Dan “monumen bersejarah” sebagai tanda meletusnya Gunung Merapi ini adalah deretan batu-batu besar kokoh yang terdiam tak bergerak di sisi-sisi jalan antara Magelang dan Yogyakarta. Batu-batu besar ini berasal dari Gunung Merapi dan terbawa arus sejauh puluhan kilometer.
Anganku buyar saat dari kejauhan terdengar kumandang azan asar. Waktu salat asar tiba. Aku melihat jam tanganku menunjukkan pukul empat lewat. Mendekati setengah lima. Awalnya aku agak memaklumi barangkali ada gangguan teknis di tempat azan itu dikumandangkan: entah karena aliran listrik mati atau muazinnya baru sempat pergi ke musala sehingga kumandang azan itu menjadi terlambat. Namun yang membuatku kemudian merasa aneh, ada lagi satu kumandang azan dari lokasi yang berbeda. Ini sudah sangat terlambat.
Aku kembali menuju lokasi parkir sepeda motor. Sebelum aku menyalakan mesin motor, gairah keingintahuanku kembali berdesir. Aku mendekati sosok kebapakan yang menjaga area parkir.
“Pak, kok baru azan tadi ya.”
“O iya Mas, kalau di sini tidak ada waktu Indonesia barat, yang ada waktu petani pulang.”
“Maksudnya, Pak?”
“Rerata warga di sini adalah petani. Dan mereka baru pulang dari hutan atau kebun itu pukul empat sore.”
“Jadi?”
“Asarnya ya jam empat sore.”
Ah ... usai memberikan uang parkir, aku berhenti sejenak mencubit lenganku. Benar kok, ini bukan mimpi. Kutancap gas perlahan sambil celingukan kebingungan, haruskah aku mengulang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H