Siang ini panas membakar kulit. Anak bujang kecilku badannya agak panas juga. Mungkin kelelahan karena kemarin ikut aku dan keluarga bersih-bersih belakang rumah. Untung segera kujejalkan ASI, air putih, dan buah yang mengandung banyak air. Sambil akupun menempelkan stiker kompres penurun panas.Â
Setelah zuhur, aku bergegas menyandang ransel kecil dan menyelempangkan tas dompet setelah bujang kecilku settled duduk di gendongannya. Dengan cepar kusambar tas kecil berisi minuman, dan pernak-pernik si bujang.Â
Sederhananya begini, aku menggendong anakku di depan-ala Kangguru, kemudian menggendong ransel di punggung. Ditambah tas dompet kuselempangkan di depan dada. Lalu, ada tas perintilan tadi. Semacam kantong ajaib yang menyediakan kebutuhan si kecil agar mudah diambil saat dalam perjalanan.Â
Ya, hari ini kami mendadak turun gunung. Dari Muara Enim menuju Palembang dengan moda transportasi umum, yaitu DAMRI.Â
Sejauh ini, selain kereta api, aku suka menggunakan jasa BRT DAMRI ini. Busnya besar, full-AC, harganya ga garang. Hehehehehe...Â
Biasanya ada alunan musik sayup-sayup menemani. Yang begitu itu membuat suasana nyaman. Sayangnya siang ini agak apes. Alat pemutar musiknya rusak, begitu kata Pak Kondektur.Â
Untungnya kemudian rinai hujan menemani ketika kami berada di Gunung Megang tadi. Jadi pengen nyanyi kan yaaah. Hahaha... Tapi hujannya cuma hujan lokal ternyata. Lewat daerah itu, jalanan kering dan chaya matahari lantang menyinari.Â
Bujang kecilku sudah lelap tertidur. Selain sudah kenyang nampaknya efek dingin di dalam bus ikut meninabobokannya. Aku pun ikut terlena. Mataku mulai berat mengajak beristirahat sejenak.Â
Baru saja kuhendak memejamkan mata, ada suara keras dari arah belakang. Dari gayanya bicara, ku tahu bahwa ia tengah berbincang dengan sesorang di seberang sana. Dia menelpon seseorang. Suaranya masyaallah.Â
Pertama, kumaklum. Biasanya karena suara di jalan yang bising memaksa kita untum bicara setengah teriak. Tapi kutunggu dan kutunggu, teleponnya tak kunjung usai. Dia mengobrol dengan seorang perempuan nampaknya. Karena kudengar ada kalimat-kalimat menggoda sedikit.Â
Ups! Bukan aku menguping tentu saja. Kurasa hampir seisi bus bisa mendengar obrolannya dengan si adik yang putih di ujung telepon sana. Bukan pula kami tak menegur. Sempat hampir seluruh pasang mata mengarah padanya.Â
Aku dan ayuk teman sebangkuku serempak menoleh ke belakang. Pun Pak Kondektur yang sedari tadi sudah geleng-geleng saja. Duh, bunuh diri dia!Â
Kutakut bujang kecilku bangun. Untunglah ia pengertian dan tetap dalam lelapnya. Lelaki yang tengah menelepon tadi ternyata duduk tepat di belakang kami. Adududuuuh...Â
Aku merasa tak nyaman. Selain karena suaranya terlalu keras dan mengganggu, isi obrolannya terlalu privat dan bagiku tak seharusnya didengar oleh khalayak umum.Â
Bayangkan sedari lewat daerah Gunung Megang tadi hingga saat ini, ia masih asyik berbincang keras. Posisi saat ini sudah di Rambang Dangku. Sudah lewat 1 jam!
Aiiih...Â
Obrolannya makin berantakan menurutku. Aku tak nyaman mendengarnya. Saat beberapa pasang mata mengarah padanya tadi pun, ia menanggapi dengan santaj saja. Bukannya cepat mengecilkan volume suaranya, malah seolah menyindir yang melihatnya itu sambil terus mengobr dengan dia di seberang sana.Â
Adududuuh...Â
Semoga tak banyak orang yang cuek begini ya. Sayang sekali kenyamanan menggunakan transportasi umum jadi terganggu oleh oknum seperti ini.
Ayolah ciptakan kenyamanan dalam kendaraan umum dimulai dari diri sendiri. Jangan tiru oknum tadi ya. Ini kugeregetan tapi tak bisa berbuat lainnya lagi selain menuliskan uneg-uneg di sini. Sekalian jadi pengingat kita semua yaaa...Â
Ps. Orang itu masih asyik mengobrol sampai tulisan ini diterbitkan. Hiks.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H