras. Beliau menggunakan acuan pergerakan harga beras di Pasar Induk Cipinang.Â
Akurasi indikator pergerakan harga beras di Pasar Induk Cipinang untuk menetapkan perlu tidaknya impor beras mendapat dukungan dari banyak pihak, sebetulnya. Misal, beberapa penulis ini... sayang linknya broken... nanti diupdate ya... terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H