Selalu ada kesenangan tersendiri jika aku pagi-pagi berjalan kaki di sepanjang Jalan Raya Banyumanik di Semarang atas. Seperti pagi itu, usai menunaikan subuh berjamaah, kuayunkan langkahku menyusuri setiap lajur jalan beraspal dengan rerimbunan pohon di kanan dan kirinya. Dan, salah satu ritual pagi yang selalu kulakukan saat berjalan kaki itu adalah menepi di depan Gereja Pantekosta: menjadi “pelanggan” tetap sebuah harian berskala nasional untuk edisi khusus jalan pagi.
Kadang aku juga membeli koran-koran itu saat aku mengantar kakakku berbelanja di Pasar Jati. Terletak di sudut jalan, pasar tradisional di Semarang Selatan itu telah menjadi magnet bagi para warga khususnya di kawasan Perumnas Banyumanik. Pasar ini terbilang lengkap untuk kategori pasar di wilayah perumahan. Mulai penganan tradisional, sayuran mentah, kudapan, buah-buahan, dan tentu bahan makanan pokok seperti beras dan telur, dijual. Tidak sekadar lengkap, tetapi juga kondisi pasar cukup bersih. Kakak biasanya setiap pagi berbelanja untuk diolah kembali menjadi makanan yang dapat dijual kembali ke warga di sekitar kompleks perumahan. Tidak jarang pula, kakakku sering mendapatkan pesanan makanan dari warga dari luar kompleks.
Ini adalah hari kedua puluh tujuh Ramadan. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, agenda rutinku adalah pulang ke kampung halaman untuk berlebaran dengan Ibu. Jarak Semarang dan Purworejo kurang lebih 134 kilometer. Jarak sejauh itu biasa kutempuh mengendarai sepeda motor selama dua jam setengah lamanya. Biasanya aku pulang lebih awal menjelang Lebaran dan kemudian kakakku menyusul pulang ke kampung halaman. Aku berangkat usai makan siang persis ketika sinar matahari garang membakar dedaunan dan dinding kompleks perumahan. Aku sudah perkirakan, perjalanan kali ini akan melalui waktu tempuh yang lebih lama. Bukan karena teriknya melainkan karena rutenya: via Kopeng!
Ya, untuk sekian lama, bayangan tentang sebuah perbukitan yang berlekuk, pegunungan yang menjulang, dan perkebunan hijau yang terhampar benar-benar membuat rasa penasaranku menggelegak. Bayangan tentang sebuah tempat bernama Kopeng hampir menjadikan ritme tidurku menjadi terserak. Mendengar cerita kakak, membaca berita di media cetak, mencari gambar-gambar di dunia maya tentang Kopeng semakin menguatkan niat untuk berpulang ke kampung halaman menggunakan jalur baru: melewati Salatiga.
Hampir pukul dua siang aku sudah menuruni jalur Bawen. Bawen merupakan kota persimpangan antara jalur menuju Solo via Salatiga dan jalur menuju Yogyakarta via Magelang. Aku memutuskan mengambil jalur lurus mengarah ke Solo. Jalur yang belum pernah aku lewati sebelumnya. Ruas jalan sepanjang Bawen menuju Salatiga yang lebar dan berkelok naik turun melayangkan pikiranku pada jalur balapan Valentino Rossi di Sirkuit Laguna Seca, Amerika, tiga tahun lalu. Ditambah pohon-pohon tinggi menjulang di sebelah kiri dan kanan menjadikan perjalanan serasa menenteramkan.
Kurang dari setengah jam aku sudah memasuki Kota Salatiga. Awalnya aku masih agak canggung untuk memastikan bahwa jalan yang kulewati akan mengantarkanku menuju Kopeng. Kopeng adalah nama sebuah desa di Kabupaten Salatiga. Terletak di lereng Gunung Merbabu dan masuk di wilayah Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Bersama Kecamatan Banyubiru dan Kecamatan Ungaran Barat, Bergas telah ditetapkan sebagai wilayah kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
Perjalanan menuju Kopeng lebih tepat disebut sebagai jalur pendakian. Tanjakan dengan sudut kemiringan mendekati tujuh puluh derajat. Dan entah siapa pun, dalam perjalanan menuju atau dari Kopeng, sangat perlu untuk bersikap hati-hati. Dengan jalur yang sempit dan penuh tikungan, ditambah pemandangan memesona di sepanjang perjalanan, tak urung bisa saja membuat para pengemudi terlena. Dan terutama di musim hujan, jarak pandang menjadi sangat terbatas. Jika tidak hati-hati, bisa saja tiba-tiba sebuah kendaraan besar berada di depan kita.
Pikiranku kembali menerawang pada jalur Gadog hingga Puncak Pass di Bogor. Sampai di sini, hawa dingin semakin kuat menusuk tulang meski indera penglihatan tak mau lepas melayang ke sejauh mata memandang. Kurang lebih lima belas menit perjalanan dari Kota Salatiga untuk sampai ke Kopeng. Di kiri kanan aku mulai melihat aneka sayuran organik yang ditanam di sepanjang permukaan perbukitan. Di beberapa tempat terlihat rumah penginapan bagi para pelancong dan mereka yang sekadar ingin melewatkan waktu menikmati keindahan Kopeng.
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku memutuskan singgah sejenak di Puncak Ketep. Puncak Ketep ini merupakan salah satu tujuan wisata. Terletak pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, Ketep berada persis di tengah antara Kota Salatiga dan Magelang. Atas prakarsa Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto, Puncak Ketep telah dipilih untuk dikembangkan sebagai kawasan tujuan wisata baru di jalur Solo – Selo – Borobudur.
Di tempat ini saya menemukan dua buah gazebo berbentuk persegi panjang. Dari kedua gazebo ini saya bisa melihat dengan jelas kontur Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Termasuk hamparan lahan pertanian di kedua kaki gunung tersebut. Jika kondisi cerah, kita bahkan dapat melihat puncak dari lima gunung sekaligus: Merapi, Merbabu, Sindoro, Sumbing, dan Slamet.
Dan Gunung Merapilah yang selalu paling fenomenal. Saya masih ingat persis ketika bersama kakak saya, mencoba menelusuri beberapa sisi Kali Gendol. Usai letusan dahsyat itu, saya melihat airnya begitu bening. Sangat bening. Saya bahkan bisa melihat kibasan ekor ikan-ikan yang sedang bergerak dari permukaan aliran sungai. Namun tetap tak mampu menyembunyikan kesedihan saya saat mendengar kabar 61.154 warga mengungsi, 341 orang tewas, dan 368 orang harus menjalani rawat inap sekitar enam tahun yang lalu. Amukan awan panas dengan debu material mengakibatkan rumah-rumah menjadi tak lagi berbentuk.
Dan “monumen bersejarah” sebagai tanda meletusnya Gunung Merapi ini adalah deretan batu-batu besar kokoh yang terdiam tak bergerak di sisi-sisi jalan antara Magelang dan Yogyakarta. Batu-batu besar ini berasal dari Gunung Merapi dan terbawa arus sejauh puluhan kilometer.
Anganku buyar saat dari kejauhan terdengar kumandang azan asar. Waktu salat asar tiba. Aku melihat jam tanganku menunjukkan pukul empat lewat. Mendekati setengah lima. Awalnya aku agak memaklumi barangkali ada gangguan teknis di tempat azan itu dikumandangkan: entah karena aliran listrik mati atau muazinnya baru sempat pergi ke musala sehingga kumandang azan itu menjadi terlambat. Namun yang membuatku kemudian merasa aneh, ada lagi satu kumandang azan dari lokasi yang berbeda. Ini sudah sangat terlambat.
Aku kembali menuju lokasi parkir sepeda motor. Sebelum aku menyalakan mesin motor, gairah keingintahuanku kembali berdesir. Aku mendekati sosok kebapakan yang menjaga area parkir.
“Pak, kok baru azan tadi ya.”
“O iya Mas, kalau di sini tidak ada waktu Indonesia barat, yang ada waktu petani pulang.”
“Maksudnya, Pak?”
“Rerata warga di sini adalah petani. Dan mereka baru pulang dari hutan atau kebun itu pukul empat sore.”
“Jadi?”
“Asarnya ya jam empat sore.”
Ah ... usai memberikan uang parkir, aku berhenti sejenak mencubit lenganku. Benar kok, ini bukan mimpi. Kutancap gas perlahan sambil celingukan kebingungan, haruskah aku mengulang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H