Abstrak
Ekosistem mangrove Indonesia, yang mencakup 23% dari total luas mangrove global, menghadapi ancaman serius akibat konversi lahan, urbanisasi, dan penebangan liar. Kerusakan mangrove membawa dampak ekologis dan ekonomis, seperti meningkatnya risiko bencana pesisir, terganggunya habitat biota laut, dan penurunan hasil tangkapan ikan. Ilmu lingkungan memainkan peran strategis dalam manajemen restorasi mangrove melalui pendekatan multidimensional yang mengintegrasikan analisis biofisik, teknologi, sosial-ekonomi, dan kebijakan. Teknologi geospasial dan pendekatan berbasis komunitas terbukti efektif dalam restorasi mangrove di beberapa daerah. Namun, tantangan seperti keterbatasan pendanaan dan koordinasi lintas sektor masih menjadi hambatan utama. Oleh karena itu, pendekatan berbasis ilmu lingkungan yang komprehensif diperlukan untuk memastikan keberhasilan restorasi mangrove yang berkelanjutan, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan yang adaptif dan berbasis data ilmiah.
Kata Kunci: Mangrove, Restorasi Ekosistem, Ilmu Lingkungan, Teknologi Geospasial, Pendekatan Partisipatif, Perubahan Iklim, Indonesia.
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia, mencakup sekitar 3,36 juta hektar, atau sekitar 23% dari total luas mangrove global, berdasarkan data Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Mangrove di Indonesia memiliki fungsi ekologis dan ekonomis yang sangat penting. Ekosistem ini tidak hanya berperan sebagai benteng alami terhadap abrasi dan tsunami, tetapi juga sebagai salah satu penyerap karbon terbesar di dunia, dengan kapasitas menyimpan hingga 950 ton karbon per hektar. Namun, keberadaan ekosistem ini menghadapi ancaman serius. Laporan World Resources Institute (WRI) tahun 2023 menyebutkan bahwa Indonesia telah kehilangan sekitar 637.000 hektar mangrove dalam beberapa dekade terakhir akibat konversi lahan untuk tambak, urbanisasi, serta penebangan liar. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada jutaan penduduk pesisir yang bergantung pada mangrove untuk kehidupan mereka.
Kerusakan mangrove membawa dampak signifikan. Ketika mangrove hilang, risiko bencana seperti banjir rob, intrusi air laut, dan kerusakan ekosistem pesisir meningkat secara signifikan. Selain itu, degradasi mangrove menyebabkan terganggunya habitat berbagai spesies ikan, burung, dan biota laut lainnya, yang berimbas pada penurunan hasil tangkapan nelayan. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa sekitar 60% hasil tangkapan ikan di Indonesia bergantung pada keberadaan mangrove sebagai tempat pemijahan. Selain itu, mangrove yang rusak mengurangi kemampuan penyimpanan karbon, yang berdampak pada meningkatnya emisi karbon secara global, sehingga mempercepat perubahan iklim. Laporan IPCC tahun 2022 menegaskan bahwa konservasi dan restorasi mangrove merupakan salah satu solusi berbasis alam yang paling efektif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Di Indonesia, upaya restorasi mangrove telah dimulai, namun masih jauh dari optimal. Pemerintah melalui BRGM menargetkan rehabilitasi 600.000 hektar mangrove hingga 2024. Namun, hingga tahun 2023, capaian restorasi baru mencapai 150.000 hektar. Salah satu kendala utama adalah minimnya keterlibatan masyarakat lokal dan lemahnya koordinasi lintas sektor. Restorasi berbasis komunitas yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama, meskipun telah diakui sebagai pendekatan efektif, belum diterapkan secara luas. Selain itu, pendanaan untuk program restorasi masih sangat terbatas. Bank Dunia memperkirakan bahwa untuk merehabilitasi seluruh ekosistem mangrove yang rusak di Indonesia, dibutuhkan anggaran lebih dari USD 1,2 miliar, yang belum sepenuhnya tersedia.
Ilmu lingkungan memiliki peran strategis dalam menjawab tantangan ini. Pendekatan multidimensional yang ditawarkan oleh ilmu lingkungan mampu mengintegrasikan analisis biofisik dan sosial-ekonomi, sehingga dapat memberikan solusi komprehensif. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi penyebab utama kerusakan mangrove, perencanaan restorasi yang berbasis data, dan pengelolaan yang adaptif terhadap perubahan lingkungan. Sebagai contoh, penelitian Universitas Gadjah Mada tahun 2022 menemukan bahwa penggunaan teknologi geospasial untuk memetakan kondisi mangrove mampu meningkatkan efektivitas restorasi hingga 40%. Selain itu, ilmu lingkungan juga berperan dalam mendorong keterlibatan masyarakat lokal melalui pendekatan partisipatif, sehingga restorasi mangrove tidak hanya menjadi upaya pelestarian, tetapi juga pemberdayaan.
Urgensi untuk mengintegrasikan ilmu lingkungan dalam manajemen restorasi mangrove di Indonesia semakin besar. Dengan meningkatnya dampak perubahan iklim dan kerentanan wilayah pesisir, langkah strategis dan terencana diperlukan untuk memastikan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan dipulihkan. Melalui pendekatan yang berbasis ilmu pengetahuan, diharapkan upaya ini tidak hanya berkontribusi pada kelestarian lingkungan, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidup mereka pada ekosistem pesisir ini.
PEMBAHASAN
Ekosistem mangrove merupakan salah satu komponen penting dari lingkungan pesisir yang menyediakan berbagai layanan ekosistem, seperti penahan gelombang, penyerap karbon, tempat pemijahan biota laut, dan penyaring limbah. Dalam konteks manajemen restorasi ekosistem mangrove di Indonesia, ilmu lingkungan berperan strategis dalam mengintegrasikan berbagai aspek biofisik, sosial-ekonomi, dan kebijakan.
Kajian teori yang relevan dengan restorasi ekosistem mangrove mencakup konsep ekologi restorasi, pengelolaan berbasis ekosistem, dan pendekatan partisipatif dalam manajemen lingkungan. Ecological Restoration (Bradshaw, 1987) menjelaskan bahwa keberhasilan restorasi bergantung pada kemampuan mengembalikan fungsi ekosistem yang terganggu melalui analisis ilmiah yang terencana. Dalam konteks mangrove di Indonesia, ilmu lingkungan memungkinkan analisis mendalam terhadap penyebab degradasi, potensi restorasi, dan pengembangan model berbasis masyarakat yang adaptif terhadap kondisi lokal.
Kerusakan mangrove di Indonesia, yang mencapai 637.000 hektar (World Resources Institute, 2023), memerlukan pendekatan manajemen yang holistik. Salah satu penyebab utama kerusakan mangrove adalah konversi lahan menjadi tambak, yang menyumbang sekitar 70% dari total kerusakan (KKP, 2023). Selain itu, urbanisasi di wilayah pesisir, seperti yang terjadi di kawasan Teluk Jakarta, telah menyebabkan hilangnya sekitar 30% area mangrove dalam 20 tahun terakhir (Jakarta Environmental Agency, 2022). Degradasi ini mengganggu fungsi ekosistem mangrove, termasuk pengurangan stok karbon hingga 1,5 miliar ton CO2e (FAO, 2022). Oleh karena itu, solusi berbasis ilmu lingkungan menjadi krusial untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem.
Pendekatan Biofisik dan Teknologi
Restorasi ekosistem mangrove membutuhkan pendekatan berbasis ilmu lingkungan yang menggabungkan analisis biofisik, teknologi, dan sosial-ekonomi. Dalam aspek biofisik, penggunaan teknologi geospasial menjadi alat yang efektif untuk memetakan kondisi ekosistem mangrove. Penelitian Universitas Gadjah Mada (2022) menemukan bahwa pemanfaatan teknologi drone dan citra satelit mampu mengidentifikasi wilayah yang prioritas direhabilitasi dengan akurasi hingga 85%. Teknologi ini membantu dalam menentukan lokasi penanaman kembali mangrove dengan spesies yang sesuai, seperti Rhizophora mucronata untuk wilayah pesisir berlumpur dan Avicennia marina untuk daerah yang lebih berpasir.
Pendekatan Sosial-Ekonomi
Dari perspektif sosial-ekonomi, restorasi mangrove tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan masyarakat lokal. Kajian teori dari Participatory Environmental Management (Pretty, 1995) menekankan bahwa keberhasilan proyek lingkungan bergantung pada partisipasi aktif masyarakat. Di Indonesia, model restorasi berbasis komunitas yang melibatkan kelompok nelayan telah berhasil diimplementasikan di Brebes, Jawa Tengah. Proyek ini, yang didanai oleh Asian Development Bank (ADB), berhasil merehabilitasi 200 hektar mangrove dalam tiga tahun dengan melibatkan masyarakat dalam pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan. Selain memulihkan ekosistem, program ini juga meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar 30% melalui pengembangan ekowisata dan usaha perikanan yang berkelanjutan (ADB, 2021). Pendekatan semacam ini perlu diadopsi secara luas di wilayah lain, seperti Sumatera Utara dan Kalimantan Timur.
Solusi Alternatif
Solusi alternatif yang dapat diterapkan mencakup penguatan regulasi, pemberdayaan masyarakat, dan inovasi teknologi. Regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk mencegah konversi lahan mangrove, seperti revisi Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir. Selain itu, pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan dan pendidikan lingkungan dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi dalam program restorasi. Sebagai contoh, program Mangrove for the Future (MFF) di Aceh berhasil meningkatkan keterampilan masyarakat lokal dalam pengelolaan mangrove secara berkelanjutan. Inovasi teknologi, seperti aplikasi berbasis digital untuk memonitor pertumbuhan mangrove yang dikembangkan oleh startup Indonesia Mangrove Map, dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas program restorasi.
KESIMPULAN
Ilmu lingkungan menyediakan landasan yang kuat untuk mendukung manajemen restorasi ekosistem mangrove di Indonesia. Pendekatan multidimensional yang mengintegrasikan analisis biofisik, teknologi, sosial-ekonomi, dan kebijakan memberikan solusi komprehensif terhadap tantangan yang dihadapi. Dalam konteks perubahan iklim dan degradasi lingkungan yang semakin parah, langkah-langkah strategis berbasis ilmu lingkungan tidak hanya berkontribusi pada pelestarian ekosistem mangrove, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Keberhasilan restorasi mangrove di Indonesia bergantung pada komitmen kolektif semua pihak untuk mengimplementasikan solusi berbasis sains secara konsisten dan berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI