"Neng, kalau mau ke Rangkas nanti di Tanah Abang ke mana ya?"
"Di Tanah Abang nanti Ibu naik eskalator. Terus ke peron 5 atau 6 kalau tujuan Rangkas Bitung," aku menjelaskan.
"Hmmm..," si Ibu seperti belum memahami perkataanku.
"Nanti bareng saya saja, Bu. Saya soalnya juga naik yang tujuan Rangkas," sahutku memotong.
"Oh iya-iya, neng. Makasih ya," serunya senang.
Tanah Abang tiba, kami turun dan berjibaku dengan ramainya pengguna lain. Beberapa saat aku lupa akan tawaranku semula untuk menolong si Ibu. Cepat-cepat aku menoleh ke belakang dan melihat si ibu sedang kebingungan.
"Ke sini, Bu," seruku.
"Iya, neng. Sebentar," jawabnya sambil setengah berlari.
Dengan susah payah kami menembus kerumunan untuk mengantri menaiki tangga berjalan.
Kami sekali lagi menaiki tangga berjalan, menurun menuju kereta yang sudah menunggu. Kami memasuki KRL tujuan Rangkas Bitung, dan duduk bersebelahan. Kemudian, si Ibu kembali menanyaiku satu dua pertanyaan. Kusudahi dengan pamit saat stasiun tujuanku di depan mata. Si ibu melambaikan tangan sambil tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya kepadaku.
Aku turun. Kejadian Si Ibu dan kuenya pun berlalu, dan mungkin si Ibu tak pernah tahu reaksi orang lain terhadapnya saat itu. Atau, Si Ibu mungkin tak akan pernah tahu jika ia menjadi perbincangan hangat para pengguna medsos. Atau, ia tak akan pernah tahu akan tatapan sinis orang-orang terhadapnya kelak di perjalanan keretanya selanjutnya.