"Maaf, bu. Di KRL nggak boleh makan," kataku sambil tersenyum saat seorang ibu menawarkan kue kering yang dibawanya.
"Nggak apa-apa, neng. Tadi saya lihat banyak juga yang makan kok. Laper neng," sahut ibu tersebut sambil terkekeh. Dan si ibu pun melanjutkan makannya, sementara aku duduk melihat orang-orang di sekitar yang ternyata ikut 'mengawasi' si ibu.Â
Di depanku, bahkan seorang perempuan mengeluarkan ponsel untuk merekam si ibu yang sedang lahap mengunyah kue. Di sampingnya, seorang laki-laki menatap sinis kepada si ibu dengan kuenya. Lainnya, terlihat tak mempedulikan kejadian tersebut.
Aku pun hanya duduk, membiarkan si ibu mengenyangkan perut. Sambil melihat ke arah perempuan di depanku yang masih merekam dengan ponselnya. Kubiarkan keduanya melakukan apa yang dipikirnya benar.
Pertanyaan kemudian muncul, jika sudah mengingatkan namun kemudian tak diindahkan, haruskah kita memaksakan kepada si ibu untuk tetap mengikuti aturan?
Beberapa orang mungkin akan membiarkan kejadian Si Ibu dengan Kuenya. Beberapa orang mungkin terlalu sibuk dengan ponselnya dan tak peduli yang terjadi di sekitarnya. Beberapa orang lainnya, mungkin akan mengabadikan moment tersebut, menjadikannya postingan di media sosial, tag teman atau akun-akun tertentu lantas membuat Si Ibu dengan Kuenya menjadi viral di dunia maya.
Justifikasi terhadap Si Ibu dan Kuenya kemudian tak terelakkan. Komentar warganet pun kemudian bermunculan, tentang betapa salahnya si ibu yang tak memahami aturan. Atau, tentang betapa tak beradabnya si ibu saat berada di dalam transportasi umum.
"Turun di mana, neng?" tanya si Ibu dengan ramah kepadaku.
"Saya turun di Tanah Abang, bu." Jawabku singkat.
"Oh sama, neng. Ibu juga turun di Tanah Abang," sahutnya.
Aku hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum menyambut ucapan si Ibu. Dua menit berlalu, si Ibu kembali bertanya.
"Neng, kalau mau ke Rangkas nanti di Tanah Abang ke mana ya?"
"Di Tanah Abang nanti Ibu naik eskalator. Terus ke peron 5 atau 6 kalau tujuan Rangkas Bitung," aku menjelaskan.
"Hmmm..," si Ibu seperti belum memahami perkataanku.
"Nanti bareng saya saja, Bu. Saya soalnya juga naik yang tujuan Rangkas," sahutku memotong.
"Oh iya-iya, neng. Makasih ya," serunya senang.
Tanah Abang tiba, kami turun dan berjibaku dengan ramainya pengguna lain. Beberapa saat aku lupa akan tawaranku semula untuk menolong si Ibu. Cepat-cepat aku menoleh ke belakang dan melihat si ibu sedang kebingungan.
"Ke sini, Bu," seruku.
"Iya, neng. Sebentar," jawabnya sambil setengah berlari.
Dengan susah payah kami menembus kerumunan untuk mengantri menaiki tangga berjalan.
Kami sekali lagi menaiki tangga berjalan, menurun menuju kereta yang sudah menunggu. Kami memasuki KRL tujuan Rangkas Bitung, dan duduk bersebelahan. Kemudian, si Ibu kembali menanyaiku satu dua pertanyaan. Kusudahi dengan pamit saat stasiun tujuanku di depan mata. Si ibu melambaikan tangan sambil tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya kepadaku.
Aku turun. Kejadian Si Ibu dan kuenya pun berlalu, dan mungkin si Ibu tak pernah tahu reaksi orang lain terhadapnya saat itu. Atau, Si Ibu mungkin tak akan pernah tahu jika ia menjadi perbincangan hangat para pengguna medsos. Atau, ia tak akan pernah tahu akan tatapan sinis orang-orang terhadapnya kelak di perjalanan keretanya selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H