Mohon tunggu...
Almadina Puspita
Almadina Puspita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lullaby

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peran Global dalam Konflik Identitas antara Turki dan Bangsa Kurdi

14 November 2023   17:26 Diperbarui: 28 Desember 2023   08:14 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konflik sosial, budaya, atau pribadi yang berbeda antara dua kelompok atau lebih dikenal sebagai konflik identitas. Dalam konteks ini, identitas mengacu pada bagaimana seorang individu atau kelompok menggambarkan diri mereka berdasarkan karakteristik yang mendasar tentang siapa mereka, seperti apa budaya, etnis, agama, gender, orientasi seksual, atau kebangsaan yang mereka punya.

Konflik identitas juga merupakan masalah global yang sering mempengaruhi berbagai wilayah di dunia secara signifikan. Rumitnya dinamika sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang melibatkan berbagai aktor di tingkat nasional dan internasional ditunjukkan dengan konflik identitas yang menjadi isu global. Untuk menemukan solusi jangka panjang, penyelesaian masalah identitas seringkali memerlukan kolaborasi internasional.

Ketika kesenjangan identitas menyebabkan gesekan atau tekanan antara berbagai kelompok atau individu, konflik identitas seringkali terjadi. Konflik identitas dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti konflik antar suku, perselisihan agama, konflik gender, konflik budaya, dan lain-lain.

Misalnya, ketika dua kelompok etnis berselisih mengenai wilayah atau sumber daya yang terbatas, konflik dapat terjadi. mirip dengan perang antara Turki dan Kurdi. Ketegangan Kurdi dan Turki telah terjadi selama bertahun-tahun. Perang ini merupakan akibat dari keinginan tertentu bangsa Kurdi untuk mendirikan negara atau wilayah otonom yang mereka sebut sebagai Kurdistan, yang meliputi sebagian wilayah Turki, Suriah, Irak, dan Iran. Organisasi militan Kurdi, seperti Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang telah melakukan sejumlah serangan teroris di Turki, telah menjadi masalah bagi Turki. 

Pemimpin nasionalis Turki Mustafa Kemal Ataturk awalnya berperang melawan imperialis Barat yang bermaksud membagi wilayah yang kini menjadi negara Turki setelah Kesultanan Utsmaniyah jatuh. Ataturk, yang namanya berarti "bapak bangsa Turki", menyadari bahwa ia membutuhkan dukungan dari kelompok etnis Kurdi, yang telah menetap di Turki tenggara, untuk membangun negara yang sekarang dikenal sebagai Republik Turki. Ataturk berjanji memberikan kekuasaan penuh kepada suku Kurdi di wilayah tersebut sebagai imbalan atas dukungan mereka dalam memerangi penjajah.

Pada tahun 1934, setelah perang usai, Turki menjadi negara berdaulat. Di bawah arahan kaum nasionalis Turki, jutaan orang Kurdi akhirnya menduduki wilayah tersebut dan berusaha menjadikannya wilayah Turki sepenuhnya. Republik ini bertujuan untuk menghilangkan segala macam hal mengenai Kurdi dan merubahnya menjadi Turki.

Sejak itu, penggunaan bahasa Kurdi di media, televisi, dan politik dilarang. Suku Kurdi saat ini berjumlah sekitar 20 juta orang, atau sekitar 25% dari populasi Turki. Hak-hak hukum mereka telah dicabut, dan bahasa Kurdi hanya digunakan di dalam negeri. Para Siswa Kurdi belajar bahasa Turki di sekolah.

Akhirnya, gerakan perlawanan Kurdi muncul, dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki muncul sebagai anggotanya yang paling kuat. Abdullah Ocalan mendirikan PKK pada tahun 1978; itu adalah organisasi Marxis yang mewujudkan keyakinan dan ideologi Ocalan. Tujuan utama PKK adalah menyatukan seluruh suku Kurdi yang tersebar di sejumlah negara tetangga dengan mendirikan negara Kurdi di Turki tenggara. 

.

Pada paruh kedua tahun 1970an, PKK memulai pemberontakan bersenjata melawan Turki. Namun kekuatan militer sayap kanan yang menghancurkan organisasi sayap kiri di Turki, terutama PKK yang dipimpin oleh Ocalan, berhasil menghancurkan perlawanan tersebut.

Pada tahun 1984, pemerintahan sipil Turki mengambil alih, namun Ocalan dan ribuan sekutunya tetap bertahan di Suriah dan menentang pemerintahan Turki.

Pemerintahan junta militer membuat undang-undang anti-teror setelah pengambilalihan militer pada tahun 1980an, yang kemudian diterapkan untuk mengejar warga Kurdi. Militer Turki mengeksekusi ribuan warga Kurdi, yang semuanya dianggap sebagai pendukung PKK dan teroris Kurdi.

Pada tahun 1990-an, oposisi mereka semakin gigih, dan Ocalan menjadi sasaran pembunuhan atau penahanan oleh pemerintah Turki. Pada tahun 1990an, Turki memperingatkan bahwa jika Damaskus tidak merebut dan menyerahkan Ocalan ke Ankara, maka negara tersebut akan menyerang negara tersebut.

Kemudian, Ocalan melarikan diri dari Suriah ke Eropa dan Rusia untuk mencari keselamatan sebelum ditangkap di Kenya. Intelijen Turki berhasil menangkap Ocalan dan menyerahkannya ke Turki, konon dengan bantuan CIA Amerika dan Mossad Israel. Dia dijatuhi hukuman mati pada tahun 1999, namun ketika Turki menghapus hukuman mati sebagai persyaratan keanggotaan di Uni Eropa, dia hanya menjalani hukuman penjara seumur hidup. 

Sejak itu, PKK telah disebut sebagai organisasi teroris oleh NATO, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara Barat lainnya. Ocalan dan para pemimpin PKK menyadari bahwa mereka harus mengubah pendekatan mereka setelah ditahan jika ingin mengamankan hak-hak masyarakat Kurdi. PKK akhirnya memutuskan untuk tetap bersama Turki tetapi hanya di wilayah yang bisa mereka kendalikan. Alih-alih mengejar kemerdekaan, mereka menginginkan otonomi yang lebih tinggi.

Suasana mulai berubah setelah Partai Keadilan dan Pembangunan (AK) memenangkan pemilu di Turki. Partai AK mulai mengubah pandangannya terhadap Kurdi seiring upaya mereka menjalin hubungan dekat dengan Uni Eropa. Warga Kurdi kini diizinkan berbicara dalam bahasa mereka sendiri dan mengambil bagian dalam politik. Satu dekade yang lalu, masih menjadi impian bagi masyarakat Kurdi untuk dapat mempelajari bahasa tersebut, menerbitkan buku dan surat kabar dalam bahasa tersebut, serta menjalankan partai dan kampanye politik. Namun konflik masih berlangsung hingga saat ini.

Penting untuk diingat bahwa konflik identitas tidak selalu meningkat menjadi kekerasan atau pertengkaran fisik. Proses penyelesaian konflik identitas merupakan proses yang kompleks dan berkelanjutan yang memerlukan keterlibatan banyak pemangku kepentingan dan upaya berkelanjutan dari waktu ke waktu. Namun, dengan melihat negara-negara seperti Austria, Belgia, Belanda, Swiss, dan Malaysia yang telah berhasil menerapkan mekanisme konsosiasional untuk mengelola konflik identitas, maka penulis yakin bahwa konflik antara Turki dan Bangsa Kurdi pasti bisa terselesaikan. Memahami konflik identitas adalah langkah awal yang penting dalam menyelesaikan konflik dan membina keharmonisan di antara berbagai kelompok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun