Venna kemudian melangkahkan kakinya ke jembatan itu. Berjalan pelan dan melihat sekeliling. Sesekali berbalik dan tersenyum ke arahku. Sementara aku tak melangkahlan kaki sedikitpun dari tempatku berpijak. Hujan deras seketika turun saat Venna masih menyusuri jembatan.Â
Aku memberitahunya untuk kembali namun Ia tak bergeming. Berulang kali kupanggil namanya namun Ia seolah tak mendengarku. Akhirnya kucoba menginjakkan kaki ke jembatan itu, dan sedetik kemudian kepalaku terasa sangat sakit hingga aku tak merasakan apapun lagi.
Aku menemukan diriku terbaring di ruang perawatan dengan luka di kepala yang masih basah. Seorang perawat masuk dan memberitahuku bahwa aku baru saja melewati masa kritis selama dua jam, dan aku telah dipindahkan ke ruang umum setelah kondisiku membaik. Kejadian itu terasa sangat nyata, bayangan Venna begitu membekas di pikiranku.Â
Sekarang aku menyadari bahwa aku terluka cukup parah karena kecelakaan itu. Saat berada di batas antara hidup dan mati, aku bertemu Venna yang berusaha mengucapkan selamat tinggal padaku ataukah ingin membawaku pergi bersamanya.
Ia telah meninggal dua minggu lalu karena serangan jantung, tepat sehari sebelum pergi ke Amerika. Ia tak pernah kesana, tak sempat mengukir momen terakhirnya bersamaku, ataupun mengucapkan selamat tinggal.
Keraguanku untuk tidak menyeberang jembatan itu adalah pilihanku untuk tetap hidup, untuk tetap berada disini dan memilih membiarkannya pergi sendiri, karena sudah seperti itulah jalannya.
Takdir memang memisahkan kami, tapi tidak dengan hati kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H