Bullying tidak dapat dihindarkan dari kehidupan anak-anak kita saat ini. Berbagai kejadian bullying banyak terjadi di berbagai tempat. Beberapa kasus bullying bahkan menjadi viral, salah satunya adalah kasus bullying yang terjadi di Thamrin pada bulan Juni lalu. Seorang siswa Sekolah Dasar menjadi korban bulan-bulanan beberapa siswa SMP. Parahnya teman-temannya tidak lantas menolong anak yang dibully melainkan mengeluarkan ponsel mereka dan merekam kejadian itu seraya bersorak-sorai (Qodar, 2017).
Kasus tersebut hanya salah satu contoh kasus bullying yang terekspos oleh media massa. Namun sebenarnya selain peristiwa tersebut, banyak kejadian bullying yang tidak terekspos oleh media massa. Â KPAI menyebutkan pihiaknya menerima 26 ribu laporan mengenai kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2011 sampai 2017 ("KPAI," 2015).
Sudahkah Anda tahu apa Itu bullying?
Bullying adalah perilaku yang memiliki tujuan negatif terhadap orang lain dan berusaha mencelakai baik secara fisik, verbal, maupun sosial. Bullying berbeda dengan perkelahian, dalam bullying terdapat unsur mencelakai, pengulangan, dan ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dengan korban bully (Oh & Hazler, 2009). Bullying biasanya terjadi di lingkungan yang permisif seperti sekolah (Padgett dan Notar, 2013).
Bullying di lingkungan sekolah dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: bullying fisikseperti menampar, mendorong, menendang, atau meludahi; bullying verbal seperti penyerangan lisan secara terbuka seperti menghina, mengancam, atau mengolok dan memanggil dengan maksud melukai; pengasingan sosial seperti merusak hubungan antara korban dengan teman-temannya dengan beragai macam cara seperti menyebarkan rumor, tidak mempedulikan kehadiran korban, mengancam orang lain agar tidak berteman dengan korban, mengancam korban, atau memberikan tatapan yang mengintimidasi terhadap korban; dan pemerasan seperti meminta uang atau barang milik korban (Smith & Ananiadou, 2003 dalam Tsang, Hui, & Law, 2011).
Dalam lingkaran bullying terdapat posisi-posisi dengan perannya masing-masing, yaitu: Â pelaku, korban, dan saksi/pengamat (Padgett dan Notar, 2013). Pelaku adalah orang yang memiliki kekuatan atas orang lain dan menggunakan kekuatan tersebut untuk mengintimidasi atau melakukan tindakan penyerangan terhadap orang lain. Korban adalah orang yang menjadi sasaran bulan-bulanan pelaku. Sedangkan saksi merupakan orang yang ada pada kejadian namun tidak terlibat, dan dapat berperan sebagai asisten yang ikut melakukan bullying terhadap korban, pendorong, menyemangati dan menertawakan untuk mendukung tindakan bullying, atau orang lain yang tidak sengaja melihat, juga mereka yang membantu atau menolong korban (Huang et al., 2016).
Peran sebagai saksi mungkin kurang begitu diperhatikan dibandingkan dengan korban dan pelaku, namun melihat peristiwa bullying yang tidak dapat dihindarkan dari kehidupan sehari-hari di sekolah, jumlah anak yang menjadi saksi kejadian bullying lebih banyak daripada mereka yang menjadi pelaku atau korban (Rivers, Poteat, Noret, & Ashurst, 2009). Dengan begitu ada lebih banyak kemungkinan anak Anda menjadi saksi kejadian bullying.
Anak-anak yang menjadi saksi bullying memiliki ancaman resiko yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang menjadi pelaku dan korban (Rivers et al., 2009). Anak-anak yang menjadi saksi kejadian bullying memiliki ancaman gangguan mental seperti somatisasi, obsesif kompulsif, sensitivitas interpersonal, depresi, kecemasan, hostility, fobia kecemasan, paranoid, psikotik, dan penggunaan obat-obatan. apalagi jika anak-anak yang menjadi saksi bullying tidak mengambil tindakan untuk menoong maka akan muncul perasaan bersalah karean ketidakberdayaannnya (Rivers et al., 2009). Anak-anak tersebut juga memiliki potensi untuk menjadi pelaku kejahatan, kekerasan, dan perilaku anti-sosial saat masa dewasanya, sama seperti dengan mereka yang berperan sebagai pelaku dan korban bullying (Bender & Lsel, 2011).
Dari segi lingkaran bullying, anak-anak yang menjadi saksi kejadian bullying memiliki potensi untuk menjadi korban atau pelaku di masa depan (Rivers et al., 2009). Selain itu tindakan yang diambil oleh saksi dalam bullying akan mempengaruhi peran korban dan tersangka yang berada dalam lingkaran bullying. Jika pengamat memutuskan untuk bertindak, maka hal ini dapat memberikan dukungan bagi korban dan menghambat peningkatan perilaku agresif dari pelaku (Beran et al, 2004).
Sementara itu, terdapat beberapa faktor yang menentukan keputusan seorang saksi bullying untuk menolong korbannya atau tidak (Thornberg dkk., 2012). Faktor-faktor ini yaitu:
- Intepretasi dari bahaya dalam situasi bullying: Saksi akan mengintepretasi bullying sebagai situasi yang berbahaya atau tidak. Apabila saksi memandang bullyingsebagai sesuatu yang tidak membahayakan korban, maka ia tidak akan bertindak. Namun ketika anak sudah sering melihat tindak bullying maka hal ini dapat dianggap sebagai fenomena sosial yang biasa terjadi.
- Reaksi emosi: Reaksi emosional seperti empati, ketakutan untuk menjadi korban, dan respon penonton akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan saksi terhadap peristiwa bullying. Empati berkaitan dengan perasaan bersalah karena tidak menolong korban, kemudian ada juga ketakutan jika nanti dirinya menolong maka dia yang akan menjadi korban, dan juga respon penonton yang tidak menolong tetapi malah memberikan semangat.
- Evaluasi sosial: Relasi dan posisi sosial (pertemanan, strata sosial, dan perbedaan gender) menjadi penentu tindakan yang akan diambil ketika saksi menyaksikan tindak bullying.
- Evaluasi moral: Evaluasi moral merujuk kepada penilaian atau evaluasi apakah perundungan merupakan sesuatu yang benar atau salah, termasuk didalamnya evaluasi dan penugasan tanggungjawab.
- Intervensiself-efficacy:Intervensi self-efficacymerujuk kepada situasi dimana saksi memilih untuk memberikan pertolongan atau tidak dengan memandang kemampuan yang dimilikinya sendiri.
Selain faktor-faktor diatas , terdapat faktor sosio-emosional yang dinilai memiliki nilai-nilai yang akan melindungi anak dari bahaya sebagai saksi bullying di masa depan, seperti self-efficacy dan moral sensitivity. Faktor-faktor ini akan membantu individu mampu untuk menjadi penengah ketika menyaksikan kejadian perundungan (Thornberg & Jungert, 2013 dalam Olenik-Shemesh et al., 2015). Selanjutnya dukungan sosial dari keluarga, teman-teman, dan orang-orang penting di sekitar anak lainnya memiliki peran yang penting sebagai faktor protektif terkait dengan perundungan (Saylor & Leach, 2009 dalam Olenik-Shemesh et al., 2015).
Lantas bagaimana cara melindungi anak-anak kita dari bahaya menjadi saksi bullying?
Salah satu SD di kota Yogyakarta, yaitu SD Islam Terpadu Nurul Islam pernah melakukan pelatihan bertajuk "Pelatihan Peduli Sahabat" yang disusun oleh Fachrosi (2015) untuk anak-anak kelas V di sekolah tersebut. Pelatihan ini membentuk sistem bagi yang membantu melindungi anak-anak dari bahaya bullying yang berkelanjutan.
Program ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari bahaya akibat paparan bullying di lingkungan sekolahnya dengan mengajarkan cara-cara untuk mengontrol emosi ketika anak menjadi saksi dalam lingkaran bullying, selain itu juga anak-anak diajak untuk meningkatkan rasa tanggung jawab seperti menghentikan tindak bullying, melaporkan, atau mencari bantuan dan empati pada teman-temannya dalam satu lingkungan sekolah. Pelatihan ini memungkinkan anak-anak yang menjadi saksi tidak hanya melihat saja ketika terjadi bullying di depan matanya tetapi juga mengambil tindakan menolong korban. Disamping  itu juga melindungi anak-anak kita dari resiko yang mungkin di hadapinya di masa depan akibat terpapar adegan bullying.
Pelatihan dikemas dalam 2 sesi pertemuan masing-masing selama 100 menit. Pelatihan dapat dilakukan di aula sekolah dengan mengumpulkan semua murid dalam satu ruang atau di kelas-kelas. Peserta pelatihan adalah siswa-siswi dalam satu sekolah termasuk mereka yang pernah menjadi pelaku, korban, menjadi saksi, juga mereka yang belum terlibat dalam lingkaran bullying. Pelatihan dapat dilakukan dengan metode:
- Ceramah Pelatih menyampaikan materi pelatihan melalui presentasi oral yang menjelaskan mengenai definisi bullying, contoh-contoh bullying, jenis-jenis bullying dan pihak-pihak yang terkait dalam bullying serta menjelaskan peran penting saksi dalam menghentikan perundungan serta mengajarkan cara pelaporan bullying. Tujuan dari pemberian materi ini adalah memberikan pengetahuan pada peserta.
- DiskusiPeserta dikelompokkan dalam kelompok-kelompok dan melakukan diskusi terkait topik. Tujuan dari metode ini agar peserta dapat mengaplikasikan pemahaman mengenai materi dan dapat saling berbagai pengetahuan serta pengalaman yang kemudian menarik sebuah kesimpulan.
- Role playPeserta diminta memperagakan contoh-contoh kasus bullying serta cara pelaporan bullying. Tujuan dari metode ini adalah untuk memberikan pengalaman pada peserta untuk merasakan proses emosi yang dialami orang-orang yang terlibat dalam bullying serta mengplikasikan teknik-teknik pelaporan.
- GamesGames diberikan pada peserta sebagai media simulasi untuk memberikan pengalaman pada peserta serta membantunya memahami materi dalam setting yang berbeda.
Setelah pelatihan kemudian dilakukan evaluasi dengan  melakukan wawancara untuk melakukan membandingkan bagaimana kondisi-kondisi yang terjadi sebelum dan sesudah pelatihan.
Pelatihan ini menunjukkan hasil yang baik dengan kondisi anak-anak setelah pelatihan yang lebih mampu bertanggung jawab, peduli, dan berempati pada teman-temannya. Mereka mau menolong teman-temannya yang mengalami kesusahan. Melihat hasil yang positif ini, program pelatihan ini sangat baik untuk diadaptasi di sekolah-sekolah lain untuk melindungi anak-anak kita dari bahaya bullying.
Namun sebaiknya pelatihan ini tidak dilakukan sendiri saja, harus ada kerjasama dari pihak-pihak  seperti pemerintah daerah atau dinas pendidikan untuk memberikan pengarahan langsung pada pihak-pihak di sekitar anak seperti sekolah dan orangtua untuk mewujudkannya. Saran ini diberikan karena pertimbangan selain memberikan perlindungan psikologis pada diri anak, diperlukan support system dan sumber daya yang mendukung hal tersebut (Bloom, 1996).
Setelah pelatihan diberikan pada anak, pihak sekolah sebaiknya pelatihan atau pengarahan terpisah seperti seminar untuk memfasilitasi tindak pencegahan bullying di sekolah dengan memberikan informasi mengenai tindak-tindak bullying yang mungkin terjadi di sekolah. Pengarahan ini diberikan dengan harapan pihak sekolah juga terlibat seperti memberdayakan guru-guru untuk menyediakan tempat pengaduan bullying, pemberian perhatian pada muridnya, memasukkan pengajaran ini di kelas-kelas, memasang poster bullying, dan sebagainya. Tidak hanya pada pihak sekolah, pengarahan ini juga sebaiknya diberikan pada orangtua murid untuk memberikan informasi mengenai kejadian-kejadian yang mungkin membahayakan bagi anak-anaknya di sekolah, sehingga orangtua pun dapat mengambil peran untuk mendukung dan memberikan nasihat bagi anak-anaknya.
Metode pelatihan ini merupakan salah satu bentuk pelatihan yang dapat Anda  gunakan atau jadikan contoh selaku orangtua dari anak-anak atau guru-guru yang memiliki keprihatinan akan maraknya tindak bullying di masa kini. Anda bisa masukkan program ini ke dalam materi sekolah atau dalam memberikan nasihat untuk anak-anak Anda. Dengan begitu generasi muda kita akan terlindungi dari resiko selama pertumbuhannya hingga beranjak dewasa. Tentu saja hal ini merupakan hal yang diinginkan semua orang. Oleh karena itu:
Mari kita lindungi generasi muda kita sejak dini dengan menghindarkan mereka dari bahaya bullying.
Referensi:
Bender, D., & Lsel, F. (2011). Bullying at school as a predictor of delinquency, violence and other anti-social behaviour in adulthood. Criminal Behaviourand Mental Health, 21(2), 99--106. https://doi.org/10.1002/cbm.799
Bloom, Martin. 1996. Primary Prevention Practices: Issues in Children's and Families' Lives, Volume 5. United States of America: SAGE Publications.
Beran, T.N., Tutty, L., & Steinrath, G. (2004). An evaluation of a bullying prevention program for elementary schools. Canadian Journal of School Psychology, 19, 99-116.
Fachrosi, Erlyani (2015). Kasus Kelompok Di Sekolah Dasar Islam Terpadu Nurul Islam Yogyakarta. (Naskah tidak dipublikasikan). Universitas Gadjah Mada.
Huang, Z., Liu, Z., Liu, X., Lv, L., Zhang, Y., Ou, L., & Li, L. (2016). Risk Factors Associated with Peer Victimization and Bystander Behaviors among Adolescent Students. International Journal of Environmental Research andPublic Health, 13(8), 759. https://doi.org/10.3390/ijerph13080759
KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat. (2015, June 14). Retrieved October 7, 2017, from http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/
Oh, I., & Hazler, R. J. (2009). Contributions of Personal and Situational Factors to Bystanders' Reactions to School Bullying. School Psychology International, 30(3), 291--310. https://doi.org/10.1177/0143034309106499
Olenik-Shemesh, D., Heiman, T., & Eden, S. (2017). Bystanders' Behavior in Cyberbullying Episodes: Active and Passive Patterns in the Context of Personal--Socio-Emotional Factors. Journal of Interpersonal Violence, 32(1), 23--48.
Thornberg, R., et al. (2012). Bystander Motivation in Bullying Incidents: To Intervene or Not to Intervene? Western Journal of Emergency Medicine. Vol. 8(3).
Padgett, S., & Notar, C. E. (2013). Bystanders Are the Key to Stopping Bullying. Universal Journal of Educational Research, 1(2), 33--41.
Qodar, N. (2017, July 17). Polisi Periksa Sejumlah Saksi Kasus Bullying Siswi SMP di Jakpus. Liputan6.Com. Retrieved from http://news.liputan6.com/ read/3025489/polisi-periksa-sejumlah-saksi-kasus-bullying-siswi-smp-di-jakpus
Rivers, I., Poteat, V. P., Noret, N., & Ashurst, N. (2009). Observing bullying at school: The mental health implications of witness status. School PsychologyQuarterly, 24(4), 211--223. https://doi.org/10.1037/a0018164
Tsang, S. K. M., Hui, E. K. P., & Law, B. C. M. (2011). Bystander Position Taking in School Bullying: The Role of Positive Identity, Self-Efficacy, and Self-Determination. The Scientific World JOURNAL, 11, 2278--2286. https://doi.org/10.1100/2011/531474
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI