Tujuh pemuda itu, bersama seekor anjing, melarikan diri dan bersembunyi di sebuah gua, kelelahan dan akhirnya jatuh tertidur untuk puluhan tahun lamanya. Keyakinan mereka membuatnya menjadi buronan pemerintah, dikutuk oleh para pendeta, dan dikejar-kejar bak penjahat. Tidak boleh ada beda keyakinan di kerajaan itu, semua warganya harus tunduk dan patuh kepada sabda raja. Perbedaan dianggap subversif, apalagi jika perbedaan itu menyangkut masalah ketuhanan. Pendeta pun bisa marah besar ketika ketujuh pemuda itu menyeru kepada ketuhanan yang esa.
Tapi ketujuh pemuda itu bukan Syeh Siti Jenar yang menyebarkan ajaran tasawuf, yang dinilai membahayakan kedudukan petinggi kerajaan atau menggoyahkan sendi-sendi keimanan ajaran Wali Songo. Mereka tidak mati dipenggal, tapi ditidurkan oleh Allah untuk sekian waktu lamanya dan kemudian dibangunkan kembali ketika keadaan sudah berubah 180 derajat. Mereka baru menyadari telah ditidurkan bermasa-masa lamanya ketika melihat anjing yang setia menemani mereka dalam persembunyian, yang menjaga mulut gua tempat persembunyian mereka, telah mati. Tinggal kerangkanya saja ...
Ya, mereka ditidurkan. Persis seperti kita saat ini, ditidurkan kesadaran kita - bukan oleh Allah - tapi oleh tangan-tangan dan pikiran jahil para penguasa, yang ingin mengangkangi kehidupan kita. Mereka mengatur seluruh indra pikiran kita sesuai kemauan mereka. Kita disuguhi mimpi-mimpi indah tentang kemajuan dan era tinggal landas. Ketika kita berusaha bangun dari tidur, mereka segera datang dengan sigap menyumpal pikiran kita seakan-akan mereka tidak ingin kita menyadari bahwa kita tidaklah tidur di kasur berbusa yang empuk. Sementara mereka sendiri berpesta-pora menguras kekayaan kita, dari gunung, rawa, laut, hutan, bumi dan seluruh isinya. Muka dan bibir mereka berminyak, sementara kita tetap tidur dengan perut keroncongan dan bibir kering kehausan tanpa daya.
*****
"Sampeyan kalo masuk angin mbok berobat ke Puskesmas sana, pak e!" Mbakyu Narti istri lik Sikan - seorang buruh kecil sebuah pabrik pensil - meminta suaminya berobat ke dokter sebab sudah dua hari ini lik Sikan tidak masuk kerja. Dua hari tidak kerja bukan berarti bisa santai di rumah. Dua hari ini bisa berarti urusan nyawa bagi dua insan manusia dengan dua anak ini. Beruntung mbakyu Narti punya sedikit ketrampilan menjahit. Pelanggannya tidak banyak, tapi menjelang lebaran pesanan menjahit buat mbakyu Narti biasanya meningkat. Pelanggannya biasanya teman-teman suaminya di pabrik dan tetangga sekitar. Tinggal di perkampungan kumuh dipinggiran kota dan dekat dengan lokasi pabrik dengan bau limbah dan sampah yang cukup menyengat tidak membuat mereka berkecil hati. Anak-anak mereka yang baru seumur anak SD 'disekolahkan' di langgar tidak jauh dari rumah mereka. Tapi dua hari mangkir kerja merisaukan hati mbakyu Narti.
"Aku sudah ke sana tadi siang, Nar ... tapi Puskesmas e sudah tutup!" Lik Sikan menjawab sambil tetap kemulan sarung. Asap rokok terus mengepul keluar dari mulutnya.
"Jam berapa sampeyan pergi ke sana?"
"Jam sebelas!"
"Lha kok lucu ... jam sebelas kok sudah tutup sih?? Dokter jaganya apa ndak dateng toh, pak e?"
"Lha ya embuh!" Lik Sikan menjawab acuh tak acuh.
Mbakyu Narti sejenak menghela napas. Orang kecil begini mungkin tidak pernah dapat memahami kenapa jam baru menunjukkan pukul sebelas tapi Puskesmas sudah tutup. Yang mereka tahu, Puskesmas itu isinya dokter, mantri dan perawat yang menangani masalah kesehatan orang kecil seperti mereka dengan biaya murah, sukur-sukur gratis. Yang mbakyu Narti tahu, jika suaminya terus-terusan mangkir kerja, alamat dapur mereka tidak berasap. Jadi masalah kesehatan suaminya sangat vital bagi keluarga mereka. Sudah dua hari ini pula, mbakyu Narti terpaksa mengeluarkan uang ekstra buat beli telur ayam kampung buat jamu lik Sikan, tapi tetap saja lik Sikan masih mengeluh perutnya kembung. Dikeroki juga sudah. Rasa-rasanya kalau harus pergi ke rumah sakit, mbakyu Narti musti berpikir seribu kali, duit darimana?
"Ndak usah dipikirlah, Nar! Nanti juga sembuh sendiri, sekarang udah terasa agak mendingan, kok! Besok aku mungkin dah bisa masuk kerja lagi!" Lik Sikan melihat raut muka risau istrinya dan berusaha menghibur mbakyu Narti. Mbakyu Narti hanya diam. Dihelanya nafas dalam-dalam.
Keesokan paginya, masih pagi-pagi buta, terdengar tangisan mbakyu Narti. Lik Sikan ternyata telah dipanggil Gusti Allah. Tidur sejak jam sepuluh malam dan tidak bangun lagi untuk selama-lamanya, meninggalkan mbakyu Narti dan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Lik Sikan ditidurkan oleh Gusti Allah ....
*****
Ya, lik Sikan ditidurkan. Persis seperti kita saat ini, ditidurkan kesadaran kita - bukan oleh Gusti Allah - tapi oleh tangan-tangan dan pikiran jahil kita sendiri. Kita tertidur oleh buaian mimpi-mimpi sehingga lupa akan banyak 'mbakyu Narti' dan banyak 'lik Sikan' disekitar kita. Terlalu lama pikiran kita tidur menyaksikan gemebyar sengketa antar elit bangsa kita. Terlalu lama kita tidur terbuai mimpi sehingga koruptor pun seakan menjadi pahlawan, teraniaya dan patut dikasihani. Seakan tidur ini tidak pernah berkesudahan.
Kita pun bermimpi seakan-akan kita adalah ketujuh pemuda Ashabul Kahfi yang kisahnya berakhir happy-ending. Kita bermimpi setengah berharap agar ketika bangun keadaan sudah berubah 180 derajat. Keadaan morat-marit berubah menjadi suasana damai, tenteram dan indah, sehingga kita bisa tidur nyenyak kembali tanpa mimpi indah yang membuai. Sayangnya ... kita masih tidur dalam keterjagaan kita. Kita mimpi di tengah kesadaran kita. Mungkin kita tidak akan pernah bangun lagi untuk selamanya.
Dan anjing itu memang sudah mati di mulut gua sejak lama. Entah sejak kapan. Anjing itu - nurani kita itu - sudah mati. Kita yang membunuhnya ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H