Mbah Trimah mendekatkan wajahnya. Ia mengelus-elus kepala sosok yang selama ini ia berharap akan menjadi contoh untuk adiknya dan untuk keluarganya. Sosok yang sangat ia harapkan menjadi pemuda yang mapan, rajin beribadah, dan taat kepada orang tua. Mbah Trimah sudah berusaha membimbingnya. Namun ternyata tak mudah bagi seseorang untuk mendapatkan hidayah-Nya jika memang ia tidak berusaha menjemputnya.
    "Penjalukku siji, sholato."
    MbahTrimah mencium dahi Sugeng.
    "Wati, aku jadi pulisi."
    Mbah Trimah kemudian beranjak dari dipan dan melangkah hendak keluar.
    "Tangkap!", kembali terdengar teriakan Sugeng.
    Mbah Trimah meninggalkan Sugeng sendirian. Ia pergi ke sumur dan mengambil air wudu. Ia meraih rukuh dan sajadahnya. Menghamparkan di atas tikar di kamarnya. Dua rakaat sholat duha selalu rajin dijalankannya. Apatah yang wajib. Saat azan berkumandang, Mbah Trimah selalu sedang berada di sumur untuk mengambil air wudu. Ia lalu mengambil Alquran dan membacanya. Selesai tadarus satu ayat, Mbah Trimah akan membaca terjemahannya. Begitu seterusnya.  Jari jemarinya masih terlihat basah oleh air membuka lembaran kitab suci.
    "Mbah ...."
    Panggilan itu membuyarkan tadarusan Mbah Trimah. Ia melanjutkan membaca Surat Arruum. Ingatan Mbah Trimah menuju pada ceramah Pak Kyai di langgar tempat Asih biasa mengaji. Kata Pak Kyai, Allah mengingatkan perkembangan fisik manusia. Pertama dia diciptakan dari tanah, kemudian dari air mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging, kemudian menjadi tulang, kemudian tulang itu dibungkus dengan daging, kemudian ditiupkan ke dalam tubuhnya ruh, kemudian keluar dari perut ibunya dalam keadaan sangat lemah, kemudian tumbuh hingga menjadi anak kecil, menjadi anak-anak, kemudian balig, kemudian menjadi pemuda.
    "Mbah ...."
    "Shodaqallahul adhiim ...."