"Masih lama tah ini?" tanyaku was-was. Langit semakin gelap karena senja, juga karena mendung.
"Endak," jawab adikku yang entah bisa dipercaya atau tidak.
Benar saja, kami hanya berjalan menyusuri jalan setapak, menembus semak-semak, melipir pinggiran kali. Sesekali kami harus melepas sepatu dan menyingsing celana tinggi-tinggi karena harus menyeberangi sungai yang belum berjembatan.Â
Karena ini jalan satu-satunya, kupikir sungainya dangkal saja. Ternyata selutut, hingga lama-lama lebih dari selutut. Wow. Lepas dari menyeberangi sungai, kami melompati batu-batuan bagai kancil yang melompati punggung buaya. Sejenak aku tertinggal, sejurus kemudian mampu menyusul kembali. 'Emang dasar nih bocah-bocah. Ada perempuan sendiri ditinggal di belakang. Nggak tahu apa, sudah hampir ketinggalan.'
Sejenak kami bimbang antara melanjutkan perjalanan atau tidak. Air terjun sudah dekat. Hujan mengguyur sangat sangat deras. Pohon-pohon besar tak lagi mampu menahankan air hujan untuk krucil-krucil ini.
"Lanjut aja dah. Eman (sayang) sudah sampai sini."Â keputusan pun dibuat.
"Iya eman. Tapi sebentar aja, deras, nanti banjir."
"Iyadah, yang penting foto dulu tu. Pokok keliatan air terjunnya, foto, pulang pas." pinta adikku dengan dialek Situbondo yang khas.