Mohon tunggu...
Agus Sujarwo
Agus Sujarwo Mohon Tunggu... Guru - Founder Imani Foundation

Founder Imani Foundation

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Memberi Sejatinya Menerima

3 Mei 2024   09:32 Diperbarui: 3 Mei 2024   09:58 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Kecuali kendaraan Anda adalah McLaren 720S, pertanyaan saya adalah berapa total seat atau kursi yang ada di dalam kendaraan Anda saat ini? Empat, lima, enam, atau tujuh? Berapa pun jumlah seat yang ada, pertanyaan saya berikutnya adalah, benarkah bahwa pada akhirnya Anda hanya akan menempati satu seat di dalam kendaraan Anda, dan seat selebihnya adalah akan Anda peruntukkan bagi orang lain yang saat itu berkendara dengan diri Anda?

Bagian paling menyenangkan dan mencerahkan pada situasi ini adalah, katakanlah seberapa ambisinya Anda hendak menempati keseluruhan seat yang ada, kecuali barangkali Anda sedang sakit, Anda tidak akan pernah membentangkan sekujur tubuh Anda dari seat belakang hingga seat depan, bukan? Ada seat yang memang mau tidak mau, suka tidak suka, akhirnya Anda biarkan kosong, atau kemudian Anda berikan, Anda sisihkan, Anda siapkan untuk orang lain. Dengan ungkapan lain, sepakatkah Anda seat-seat yang ada dalam kendaraan kita telah memberikan pesan bernas bahwa selalu ada hak orang lain dari setiap rezeki yang kita nikmati saat ini?

Adalah Ang Tjoen Ming atau Dato Sri Tahir, pendiri Mayapada Group. Jauh sebelum menjadi taipan seperti sekarang ini, Tahir memiliki impian sederhana yakni ingin mandiri. Ia pun memutuskan untuk menjadi seorang dokter. Dengan menjadi seorang dokter, ia ingin membuka praktik sendiri sehingga tidak perlu bekerja di bawah kekuasaan orang lain.

Selepas SMA, Tahir pun melanjutkan kuliah di Taiwan. Namun takdir seperti menuntunnya. Ia tidak betah kuliah di negara tersebut. Terlebih setelah mendapati bahwa ayahnya yang menjadi tulang punggung keluarga mendadak sakit dan tidak bisa lagi membiayai keluarga dan juga pendidikannya. Ia pun pulang untuk merawat sekaligus melanjutkan usaha ayahnya. Dan meskipun kondisi ayahnya semakin membaik, Tahir tetap enggan untuk kembali kuliah di Taiwan.

Di usia 20 tahun, Tahir mendapatkan beasiswa untuk bersekolah bisnis di Nanyang Technological University di Singapura. Di situlah jalan hidupnya menjadi pengusaha bermula. Bermodalkan uang 700 ribu yang ia dapatkan dari ibunya, ia memanfaatkan waktu luang di sela kuliahnya untuk berdagang. Ia mengaku saat memulai hal tersebut dilakukannya sendiri dan tidak ada yang membimbing. Belum lagi penguasaan bahasa Inggrisnya yang juga terbatas.

Lulus dari Nanyang, ia melebarkan sayap usahanya dengan membangun bisnis leasing yang menjual sekaligus memberikan kemudahan kredit mobil. Namun usahanya bangkrut dan sempat terlilit utang sebesar US$10 juta. Di tengah kondisi itu, ia ditawari sahabatnya, Mochtar Riady, pendiri Grup Lippo, untuk membantu mengurus bisnis garmen. Tahir pun membayar kepercayaan tersebut dengan kesuksesan. Bisnis garmen Mochtar Riady semakin berkembang dan Tahir juga akhirnya mampu melunasi utang-utangnya.

Pada 1989, Tahir pun mengajukan permohonan kepada Bank Indonesia untuk membangun Bank Mayapada. Nama Mayapada yang semula adalah nama bisnis dagang kecil Tahir ketika di Singapura, kini tumbuh menjadi nama ragam industri mulai perbankan, rumah sakit, klinik, pertambangan, media, ritel, hotel, real estate, hingga asuransi. Bisnis-bisnis itu menjadikan Tahir menjadi salah satu taipan terkemuka di Indonesia. Forbes mencatat di tahun 2024 ini total kekayaannya mencapai US$5,1 miliar.

Ada satu nasihat menohok yang pernah disampaikan oleh Dato Sri Tahir, ketika ia ditanya tentang variabel kesuksesan. Tahir mengatakan bahwa pada umumnya ketika orang bicara sukses itu selalu diidentikkan dengan karier dan keuangan. Itu tidak salah, tetapi sangat tidak tepat. Jika di negara-negara barat, katakanlah Amerika, kata Tahir, mengapa rumah-rumah sakit dan universitas-universitas mereka kukuh. Jawabannya karena pendanaannya juga kuat. Dana ini dikenal dengan istilah endowment fund.

Untuk diketahui, endowment fund merupakan dana abadi yang dihimpun, diinvestasikan dan dikelola secara terus-menerus dengan penuh tanggung jawab dari sejumlah donor individual maupun perusahaan untuk menjamin keberadaan, keberlanjutan, prestasi dan reputasi lembaga yang menerima donor dalam jangka panjang.

Lebih lanjut Tahir menegaskan, Amerika memiliki paradigma bahwa uang yang Anda keluarkan itu sejatinya adalah uang yang Anda miliki. Sebaliknya uang yang Anda simpan, justru bukanlah uang yang Anda miliki. Dengan mengeluarkan atau memberi, Anda dapat berbuat sesuatu dan menghasilkan lebih banyak, tidak hanya untuk diri Anda tetapi juga untuk lingkungan di sekitar Anda. Sementara dengan uang yang Anda simpan, sudah dipastikan uang itu hanya akan berdiam di ruang atau di kotak tempat Anda menyimpan. Tidak banyak yang bisa ia hasilkan.

Sementara orang Asia, banyak yang beranggapan bahwa uang yang Anda keluarkan itu akan menjadi uang milik orang lain dan tidak lagi menjadi milik Anda. Dan uang yang Anda simpan, maka itulah uang yang memang "milik" Anda. Perbedaan mindset inilah yang menggiring kita pada parameter sukses yang sempit juga menyesatkan. Mengukur sukses dari sudut pandang berapa banyak yang Anda simpan, sesungguhnya adalah parameter terdangkal tentang kesuksesan.

Satu yang membuat saya agak merinding hingga saat ini saya menulis artikel ini adalah apa yang pernah diucapkan oleh Dato Sri Tahir ketika diwawancarai oleh jurnalis Warta Ekonomi, "Saya adalah orang Indonesia satu-satunya. Satu-satunya dari 270 juta orang Indonesia yang telah menandatangani Giving Pledge. Giving Pledge ini memberikan satu deklarasi, 'Apakah saudara Tahir bersedia tanda tangan secara resmi'? Artinya secara komit bersedia mempersembahkan 50% harta untuk pekerjaan baik? Dan saya telah tanda tangan.

Saat saya menelusuri kanal givingpldege.org, dituliskan bahwa pada Agustus 2010, sebanyak 40 orang terkaya Amerika berkomitmen untuk memberikan sebagian besar kekayaan mereka untuk mengatasi beberapa masalah masyarakat yang paling mendesak. Diciptakan oleh Warren Buffett, Melinda French Gates, dan Bill Gates, Giving Pledge kemudian menjadi nyata setelah serangkaian percakapan dengan para pegiat filantropis tentang bagaimana mereka dapat menetapkan standar baru kemurahan hati di kalangan orang-orang yang sangat kaya. Dan meskipun awalnya hanya berfokus di Amerika Serikat, Giving Pledge akhirnya dengan cepat menarik minat para filantropis dari seluruh dunia. Dan secara jelas saya lihat, nama Dato Sri Tahir terpampang bersama ratusan filantropis dunia lain, termasuk Elon Musk dan Rockefeller.

Rekam jejak Dato Sri Tahir ini mengingatkan saya pada momen ketika pebulutangkis peringkat 5 dunia saat ini, Jonathan 'Jojo' Christie, menyisihkan 50% dari 1,8 miliar dari bonus yang ia terima, untuk membangun masjid di Lombok. Dan apakah Anda tahu keajaiban yang terjadi setelahnya? Jojo seperti mendapatkan cashback berupa tawaran pekerjaan yang menghasilkan nilai nominal 10 kali lipat lebih banyak dari nilai nominal yang pernah ia berikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun