Mbah Trimah meletakkan baki itu ke meja dapur. Ia mendekat ke arah batang bambu di tiang dapur. Terlihat kusam karena debu dan asap dapur. Ia lalu membuka kembennya dan memungut beberapa receh dan memasukkannya ke bagian bambu yang sudah berlubang. Mbah Trimah biasanya akan membuka tabungan batang bambunya ketika Asih naik kelas atau untuk membeli kebutuhan Lebaran seperti beras ketan untuk dibuat wajik saat Sukri tidak pulang dari Kalimantan.
    Ia berjalan menuju sebuah kamar di bagian samping dapur. Di beberapa bagian dinding yang terbuat dari belahan berjajar kayu mahoni itu, terlihat mulai menua dan rapuh. Kamar itu memiliki gembok dari palang kayu. Sebatang kayu jati dengan panjang kira-kira satu meter dan lebar 15 cm terpampang melintang. Mbah Trimah mengangkat dan melepaskannya perlahan. Meletakkannya di samping pintu. Badannya terbungkuk sejenak. Ia seperti agak bimbang.
    "Sreet ..."
    "Sreeng ..."
    Aroma yang menyengat. Kain yang basah oleh tinja. Permukaan tanah yang masih basah oleh bekas air kencing. Asih biasanya setiap pagi membuka kamar ini, mengambil kain yang kotor dan menggantinya dengan selimut baru. Asih menyapu permukaan tanahnya agar tidak lagi berdebu. Dinding kamar ini tertutup penuh tanpa jendela. Meskipun begitu, dari luar orang masih bisa melihat ke bagian dalam melalui celah-celah kayu mahoni.
    Mbah Trimah kembali berjalan keluar. Ia memungut batok kelapa kering dan menjumput beberapa genggam abu ke dalamnya. Mbah Trimah kembali ke ruangan. Ia menebarkan abu-abu itu di atas tanah yang tergenang agar baunya tidak semakin menyengat. Mbah Trimah kemudian mengambil sapu lidi dan menyapu abu-abu yang mulai lembap itu keluar ruangan dan menepikannya.
    Di sisi kanan atas, terbentang tali tambang hitam, terikat dari dinding bagian luar kamar ke arah dalam. Di atasnya tergantung sarung dan baju ganti yang baru saja diletakkan oleh Asih. Di bawahnya, sepasang sendal merah tua terhampar berjauhan. Dan sebuah ember bentet terlihat dalam posisi tergeletak miring menyisakan genangan air yang tadi Sugeng lemparkan ke anaknya, Asih.
    Mbah Trimah berusaha berjalan mendekat. Ia mengambil kain lap yang tergantung di tambang dan meraih sebuah gayung yang masih utuh airnya. Mbah Trimah mendekati dua buah kayu jati yang sudah tua. Kayu jati itu terletak memanjang dan disatukan. Satu kayu di bagian bawah dan satu kayu di bagian atasnya. Di bagian tengah kedua kayu telah dilubangi agar dapat dimasuki sepasang kaki Sugeng.
    Mbah Trimah mulai mengusap permukaan kayu jati itu perlahan. Mengulanginya perlahan. Sepasang kaki yang berada di dalam pasungan itu masih terdiam. Mbah Trimah kemudian mulai menyentuh dan mengelap punggung dan alas kedua kaki yang terlihat pucat kekuningan. Menyentuhnya bergantian. Ia lalu menggeserkan posisi duduknya, melihat ke arah kedua mata yang ada di hadapannya. Sosok itu hanya terdiam. Sesekali tersenyum sendirian. Tak berapa lama tatapannya kosong terarah ke arah samping kiri dan kanan dinding kamar.
    "Wati, aku jadi pak pulisi."
    Setelah itu ia menggeliat di atas dipan. Hampir sepuluh tahun ia terbaring di situ. Makan, tidur, buang hajat, buang ludah, bercerita, tertawa, memberontak, memaki, merusak, semua dilakukan di ranjang yang sama.