Malam ini rembulan bersembunyi di balik awan jingga. Aku mengulang serpihan-serpihan memori masa lalu, gusar meresapi setiap kemelut yang pada akhirnya kurang bermakna.
"Jangan kembali!"
Sentakan itu terasa jelas dalam satu bagian ingatanku. Jelas sejelas tetesan embun pada ilalang yang dingin menggores mata kaki waktu aku pulang tadi. Sengaja tak kukenakan kaos kaki seperti biasa karena kupikir serangan nyamuk dan sayatan angin malam bisa membantuku menyamarkan reaksi saat kau menegurku seperti dua malam lalu.
Aku mengulang serpihan-serpihan memori masa lalu. Perlu kau tahu, masa lalu itu adalah malam tadi dan dua malam lampau.
"Kau tak harus memasuki pintu ini. Bahkan kau tak boleh memaksaku membuka kuncinya. Aku pun telah berjanji untuk menutupnya darimu."
"Terimakasih. Terimakasih telah mengantarku kembali."
Sayang, dia tak mendengar terimakasihku. Belum sempat aku mencerna kata-kata yang dia lontarkan saat kami sampai di gerbang rumah, dia sudah melesat pergi. Tak ada yang mendengar jawabanku. Pun tak ada yang menjawab saat kutanya apa arti pintu yang dia katakan padaku. Satu hal yang mungkin kutahu, aku tak akan pergi jauh.
Tepat dua malam setelah perbincangan satu arah tentang pintu, kami bertemu. Keadaan telah membuat kami berada pada ruang dan waktu yang sama. Kupikir  tak kan ada salam, karenanya aku hanya merunduk tajam. Sekilas kemudian, sekejut cemeti melayap ke pundak, dia di depanku. Kami duduk berhadapan.Â
Ada suatu rasa bercampur baur bak variabel-variabel gila tak berhingga. Ada keingintahuan panjang atas segala pernak-pernik dan halaman utama pada saraf-saraf di dalam batok kepalanya. Pula ada resah tak wajar yang menghantuiku di pagi buta hingga aku tak berani memejamkan mata dalam puncak kepekatan malam.
Ada rasa. Ada resah. Dia masih di hadapanku.
"Sampai kapanpun kau tunggu, bagaimanapun kau memaksa, pintu ini tak akan pernah terbuka. Andai kau mampu membuatku membukanya, akan ada tembok setinggi cemara yang menghalangi kita. Pulanglah. Atau kau hanya akan mendapat lelah."
Ada resah. Ada rasa. Aku sibuk mengusir nyamuk yang bernafsu pada jari-jari kakiku yang telanjang. Cukup membuatku tak perlu meliriknya atau pandanganku akan hilang dari nyamuk kecil yang mengincar sudut lain kakiku.Â
Aku menghela nafas kepasrahan. Harusnya aku memanfaatkan detik demi detik bersamamu, setidaknya hingga kau berpikir aku juga memegang mutiara. Nyatanya, lebah pun sadar bahwa nyamuk-nyamuk itu beterbangan dalam ruang halusinasiku.
Aku bertanya pada batinku, haruskah aku pergi? Aku ingin di sini, mencari celah untuk sekadar mengintip atau menghirup udara dari dalam sana. Aku ingin di sini, tapi aku tahu tembok itu terlalu tinggi.
Kuikuti langkahnya melalui ekor mataku saat ia pergi. Terpikir olehku kemungkinan menerobos di lain waktu namun yang kutemui hanya irisan kosong. Tak ada harap di dalam tanya. Aku tahu kisah ini berakhir tanpa makna walau cinta tetap meresak tak pernah hilang.
Aku pergi.
Tak mungkin kembali
"Cinta Dua Rembulan". 16 Desember 2014, saat malam membelah langit
For the best experience, I suggest you to listen "Night Divides the Day" by George Winston while you are reading...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H