"Ndak usah dipikirlah, Nar! Nanti juga sembuh sendiri, sekarang udah terasa agak mendingan, kok! Besok aku mungkin dah bisa masuk kerja lagi!" Lik Sikan melihat raut muka risau istrinya dan berusaha menghibur mbakyu Narti. Mbakyu Narti hanya diam. Dihelanya nafas dalam-dalam.
Keesokan paginya, masih pagi-pagi buta, terdengar tangisan mbakyu Narti. Lik Sikan ternyata telah dipanggil Gusti Allah. Tidur sejak jam sepuluh malam dan tidak bangun lagi untuk selama-lamanya, meninggalkan mbakyu Narti dan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Lik Sikan ditidurkan oleh Gusti Allah ....
*****
Ya, lik Sikan ditidurkan. Persis seperti kita saat ini, ditidurkan kesadaran kita - bukan oleh Gusti Allah - tapi oleh tangan-tangan dan pikiran jahil kita sendiri. Kita tertidur oleh buaian mimpi-mimpi sehingga lupa akan banyak 'mbakyu Narti' dan banyak 'lik Sikan' disekitar kita. Terlalu lama pikiran kita tidur menyaksikan gemebyar sengketa antar elit bangsa kita. Terlalu lama kita tidur terbuai mimpi sehingga koruptor pun seakan menjadi pahlawan, teraniaya dan patut dikasihani. Seakan tidur ini tidak pernah berkesudahan.
Kita pun bermimpi seakan-akan kita adalah ketujuh pemuda Ashabul Kahfi yang kisahnya berakhir happy-ending. Kita bermimpi setengah berharap agar ketika bangun keadaan sudah berubah 180 derajat. Keadaan morat-marit berubah menjadi suasana damai, tenteram dan indah, sehingga kita bisa tidur nyenyak kembali tanpa mimpi indah yang membuai. Sayangnya ... kita masih tidur dalam keterjagaan kita. Kita mimpi di tengah kesadaran kita. Mungkin kita tidak akan pernah bangun lagi untuk selamanya.
Dan anjing itu memang sudah mati di mulut gua sejak lama. Entah sejak kapan. Anjing itu - nurani kita itu - sudah mati. Kita yang membunuhnya ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H